Perjanjian (politik): Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 4:
Negara-negara sudah membuat perjanjian sejak zaman kuno, contohnya adalah perjanjian antara [[negara-kota]] [[Lagash]] dan [[Umma]] pada tahun 2100 SM serta [[Perjanjian Kadesh]] antara [[Mesir Kuno|Kerajaan Mesir]] dengan [[Bangsa Het|Het]]. Terdapat berbagai jenis perjanjian, seperti perjanjian bilateral yang melibatkan dua negara dan perjanjian multilateral yang diikuti oleh lebih dari dua negara. Untuk membuat suatu perjanjian, diperlukan proses perundingan, penerimaan, dan otentikasi naskah perjanjian. Setelah itu negara dapat menyatakan iktikadnya untuk terikat dengan suatu perjanjian melalui penandatanganan, [[ratifikasi]], dan aksesi. Negara-negara juga dapat membuat [[pensyaratan]], yaitu pernyataan sepihak yang bertujuan meniadakan atau mengubah dampak hukum dari ketentuan tertentu dalam suatu perjanjian, asalkan pensyaratan tersebut diperbolehkan oleh perjanjian yang bersangkutan dan juga tidak bertentangan dengan maksud dan tujuan dari perjanjian tersebut.
 
Aturan mengenai penafsiran perjanjian tercantum dalam Pasal 31 dan 32 Konvensi Wina 1969. Kedua pasal ini kini dianggap melambangkan kebiasaan internasional. Pada dasarnya perjanjian ditafsirkan sesuai dengan pengertian yang lazim diberikan terhadap suatu istilah sesuai dengan konteks dan berdasarkan maksud dan tujuan dari perjanjiannya. ApabilaPenafsir juga diperbolehkan menggunakan cara penafsiran tambahan dalam Pasal 32 Konvensi Wina 1969 untuk memastikan hasil dari penafsiran yang dilakukan sesuai dengan Pasal 31, atau apabila makna yang diperoleh dari penafsiran ini "rancu atau kabur" atau "mustahil atau tidak masuk akal",. penafsirSalah dapat menggunakansatu cara penafsiran tambahan dalam Pasal 32 Konvensi Wina 1969, salah satunyaadalah dengan melihat dokumen persiapan perjanjian atau ''[[travaux préparatoires]]''.
 
Suatu perjanjian dapat diamendemen sesuai dengan kesepakatan pihak-pihak yang terlibat. Pihak yang ingin keluar dari sebuah perjanjian dapat melakukannya sesuai dengan kesepakatan yang tercantum pada perjanjian tersebut. Apabila tidak ada ketentuannya sama sekali, pengakhiran atau penarikan dari suatu perjanjian hanya dapat dilakukan jika pihak-pihak yang terlibat dalam perjanjian tersebut sedari awal memiliki iktikad untuk menerima kemungkinan pengakhiran atau penarikan, atau jika hak untuk melakukan hal tersebut tersirat dalam perjanjiannya. Suatu perjanjian dapat dianggap tidak absah akibat hal-hal tertentu, misalnya jika perjanjian tersebut dibuat dari korupsi dengan perwakilan negara lain, dengan paksaan, atau apabila isinya melanggar ''[[jus cogens]]'' atau norma wajib yang tidak dapat dikesampingkan dalam keadaan apapun (misalnya pelarangan perbudakan dan penyiksaan). Status traktat dalam hukum nasional sendiri bergantung pada sistem hukum di setiap negara.