Moewardi: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
kTidak ada ringkasan suntingan |
Tidak ada ringkasan suntingan |
||
Baris 1:
'''Dr. Moewardi''' ([[Kabupaten Pati|Pati]], [[Jawa Tengah]], [[1907]] - [[Kota Surakarta|Surakarta]], [[Jawa Tengah]], [[13 Oktober]] [[1948]]) adalah seorang [[Pahlawan Nasional Indonesia|pahlawan nasional]] [[Indonesia]].
Moewardi adalah seorang dokter lulusan [[STOVIA]]. Setelah lulus, ia melanjutkan pendidikan Spesialisasi Telinga Hidung Tenggorokan ([[THT]]). Selain itu ia adalah ketua [[Barisan Pelopor]] tahun 1945 di [[Kota Surakarta|Surakarta]] dan terlibat dalam peristiwa [[proklamasi]] [[17 Agustus]] [[1945]]. Dalam acara tersebut, ia juga turut memberikan sambutan setelah [[Soewirjo]], wakil wali kota [[Jakarta]] saat itu.▼
== Riwayat Hidup ==
▲Moewardi adalah seorang dokter lulusan [[STOVIA]]. Setelah lulus, ia melanjutkan pendidikan Spesialisasi Telinga Hidung Tenggorokan ([[THT]]). Selain itu ia adalah ketua [[Barisan Pelopor]] tahun 1945 di [[Kota Surakarta|Surakarta]] dan terlibat dalam peristiwa [[proklamasi]] [[17 Agustus]] [[1945]]. Dalam acara tersebut, ia juga turut memberikan sambutan setelah [[Suwiryo|Soewirjo]], wakil wali kota [[Jakarta]] saat itu.
Di [[Solo]], dr.Muwardi mendirikan sekolah kedokteran dan membentuk gerakan rakyat untuk melawan aksi-aksi [[PKI]]. Pada [[peristiwa Madiun]] dia adalah salah satu tokoh yang dikabarkan hilang dan diduga dibunuh oleh pemberontak selain Gubernur [[Soeryo]].
13 September 1930 adalah hari yang patut dikenang karena di daerah [[Tanah Abang, Jakarta Pusat|Tanah Abang]] ada seorang lelaki bernama Muwardi, yang terkenal sebagai Dokter Muwardi atau biasa disebut Dokter Gembel. Karena dokter itu senang bergaul dengan gembel daripada golongan atas. Golongan masyarakat yang kebanyakan sangat miskin sekaligus orang-orang yang sangat membutuhkan pertolongan. Pernah karena diminta pertolongan untuk mengobati seorang gembel yang tinggal jauh dalam kampung dengan gang becek dan berlumpur yang hanya kering saat hujan reda.Meskipun hanya gembel, namun gembel tersebut adalah orang yang mempunyai rasa perikemanusiaan yang luhur.▼
Kini namanya diabadikan sebagai nama Rumah Sakit Umum Daerah [[Kota Surakarta|Surakarta]]. Namanya juga diabadikan sebagai sebuah nama jalan di Jakarta.▼
▲Golongan masyarakat yang kebanyakan sangat miskin sekaligus orang-orang yang sangat membutuhkan pertolongan. Pernah karena diminta pertolongan untuk mengobati seorang gembel yang tinggal jauh dalam kampung dengan gang becek dan berlumpur yang hanya kering saat hujan reda.Meskipun hanya gembel, namun gembel tersebut adalah orang yang mempunyai rasa perikemanusiaan yang luhur.
Dia memandangi pakaian Muwardi yang masih bersih tak bernoda sedikit pun, “baru ganti itu !”, pikirnya. Sayang kalau ia harus jalan di lumpur. Air kotor dan lumpurnya tentu akan segera melekat pada sepatu dan celananya. “Tidak !, jangan ! Pak dokter harus tetap bersih, agar dapat segera mengunjungi orang sakit lainnya,” Akhirnya mau tidak mau, Muwardi digendong oleh si gembel. Sehingga Muwardi digendong di punggung si gembel dari jalan besar hingga ke rumah si sakit.
