Bagi Rimbaud sendiri, puisi tersebut merupakan kesimpulan dari pencariannya. Puisinya itu mengalir dengan plot [[metafora]]-[[alegori]] dan berisi [[sarkasme]] maupun otokritik terhadap dirinya sendiri serta lingkungan sosialnya.''{{sfnp|MillerDjokosujanto, dkk|19622020||p=119157–159|ps=}}{{sfnp|Djokosujanto, dkkMiller|20201962||p=157–159119|ps=}}'' Puisinya dapat bertahan lama juga disebabkan karena kebeliaan usianya dalam membuat sarkasme.''{{sfnp|Fowlie|1966||p=44|ps=}}'' Sarkasme kepada bangsa dan dirinya sendiri menjadi semacam "cambukan" agar seseorang bisa yakin menatap masa depan. Hal tersebut merupakan semacam kebiasaan psikologis bahwa seseorang yang diejek oleh orang lain biasanya akan lebih bersemangat lagi untuk memperbaiki kehidupannya ''—'' dia akan bangkit dan berjuang serta membuktikan jika ejekan itu tidak benar.<ref name=":4">{{Cite web|url=https://www.poetryfoundation.org/poets/arthur-rimbaud|title=Arthur Rimbaud|last=Poetry Foundation|first=|date=tanpa tanggal|website=Poetry Foundation|access-date=22 Juni 2020}}</ref>''{{sfnp|Fowlie|1966||p=44–45|ps=}}''
Sarkasme ini dapat dilihat dalam salah satu penggal puisinya berikut:''{{sfnp|Rimbaud|2020||p=28|ps=}}''<blockquote>''Aku betul sadar bahwa aku selalu berasal dari ras inferior. Aku tak paham pemberontakan. Rasku tak pernah bangkit, kecuali untuk menjarah: seperti serigala mencabik-cabik hewan buas yang tak dibunuhnya.{{sfnp|Rimbaud|2020||p=28|ps=}}''</blockquote>