Geriten: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Tutiana98 (bicara | kontrib)
pranala dalam
Mufqam (bicara | kontrib)
kTidak ada ringkasan suntingan
Baris 4:
 
== Definisi ==
Menurut Samaria Ginting (1994): geriten hampir sama bentuknya dengan [[jambur]], namun geriten lebih kecil daripada jambur. Ia berukuran sekitar 2,5 meter x 2,5 meter. Dalam penjelasan lain, Hilderia Sitanggang (1991) dalam bukunya ''[[Arsitektur]] [[Tradisional Batak Karo]]'' menjelaskan bahwa geriten merupakan bangunan yang lebih kecil dari jambur. Bangunan geriten digunakan untuk tempat penyimpanan tengkorak dari nenek moyang atau tulang belulang dari orang tua yang cawir metua. Pengertian cawir metua dapat kita lihat seperti penjelasan Nelly Tobing (1991) dalam bukunya berjudul ''Upacara Adat Kampung Lingga''. Mate cawir metua memiliki arti meninggal dalam usia yang sudah lanjut. Seseorang yang disebut mate cawir metu sudah mempunyai banyak turunan termasuk anak, cucu, cicit bahkan buyut. Jenis kematian ini dianggap paling mulia dalam [[budaya]] suku Karo.<ref>{{Cite web|url=https://analisadaily.com/berita/arsip/2016/3/12/221385/geriten-bagi-masyarakat-karo/|title=Geriten Bagi Masyarakat Karo|last=M.Hum|first=Dr. Daulat Saragih|date=12 Mar 2016|website=analisadaily.com|access-date=2 Peb 2020}}</ref>
 
== Makna Geriten Pada Mayarakat Karo ==
Baris 10:
 
== Filosofi Geriten ==
Bagian-bagian [[konstruksi]] Geriten sarat dengan nilai-nilai [[moral]], [[sosial]], [[religius]], dan [[Pedagogi|pedagogis]] yang diharapkan dapat ditiru oleh generasi sesudahnya. Penempatan geriten tidak bisa jauh dari rumah adat. Ketika sebuah [[raga binasa]], maka roh kembali ke rumah untuk mengayomi keturunannya. Tempat tulang-belulang dimasukkan dalam Geriten tidak boleh jauh dari rohnya yang tinggal di rumah. Tulang-belulang yang dinaikkan ke atas merupakan suatu simbol penghargaan. Ada [[filosofi]] yakni d''areh'' jadi ''lau'', daging jadi ''taneh'', ''kesah'' jadi angin, ''buk'' jadi ijuk, ''tulan'' jadi batu, ''tendi mulih ku dibata simada tinuang'' (roh kembali kepada Maha Pencipta). Masyarakat [[Karo]] lama (sebelum menganut agama [[Kristen]] maupun non-kristen) telah paham bahwa diri seseorang bukanlah miliknya dan bahwa suatu penghabisan adalah perubahan. Asal mula, akhir dari suatu perubahan itu dan menjadi, air kembali ke air, tanah kembali ke tanah, roh kembali kepada pemilik roh. Rambut jadi ijuk, tulang jadi batu, akhir bukanlah suatu kesia-siaan, melainkan awal sesuatu yang bermanfaat demi kesejahteraan umat.
 
== Lihat pula ==