Baris 109 ⟶ 107:
Pada suatu ketika tentara Jepang sedang mencari pemimpin Barisan Pelopor. Bertepatan dengan kedatangan Masihono untuk mencari uang kas Pelopor. Pada waktu itu Muwardi disembunyikan di kolong tempat tidur Masihono. Bila pada detik itu Muwardi diketemukan oleh tentara Jepang tentu pada saat itu pula Muwardi habis ajalnya. Seperti nasib pemimpin lain tetapi, Tuhan masih melindunginya dan Muwardi selamat. Dalam peristiwa mengamankan Sukarno dan Hatta ke Rengasdengklok, Muwardi mendapat tugas dari para pemuda bersama Sayuti Melik untuk membangunkan Bung Karno. Pada 17 Agustus 1945 bertepatan dengan bulan Ramadhan di rumah kediaman Bung Karno di Jalan Pegangsaan Timur 56 Jakarta ramai dikunjungi orang Muwardi menjamin keadaan aman kepada Dokter Soeharto, dokter pribadi Bung Karno: “masih tidur semua, semua beres”. Muwardi menunjuk kepada kelompok orang di belakang rumah sambil berkata “Itu barisan berani mati yang saya pimpin”. Sudah diputuskan, pembacaan Proklamasi akan dilangsungkan pagi itu, tetapi saatnya masih akan ditentukan oleh Bung Karno. Ia baru masuk kamar tidur menjelang subuh sekembalinya dari rapat di rumah (Laksamana) Maeda. Di depan rumah Bung Karno sudah kelihatan ada mikrofon berdiri dengan standardnya. Karena instruksi Sudiro, Barisan Pelopor terus berdatangan ke Pegangsaan Timur 56. Waktu sudah mendekati pukul 10.00 tetapi Bung Hatta belum juga datang. Muwardi yang tidak sabaran menunggu masuk ke kamar Bung Karno dan mendesak Bung Karno agar segera mengumumkan Proklamasi sendiri saja tanpa menunggu kedatangan Bung Hatta. Alasannya karena Bung Hatta sudah menandatangani teks Proklamasi. Pada mulanya Bung Karno menjawab dengan tenang saja, tetapi karena Muwardi mendesak dengan nada marah Bung Karno menjawab: “Saya tidak mau mengucapkan proklamasi kalau Hatta tidak ada, kalau Mas Muwardi tidak mau tunggu silahkan baca Proklamasi sendiri”. Dialog kedua tokoh ini disaksikan oleh Sudiro dan sesudah itu Muwardi tidak mendesak Bung Karno lagi. Sebetulnya Muwardi melakukan itu karena Sudiro melihat di sekitar jalan Pegangsaan terlihat seorang Jepang yang sedang bercakap-cakap dengan Sukardjo Wirjopranoto. Keduanya sebenarnya khawatir kalau Proklamasi belum dibacakan sudah di serbu Jepang, sehingga akhirnya Proklamasi gagal. Tetapi memang Bung Hatta adalah seorang yang selalu memegang teguh, sebelum pukul 10.00 dia tiba. Setelah masuk dalam kamar Bung Karno, tidak lama kemudian mereka berdua keluar dan keluar rumah menuju halaman depan di mana sudah tersedia mikrofon, tiang bendera dan para hadirin dan hadirin yang akan menjadi saksi pembacaan Proklamasi tepat pada pukul 10.00 pagi. Setelah pembacaan proklamasi dan upacaranya selesai, Bung Hatta dan pemimpin-pemimpin lainnya pulang. Muwardi masih tinggal untuk berunding dengan Sudiro memilih 6 orang dari Barisan Pelopor yang pendekar pencak untuk menjadi Barisan Pelopor Istimewa yang bertanggung jawab atas keamanan pribadi Bung Karno yang menjadi Presiden pertama RI sesudah proklamasi kemerdekaan. Pimpinan barisan khusus itu diserahkan kepada Sumantoyo, sedang petugas lainnya ialah antara lain Sukarto dan Tukimin. Keenam orang itu setiap saat menanggulangi segala serangan terhadap Presiden RI dengan segala kesediaan mengorbankan nyawa. Mengingat keadaan pada waktu itu, segala kemungkinan dapat terjadi, terutama tindakan keras dari pihak tentara Jepang. Dengan sangat detail Muwardi memikirkan keselamatan pemipin Bangsa Indonesia, Soekarno-Hatta. Sesudah 18 Agustus 1945 Bung