Tahun Baru Imlek di Indonesia: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Cun Cun (bicara | kontrib)
Cun Cun (bicara | kontrib)
Baris 22:
Selama periode panjang dari tahun [[1968]] hingga [[1999]], perayaan Tahun Baru Imlek dilarang untuk dirayakan di depan umum. Melalui Instruksi Presiden Nomor [[14 (angka)|14]] Tahun [[1967]], rezim [[Orde Baru]] di bawah pemerintahan [[Presiden]] [[Soeharto]], melarang semua hal yang berkaitan dengan [[Tionghoa-Indonesia|Tionghoa]], termasuk Tahun Baru Imlek.
 
Pada 6 Desember 1967, Presiden Soeharto mengeluarkan [[Instruksi Presiden No.14/1967]] tentang ''pembatasan Agama, Kepercayaan dan Adat Istiadat Cina. Dalam instruksi tersebut ditetapkan bahwa seluruh Upacara Agama, Kepercayaan dan Adat Istiadat Tionghoa'' hanya(pada bolehmasa dirayakanitu dimasih lingkungandisebut keluarga dan dalam ruangan tertutup''Cina''. Instruksi Presiden ini bertujuan mengeliminasi secara sistematis dan bertahap atas identitas diri orang-orang Tionghoa terhadap Kebudayaan Tionghoa termasuk Kepercayaankepercayaan, Agamaagama dan Adatadat Istiadatnyaistiadatnya. Dengan dikeluarkannya Inpres tersebutitu, seluruh Perayaansemua Tradisiperayaan dan Keagamaantradisi Etnisetnis Tionghoa termasuk Tahun Baru Imlek, Cap Go Meh, Pehcun dan sebagainya dilarang untuk dirayakan secara terbuka. DemikianDiketahui penetapan instruksi ini juga tariandidukung [[barongsai]]oleh danseorang liongetnis dilarangTionghoa dipertunjukkanbernama [[Kristoforus Sindhunata]].
Orang Tionghoa yang pertama kali mengusulkan larangan total untuk merayakan Imlek, adat istiadat, dan budaya Tionghoa di Indonesia kepada Presiden Soeharto sekitar tahun 1966-1967 adalah [[Kristoforus Sindhunata]] alias Ong Tjong Hay. Namun, Presiden Soeharto merasa usulan tersebut terlalu berlebihan, dan tetap mengizinkan perayaan Imlek, adat istiadat, dan budaya Tionghoa namun diselengarakan hanya di rumah keluarga Tionghoa dan di tempat yang tertutup, hal inilah yang mendasari diterbikannya Inpres No. 14/1967.
 
Pada 6 Desember 1967, Presiden Soeharto mengeluarkan Instruksi Presiden No.14/1967 tentang pembatasan Agama, Kepercayaan dan Adat Istiadat Cina. Dalam instruksi tersebut ditetapkan bahwa seluruh Upacara Agama, Kepercayaan dan Adat Istiadat Tionghoa hanya boleh dirayakan di lingkungan keluarga dan dalam ruangan tertutup. Instruksi Presiden ini bertujuan mengeliminasi secara sistematis dan bertahap atas identitas diri orang-orang Tionghoa terhadap Kebudayaan Tionghoa termasuk Kepercayaan, Agama dan Adat Istiadatnya. Dengan dikeluarkannya Inpres tersebut, seluruh Perayaan Tradisi dan Keagamaan Etnis Tionghoa termasuk Tahun Baru Imlek, Cap Go Meh, Pehcun dan sebagainya dilarang dirayakan secara terbuka. Demikian juga tarian [[barongsai]] dan liong dilarang dipertunjukkan.
 
Pada tahun itu pula dikeluarkan Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera Nomor 06 Tahun 1967 dan Keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi Nomor 286/KP/XII/1978 yang isinya menganjurkan bahwa WNI keturunan Tionghoa yang masih menggunakan tiga nama untuk menggantinya dengan nama Indonesia sebagai upaya asimilasi. Hal ini didukung pula oleh Lembaga Pembina Kesatuan Bangsa (LPKB).
 
LPKB (Lembaga Pembina Kesatuan Bangsa) menganjurkan keturunan Tionghoa, antara lain, agar:
 
- Mau melupakan dan tidak menggunakan lagi nama Tionghoa.
 
- Menikah dengan orang Indonesia pribumi asli.
 
- Menanggalkan dan menghilangkan agama, kepercayaan, dan adat istiadat Tionghoa, termasuk bahasa maupun semua kebiasaan dan kebudayaan Tionghoa dalam kehidupan sehari-hari, termasuk larangan untuk perayaan tahun baru imlek.
 
Badan Koordinasi Masalah Cina (BKMC) yang berada di bawah [[BAKIN|Bakin (kini BIN)]] yang menerbitkan tak kurang dari tiga jilid buku masing-masing setebal 500 halaman, yaitu "Pedoman Penyelesaian Masalah Cina" jilid 1 sampai 3. Dalam hal ini, pemerintahan Soeharto dengan dengan tegas menganggap keturunan Tionghoa dan kebiasaan serta kebudayaan Tionghoa, termasuk agama, kepercayaan, dan adat istiadat Tionghoa sebagai "masalah" yang merongrong negara dan harus diselesaikan secara tuntas.
 
Kemudian dengan diterbitkannya SE Mendagri No.477 / 74054 tahun 1978 tertanggal 18 Nopember 1978 tentang pembatasan kegiatan Agama, Kepercayaan dan Adat Istiadat Cina, yang berisi antara lain, bahwa pemerintah menolak untuk mencatat perkawinan bagi yang Beragama Khonghucu dan penolakan pencantuman Khonghucu dalam kolom Agama di KTP, yang didukung dengan adanya kondisi sejak tahun 1965-an atas penutupan dan larangan beroperasinya sekolah-sekolah Tionghoa, hal ini menyebabkan terjadi eksodus dan migrasi identitas diri sebagian besar orang-orang Tionghoa ke dalam Agama Kristen sekte Protestan, dan sekte Katolik, Buddha bahkan ke Islam. Demikian juga seluruh perayaan ritual kepercayaaan, agama dan adat istiadat [[Tionghoa-Indonesia|Tionghoa]] termasuk perayaan Tahun Baru baru Imlek menjadi surut dan pudar.
 
Surat dari Dirjen Bimas Hindu dan Buddha Depag No H/BA.00/29/1/1993 menyatakan larangan merayakan Imlek di [[Vihara|wihara]] dan [[cetiya]]. Kemudian [[Walubi|Perwakilan Umat Buddha Indonesia]] (Walubi) mengeluarkan Surat Edaran No 07/DPP-WALUBI/KU/93, tertanggal 11 Januari 1993 yang menyatakan bahwa Imlek bukanlah merupakan hari raya agama Buddha, sehingga Vihara Mahayana tidak boleh merayakan tahun baru Imlek dengan menggotong [[Toa Pe Kong|Toapekong]] dan acara barongsai.