Buri Wolio: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Rescuing 1 sources and tagging 0 as dead.) #IABot (v2.0.8.2 |
|||
Baris 21:
Secara umum aksara ini mirip dengan [[Abjad Jawi|aksara Jawi]], hanya saja dalam aksara Buri Wolio, lambang [[fonem]] [[vokal]] dan [[konsonan]] terpisah sehingga aksara ini tergolong dalam kelompok [[alfabet]].
Belum diketahui secara pasti kapan aksara ini ada, namun merunut pada naskah Buton tertua yang berhasil ditemukan, diperkirakan aksara ini sudah ada sejak kedatangan agama Islam di Buton pada abad ke-16.<ref>{{Cite journal|last=Hiroko K. Yamaguchi|date=2007|title=Manuskrip Buton: Keistimewaan dan nilai budaya|url=http://www.ukm.my/sari/index.html|journal=SARI: Jurnal Alam dan Tamadun Melayu|language=en|volume=25|pages=41–50|issn=0127-2721|access-date=2021-07-01|archive-date=2011-07-12|archive-url=https://web.archive.org/web/20110712170244/http://www.ukm.my/sari/index.html|dead-url=yes}}</ref> Bersama-sama dengan bahasa Wolio, aksara ini digunakan dalam penulisan naskah-naskah kuno di Buton, di antaranya; naskah undang-undang, naskah keagamaan dan naskah surat-surat.<ref name=":2" />
Selain itu, aksara ini juga digunakan untuk menulis ''kaḃanti'' ({{Script/Arabic|كَڀَنْتِ}})''.'' Tradisi penulisan ''kaḃanti'' di Buton, mencapai puncak kepopulerannya pada Abad XIX (1824-1851), yaitu pada masa pemerintahan Sultan Buton XXIX yang bernama Muhammad Idrus Kaimuddin. Bagi masyarakat Buton, beliau selain dikenal sebagai sultan juga dikenal sebagai ulama serta pujangga Buton yang tersohor. Sebagai seorang pujangga, beliau banyak mengarang kesusastraan jenis ''kaḃanti'', terutama yang bernapaskan ajaran agama Islam. Selain Muhammad Idrus Kaimuddin, lahir pula beberapa pujangga Buton lainnya yang berasal dari lingkungan keluarga Keraton Buton, seperti La Ode Kobu (''Metapasina Bādia''), La Ode Nafiu (''Yarona Labuandiri''), dan H. Abdul Ganiu (''Kenepulu Bula'').<ref name=":1" />
|