Karno dipilih menjadi Presiden maka tidak mungkin lagi memimpin terus Barisan Pelopor. Pucuk pimpinan Barisan Pelopor diserahkan ke Muwardi. Nama Barisan Pelopor diubah menjadi Barisan Pelopor Republik Indonesia (BPRI). Meskipun pada 23 Agustus 1945 dibentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR), BPRI tetap berdiri sendiri. BKR mendirikan markas di jalan Cilacap no.5, (rumah milik kakek Jenderal Prabowo Subianto) untuk wilayah karisidenan Jakarta pada 27 Agustus 1945 dipimpin Moeffreini Moe’min yang tak lain anak buah Muwardi di Barisan Pelopor. Saat Bung Karno menjadi Presiden dan hendak menyusun Kabinet, Muwardi mendapat tawaran langsung dari Bung Karno untuk menjabat sebagai Menteri Pertahanan namun dia menolak karena hendak meneruskan kariernya sebagai dokter. Sehingga dalam sejarahnya jabatan itu diharapkan dapat dipegang oleh Supriyadi, yang ternyata pada kenyataanya ternyata hilang setelah melakukan pemberontakan Peta. Namun tindakan pejuang di dalam kota tidak semuanya bisa dikontrol. Tidak sedikit kaum petualang yang menyalahgunakan kesempatan mencari keuntungan sendiri. Tercatat BPRI diboncengi oleh “Barisan Usung-Usung”, barisan yang mengangkut barang milik rakyat untuk kepentingan pribadi hingga di sana-sini ada tuduhan BPRI adalah perampok, pencuri danpembunuh. Oleh karena itu, kepada Muwardi dianjurkan supaya kedudukan BPRI dipindahkan dari Jakarta. Waktu itu Pemerintah Republik Indonesia telah siap-siap hendak hijrah ke Yogyakarta mengingat kota Jakarta yang tidak aman. Setelah Pemerintah RI hijrah ke Yogyakarta tanggal 4 Januari 1946, pengurus BPRI mengadakan perunding untuk memindahkan markasnya ke Solo. BPRI pada bulan Desember 1945 mengadakan kongres di Gedung Habiproyo, Singosaren (sekarang Matahari Singosaren), Solo. Dalam kongres 15-16 Desember 1945 itu diputuskan untuk mengganti nama dari BPRI menjadi Barisan Banteng Republik Indonesia (BBRI). BBRI bermarkas di Solo dengan Muwardi sebagai Pemimpin Umum. Sesuai dengan keputusan rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) tanggal 22 Agustus 1945 tentang pembentukan Partai Nasional Indonesia (PNI) sebagai partai tunggal. Menurut rencana Muwardi akan ditunjuk sebagai pemimpin partai tunggal tersebut, tetapi dengan adanya maklumat Pemerintah tanggal 16 Oktober 1945 tentang pemberian hak-hak legislatif kepada Komite Nasional Indonesia Pusat (BP-KNIP) yang dapat menentukan Garis-Garis Besar Haluan Politik Negara/Pemerintah. Kabinet tidak lagi bertanggung jawab kepada Presiden melainkan bertanggung jawab pada Komite Nasional Indonesia Pusat. Orang-orang yang duduk dalam KNIP dan Badan Pekerja KNIP merupakan wakil-wakil dari partai-partai. Pada 30 Oktober 1945, ketika Soekarno, Hatta dan Amir Syarifuddin berada di Surabaya untuk menenangkan keadaan, maka KNIP bersidang dan mengambil keputusan membuka kesempatan kepada masyarakat untuk mendirikan partai-partai dengan berbagai pertimbangan. Sutan Syahrir dan Amir Syarifudin mendirikan Partai Sosial Indonesia; Iwa Kusumasumantri mendirikan Partai Buruh, Dr. Sukiman mendirikan Partai Masyumi, Mangunsarkoro dengan Partai Nasionalis Indonesia, Sukarni mendirikan Partai Murba (Muwardi sempat terlibat aktif di dalamnya) dan partai-partai lain didirikan. Kabinet pertama, kabinet presidensiil dijatuhkan oleh KNIP sebagai Badan Legislatif. Syahrir kemudian menjadi Perdana Menteri merangkap Menteri Luar Negeri dan Menteri Dalam Negeri. Sedangkan Amir Syariffudin selain memegang jabatan Menteri Keamanan Rakyat