Teologi pembebasan dalam Islam: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Baris 30:
Semua yang ditulis Khoury tadi didukung oleh [[Al-Qur'an|Al-Qur’an]] dan [[hadis]]. Orang yang menumpuk-numpuk kekayaan sangat dicela oleh Islam, sebagaimana disebutkan di atas. Al Qur’an mengajarkan bahwa orang yang berlebih atau yang telah mampu mencukupi kebutuhan pokoknya harus memberikan sebagian hartanya kepada orang-orang yang membutuhkan. “''Mereka menanyakan kepadamu, seberapa banyak harta yang harus diberikan kepada orang lain. Jawablah: 'Kelebihan dari kekuranganmu'''” (Al-Qur’an [[Surah Al-Baqarah]] ayat ke-19). Orang-orang yang menyimpan emas dan perak diperingatkan dengan keras di dalam Al-Qur’an. “''Mereka yang menimbun emas dan perak, serta tiada menafkahkannya di jalan Allah, beritahulah mereka tentang siksaan yang pedih dan manyakitkan''” (Al-Qur’an [[Surah At-Taubah]] ayat ke-34).
Al Qur’an sangat mencela riba (praktek yang eksploitatif dan menguntungkan sistem kapitalisme). Mengenai riba Al Qur’an menyebutkan, “Orang yang memakan riba tidak akan bisa berdiri di hari kiamat, kecuali sebagaimana berdirinya orang yang kerasukan setan sehingga menjadi gila” (2:275).dan juga, “Hai orang yang beriman ! Bertaqwalah kepada Allah dan berikanlah sisa riba yang belum diambil, jika kamu sungguh-sungguh beriman. Dan jika kamu mengadakan riba, ketahuilah Allah dan RosulNya akan memerangi kamu. Tetapi jika kamu menganiaya dan tiada kamu dianiaya” (Al Qur’an, 2:278-279).
Dan berkenaan dengan pajak untuk jumlah kekayaan yang besar, Al Qur’an telah mengaturnya dengan zakat (sedangkan berapa besar zakat yang harus dikeluarkan tidak disebutkan di dalam Al Qur’an, tetapi di dalam hadits. Menurut pendapat saya, besarnya zakat dapat bervariasi sesuai dengan kondisi, yang penting dapat menjamin keadilan bagi si miskin). Kata zakat yang disebutkan dalam Al Qur’an selalu diikuti dengan kata sholat. “Merteka yang mendirikan sholat dan menafkahkan sebagian rizki yang kami berikan kpadanya” (Al Qur’an, 8:3). Orang miskin dan budak memiliki hak atas harta orang yang kaya. “Dan dalam kekayaannya, mereka ingat hak para peminta-minta dan orang yang hidup berkekurangan” (Al Qur’an, 51:19). Bahkan orang-orang yang sholat namun tidak mau memperhatikan dan menolong orang yang miskin dan sengsara diancam oleh Allah. “Tahukah kamu, orang yang mendustakan agama ? Itulah orang-orang yang mengusir anak yatim” (Al Qur’an, 107).
Dengan demikian, kedatangan Islam adalah untuk merubah status quo serta mengentaskan kelompok yang tertindas dan dieksploitasi, mereka inilah yang disebut dengan kelompok masyarakat lemah. Masyarakat yang sebagian anggotanya mengeksploitasi sebagian anggota lainnya yang lemah dan tertindas, tidak dapat disebut sebagai masyarakat Islam (Islamic society), meskipun mereka menjalankan ritualitas Islam. Nabi bahkan menyamakan kemiskinan dengan kufur, dan berdoa kepada Allah agar dilindungi dari keduanya. Penghapusan kemiskinan merupakan syarat bagi terciptanya masyarakat Islam. Hadits lain mengatakan bahwa sebuah negara dapat bertahan hidup walau di dalamnya ada kekufuran, namun tidak bisa bertahan jika di dalamnya terdapat zulm (penindasan).
Allah menegaskan bahwa keadilan merupakan ukuran tertinggi suatu masyarakat. “Katakanlah : Tuhanku memerintahkan supaya kamu berbuat adil” (Al Qur’an, 7:29). Dan juga, “Sungguh Allah mencintai orang-orang yang berbuat adil” (Al Qur’an, 49:9). Menurut Al Qur’an, taqwa itu tidak dapat dilepaskan dari keadilan. “Berlakulah adil, dan itu lebih dekat kepada taqwa” (Al Qur’an, 5:8). Oleh karena itu, arti taqwa di dalam Islam bukan hanya menjalankan ibadah ritual saja. Tanpa keadilan sosial, tidak akan ada ke-taqwa-an. Dalam bidang sosial, ‘adl dan ahsan merupakan konsep-konsep pokok di dalam Al Qur’an.
Benarlah pendapat Nawab Haider Naqvi, seorang ahli ekonomi dari Pakistan, “keadilan sosial dalam Islam berakar pada tauhid. Sebenarnya, keyakinan kepada Tuhan itu secara otomatis mempunyai konsekuensi untuk menciptakan keadilan. Salah satu tidak akan ada tanpa yang satunya” (N.H. Naqvi, Ethics and Economics-An Islamic Synthesis, Leicester, U.K., 1981).
