Setelah [[Perang Dunia II]], Jepang menyerahkan kekuasaan atas Taiwan, kaum Nasionalis kalah dalam Perang Saudara Tiongkok dan akibatnya menegaskan kekuasaan atas pulau Taiwan. Kekacauan dari peristiwa bersejarah yang penting ini, di samping kerusuhan sipil yang ditimbulkan oleh [[Peristiwa 228]] dan kebutuhan untuk proyek-proyek rekonstruksi besar-besaran karena pengeboman infrastruktur Jepang oleh Amerika Serikat menempatkan ekonomi pascaperang Taiwan dalam posisi yang genting. Dengan menyusutnya output ekonomi, periode [[hiperinflasi]] terjadi, mengakibatkan penerbitan [[Dolar Taiwan Baru]] oleh [[Bank of Taiwan]] pada Juni 1949. Nilai tukar [[Dolar Taiwan Lama]] dengan Dolar Taiwan Baru pada tingkat 40.000 berbanding 1 membantu menstabilkan harga dan membuka jalan untuk periode pertumbuhan bertahap.<ref name="GTI">{{cite book|url=https://globaltaiwan.org/wp-content/uploads/2020/01/GTI-Navigating-Economic-Challenges-in-a-Contested-Democracy-Jan-2020final.pdf|title=Taiwan Miracle Redux:Navigating Economic Challenges in a Contested Democracy|author=Ryan Terribilini dan Tze-ting Huang|date=Januari 2020|publisher=Global Taiwan Institute|page=10|accessdate=14 November 2021}}</ref>
Selama era ini, ekonomi Taiwan hampir seluruhnya bergantung pada hasil pertanian untuk menopang mata pencaharian masyarakat. Dengan tiga perlima penduduk bekerja sebagai petani, memelihara harga pangan sangat tergantung pada akses ke lahan pertanian dan kebijakan selanjutnya. Melalui kebijakan reformasi pertanahan, hasil panen meningkat secara signifikan yang mengarah pada surplus sumber daya pertanian yang siap diekspor dan masuknya devisa di samping pengenaan kontrol impor. Efek “peras” dan “penyerapan” simultan yang dipasangkan dengan bantuan bantuan asing yang diberikan oleh Amerika Serikat pada akhirnya menghasilkan stabilitas politik dan ekonomi yang sangat dibutuhkan saat Taiwan bekerja menuju swasembada.<ref name="GTI"/>
=== Pertumbuhan Domestik dan Integrasi Internasional (1961―1980) ===