juga merangkap sebagai Menteri Penerangan. Kalau kabinet pertama dianggap dekat dengan politik “kolaborasi dengan Jepang” maka kabinet kedua dekat dengan politik “kolaborasi dengan Belanda”. Karena politik kabinet Syahrir adalah politik “berunding dengan Belanda” mengakibatkan oposisi terhadap kabinet meningkat pada awal tahun 1946. Pada tanggal 5 Januari 1946 di Purwokerto diadakan pertemuan oleh partai-partai dan badan-badan perjuangan yang tidak sehaluan dengan “politik” Kabinet Syahrir untuk membentuk Persatuan Perjuangan (PP). Sementara itu Muwardi segera meluaskan sayap Barisan Banteng dengan menyusun cabang-cabang di tiap-tiap Karisidenan, ranting-ranting di Kabupaten, dan anak ranting di Kawedanaan. Bersama dengan Sudiro, Mulyadi Joyomartono. Banyak berkeliling mengadakan inspeksi ke daerah Jawa Barat, Bandung, Purwakarta, Leles, hingga ke Jawa Timur, Bojonegoro, dan Malang. Khusus di Solo dibentuk Divisi Laskar Banteng di bawah pimpinan Anwar Santoso yang membawahi 5 resimen, berkedudukan di Kartasura, Solo, Wonogiri dan Sragen. Di dalam Pimpinan Barisan Banteng diadakan pembagian pekerjaan. Sudiro dan Imam Sutadjo memimpin bagian politik yang berhasil menerbitkan harian Pasific dan majalah Banteng. Karena kegiatan menjalankan inspeksi ke Bandung menyebabkan Muwardi terlibat dalam peristiwa “Bandung Lautan Api” 23 Maret 1946 bersama-sama tokoh-tokoh Barisan Banteng, Toha, A.H. Nasution dan Suprayogi. Meskipun sibuk memimpin Barisan Banteng, Muwardi tidak sedikit menyumbangkan pikiran-pikiran perjuangan termasuk strategi militer kepada pimpinan Angkatan Perang, khususnya Jenderal Sudirman dan Jenderal Urip Sumohardjo, Urip tak lain masih sesaudara ipar dengannya. Ditarik ke dunia Politik Pengaruh, kecakapan dan kesanggupan Muwardi dalam memimpin perjuangan diakui oleh kalangan luas di samping perhatiannya yang besar terhadap masalah politik sehingga kaum politisi berhasrat menariknya ke dalam perjuangan politik. Pendekatan kaum politisi kepada Muwardi mendapat jalan setelah diketahui Muwardi, Sudirman, Urip Sumohardjo dan Tan Malaka tak menyetujui Perjanjian Linggarjati yang ditandatangani tanggal 25 Maret 1947. Perjanjian ini berakhir usai Agresi Belanda I tanggal 1 Juli 1947, Kemudian diadakan gencatan senjata dan diadakan perundingan Indonesia-Belanda di kapal Amerika, Renville di bawah pengawasan Komisi Jasa-Jasa Baik dari PBB tanggal 17 Januari 1948 yang berakhir dengan ditandatanganinya Persetujuan Renville. Persetujuan Renville pada hakikatnya mendapat banyak tentangan mengakibatkan pembentukan Kabinet Presidensil dengan Bung Hatta sebagai Perdana Menteri. PKI lewat Partai Sosialis Amir Syarifuddin menuntut kursi Menteri Pertahanan, tetapi ditolak dan kursi itu dirangkap oleh Bung Hatta sendiri. Amir Syarifuddin tidak tinggal diam dan bertindak mendirikan FDR (front Demokrasi Rakyat) tanggal 26 Februari 1948 yang beranggotakan PKI, PS-Amir Syarifuddin, PIB (Partai Buruh Indonesia), SOBSI (Serikat Organisasi Buruh Seluruh Indonesia) dan Pesindo (Pemuda Sosialis Indonesia). Hampir bersamaan dengan itu BBRI mengadakan kongres di Sarwakan, Solo (sekarang Jl. Honggopranoto) untuk menentang perundingan dengan Belanda yang dilakukan Pemerintah Syahrir. Kongres itu dihadiri oleh Presiden Sukarno untuk mencegah agar jangan sampai Muwardi dengan Barisan Banteng-nya terlibat perselisihan politik dengan pihak pemerintah. Karena kedua sikap politiknya itu, yaitu anti perundingan dengan Belanda dan Anti Swapraja, maka Muwardi bersama Mulyadi