Sayangnya, Islam yang bersifat revolusioner ini segera menjadi agama yang kental dengan status quo, begitu Nabi Muhammad SAW meninggal dunia. Selama abad pertengahan, Islam sarat dengan praktis feodalistik dan para ulama justru ikut menyokong kemapanan yang sudah kuat itu. Mereka lebih banyak menulis buku tentang ibadah-ibadah ritual dan menghabiuskan energinya untuk mengupas masalah-masalah furu’iyah dalam Syari’at, dan sama sekali mengecilkan arti elan vital Islam dalam menciptakan keadilan sosial dan kepedulian Islam yang aktif terhadap kelompok yang lemah dan tertindas (mustad’afin). Mereka mengidentifikasi dirinya sebagai mustakbirin (orang yang kuat dan sombong). Sehingga sampai sekarang, Islam yang diterima masyarakat adalah Islam yang kental dengan status quo. Maka dari itu, sekarang ini yang sangat dibutuhkan adalah menghapuskan sistem kapitalisme yang didasarkan pada eksploitasi sesama manusia, jika semangat Islam masih menjadi ruh bagi masyarakatnya.
Sampai di sini kita telah mendiskusikan beberapa aspek dalam teologi pembebasan vis a vis teologi konvensional. Berikut kita akan membahas beberapa aspek lagi dalam teologi pembebasan secara lebih lanjut. Perlu dicatat bahwa teologi pembebasan itu lebih menekankan pada praktis daripada teologi metafisis yang mencakup hal-hal yang abstrak dan konsep-konsep yang ambigu. Praksis yang dimaksud adalah sifat leberatif dan menyangkut interaksi antara “apa yang ada” (is) da “apa yang seharusnya” (ought).
Islam yang sekarang ini diwarnai dengan ketidakjelasan metafisiko-teologis (metaphysico-theological obfuscation) yang nampak dala formulasi teologisnya pada zaman pertengahan, sebenarnya bersifat liberatif. Sebagaimana telah disebutkan di muka, Islam menjadi tantangan yang membahayakan para saudagar kaya Mekah yang menjadi pelopor terbentuknya kemapanan dan menentang nabi secara mati-matian demi mempertahankan status quo. Karakter ideologis Islam dan salah satu karakter dari agama-agama besar dunia adalah semangat anti status quo.
Bahwa Islam berorientasi praktis senyatanya disebut dengan tegas dan jelas di dal;am banyak ayat Al Qur’an. Seorang mujahidin (orang yang bersungguh-sungguh memperjuangakan kebenaran) sangat di hargai di dalam Al Qur’an. “Tiadalah sama orang mukmin yang duduk saja di rumah, kecuali yang sakit, dan oarang yang berihad di jalan Allah dengan harta dan jiwanya”. Kalimat selanjutnya, “Allah menempatkan orang berjihad dengan harta dan jiwanya sederajat lebih tinggi dari orang yang duduk saja di rumah” (4:95).
Dengan demikian jelaslah bahwa jihad bukan untuk mengedepankan kepentingan pribadi atau mempertahankan status quo, namun dem kepentingan orang yang tertindas dan lemah. “Mengapa kamu tidak berjuang di jalan Allah dan membela orang yangn tertindas, laki-laki, perempuan dan anak-anak yang berkata “Tuhan kami! Keluarkan kami dari kota ini yang penduduknya berbuat dzalim. Berilah kami perlindungan dan pertolongan dariMu!” (Al Qur’an, 4:75).
Jihad dalam Islam terutama untuk melindungi kepentingan orang yang tertindas dan lemah, atau untuk mempertahankan diri dari serangan musuh. Kepentingan orang yang lemah selalu terngiang dalam benak Rasulullah dan sahabat-sahabat dekatnya. Abu Bakar, khalifah pertama, dalam pidato pertamanya setelah terpilihy menjadi khalifah, berkata, “Sekarang saya telah ditetapkan menjadi wali bagi kamu sekalian, meskipun saya tidak lebih baik dari kalian. Jika saya benar maka dukunglah saya, namun jika salah maka silahkan koreksi saya. Kebenaran adalah amanah, dan kebohongan adalah khiyanah. Siapa pun di antara kalian yang lemah, di mata saya kalian adalah kuat karena saya akan memenuhi hak-hak kalian sehingga hidup sejahtera, dan siapa di antara kalian yang kuat, di mata saya adalah lemah karena saya akan mengambil (yang kalian klaim) hak-hak kalian”.
Pernyataan tersebut ditekankan secara sangat jelas oleh Abu Bakar, yakni kebenaran, perlindungan terhadap kaum yang lemah dan penindasan noleh kelompok yang kuat. Beliau juga terbuka terhadap kritik, seandainya beliau melakukan kesalahan. Keinginan untuk berbuat baik, melindungi yang lemah dengan kekuasaan dan menganut prinsip pertanggungjawaban (accountability)merupakan hal yang mendasar dalam teologi pembebasan. Umar bin Khatab, khalifah kedua, selama masa pemerintahannya juga sangat berkompeten untuk menghapuskan kemiskinan. Bahkan disebutkan, Umar pernah mengatakan jika ada seekor anjing mati di tepi sungai karenja kehausan, maka dirinya akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Tuhan kelak. Hal ini sejalan dengan ayat Al Qur’an, “Tiada sesuatu pun yang bergerak di muka bumi yang bukan karena rizki yang Allah berikan padanya” (11:6). Merupakan kehendak Allah bahwa seekor binatang pun tidak dibiarkan-Nya mati, apalagi manusia yang merupakan makhluk-Nya yang paling mulia.
== Lihat pula ==
|