Eksistensi kota ini dimulai di saat [[Pakubuwana II|Sinuhun Paku Buwana II]], raja [[Kesultanan Mataram|Kasultanan Mataram Islam]], memindahkan kedudukan raja dari [[Kasunanan Kartasura|Kartasura]] ke Desa Sala, sebuah desa yang tidak jauh dari tepi [[Bengawan Solo]], karena istana Kartasura hancur akibat [[Geger Pacinan|serbuan pemberontak]]. [[Pakubuwana II|Sunan Pakubuwana II]] membeli tanah dari lurah Desa Sala, yaitu Kyai Sala, sebesar 10.000 ringgit ([[gulden Hindia Belanda|gulden Belanda]]) untuk membangun istana [[Kesultanan Mataram|Mataram]] yang baru. Secara resmi, istana [[Kesultanan Mataram|Mataram Islam]] yang baru dinamakan [[Keraton Surakarta|Karaton Surakarta Hadiningrat]] dan mulai ditempati tanggal [[20 Februari]] [[1745]].<ref name="Kompleks Bangunan Keraton Surakarta"/> [[Perjanjian Giyanti]] yang ditanda-tangani oleh [[Pakubuwana III|Sinuhun Paku Buwana III]], [[VOC|Belanda]], dan [[Hamengkubuwana I|Pangeran Mangkubumi]] pada [[13 Februari]] [[1755]] membagi wilayah [[Kesultanan Mataram|Mataram]] menjadi dua yaitu [[Kasunanan Surakarta]] dan [[Kesultanan Yogyakarta]].<ref>[https://www.kratonjogja.id/cikal-bakal/detail Cikal Bakal Keraton Kasultanan Yogyakarta]</ref> Selanjutnya wilayah Kasunanan Surakarta semakin berkurang, karena [[Perjanjian Salatiga]] yang diadakan pada [[17 Maret]] [[1757]] menyebabkan [[Mangkunegara I|Raden Mas Said]] diakui sebagai seorang pangeran merdeka dengan wilayah kekuasaan berstatus [[kadipaten]], yang disebut dengan nama [[Kadipaten Mangkunegaran|Kadipaten Mangkunegaran Surakarta (Pura Mangkunegaran Surakarta)]]. Sebagai penguasa Mangkunegaran, Raden Mas Said bergelar [[Mangkunegara I|Adipati Mangkunegara I]].