Joyomartono ditangkap atas perintah Menteri Dalam Negeri Dr. Soedarsono. Tetapi akhirnya dilepaskan kembali untuk menghindarkan tindak kekerasan dari BBRI dan simpatisannya kalau sampai Muwardi tidak dibebaskan. Selain itu ada juga campur tangan Sudirman dan Urip Sumohardjo, menyebabkan pemerintah berpikir banyak jika menahan Muwardi. Sejak PKI berdiri kembali tanggal 25 Oktober 1945, sejak pertengahan tahun 1946, di Solo mulai tampak partai dan badan perjuangan yang menjurus ke paham Sosialis Kiri dan Komunis. Diantaranya garis dan golongan Sosialis menjurus ke Komunis (Partai Sosialis, Partai Buruh, Partai Komunis Indonesia, Pesindo) dan golongan Nasionalis (PNI, Masyumi, BPRI, Barisan Banteng). Polarisasi partai-partai dan golongan itu terlihat pada peritiwa perebutan kedudukan Residen Solo. Indikasi Solo dalam keadaan gawat adalah peristiwa diculiknya Perdana Menteri Syahrir tanggal 27 Juni 1946, sehingga kekuatan negara sepenuhnya ada ditangan Presiden Sukarno. Namun peristiwa penculikan tersebut hanya berlangsung sehari semalam. Kejadian tersebut berlanjut dengan kudeta militer yang dilakukan oleh Jenderal Mayor Soedarsono tanggal 3 Juli 1946 beruntung kudeta tersebut dapat digagalkan untuk mengatasi keadaan yang rawan di Solo sekitar pertengahan tahun 1946. Pemerintah Pusat berlandaskan Penetapan Pemerintah Tahun 1946 No. 16/SD mengangkat Mr. Iskak Tjokroadisurjo dan Sudiro masing-masing sebagai Residen dan Wakil Residen Surakarta. Keduanya berasal dari golongan Nasionalis (PNI dan Barisan Banteng). Tetapi pengangkatan itu ditentang oleh Golongan Komunis dengan mengajukan resolusi tanggal 8 Oktober 1946. Karena tentangan itu, Pemerintah Pusat sampai mengeluarkan Ketetapan Pemerintah lagi pada tanggal 22 Oktober 1946 No. 21/ SD. Isi ketetapan itu memerintahkan agar kedua pejabat tersebut kembali ke pos-nya untuk menjalankan tugas pekerjaannya. Namun, Mr Iskak Tjokroadisujo dan Sudiro tidak dapat menjalankan pekerjaan karena pada tanggal 9 November 1946 malahan diculik oleh golongan tertentu. Dan golongan tertentu itu mengangkat Soejas dan Dasuki masing-masing menjadi Residen dan Wakil Residen Surakarta. Golongan tertentu itu adalah golongan Sosialis yang menjurus ke Komunis, karena Soejas dan Dasuki termasuk di dalamnya. Pertentangan antara dua golongan itu terus memuncak akibat adanya Perjanjian Linggarjati pada tanggal 15 November 1946 yang berbentuk “Pro” dan “Kontra” perjanjian tersebut. Kemudian golongan yang pro ini membentuk front ” Sayap Kiri” dan terdiri dari Partai Sosialis, PBI, PKI, Pesindo. Sedang yang Kontra juga membentuk front yang bernama “Benteng Republik” dan terdiri dari PNI, Masyumi, BPRI, Barisan Banteng RI. Perjanjian Linggarjati itu akhirnya mendapat tentangan dari anggota partainya sendiri, yaitu Syahrir sendiri. Akibatnya timbul perpecahan dalam Partai Sosialis. Syahrir mendirikan Partai Sosialis Indonesia (Ada yang menyebut SOSKA-Sosialis Kanan) dan Amir Syarifuddin tetap dengan Partai Sosialinya yang nantinya bergabung dengan FDR/PKI. Karena itulah maka jatuhlah Kabinet Syahrir (yang ketiga) pada tanggal 26 Juli 1947. Setelah itu dibentuk Kabinet baru di mana Perdana Menterinya adalah Amir Syarifuddin (merangkap Menteri Pertahanan). Kabinet ini melanjutkan perundingan-perundingan dengan Belanda yang menghasilkan suatu persetujuan yang nilainya dapat dipandang sebagai lebih merugikan Indonesia kalau dibandingkan dengan perjanjian Linggarjati, adalah yang disebut Persetujuan Renville.
▲
{{Pahlawan Indonesia}}
|