Albertus Soegijapranata: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler Suntingan seluler lanjutan
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler Suntingan seluler lanjutan
Baris 117:
Pemerintah Jepang menangkap dan menahan ribuan pria dan wanita (sebagian besar orang Belanda), baik orang awam maupun klerus.{{efn|{{harvtxt|Subanar|2003|pp=155–163}} mencatat 109 Yesuit, 61 anggota [[Fratrum Immaculatae Conceptionis]], dan 21 biarawati dalam Ordo Carolus Borromeus yang ditahan selama periode pendudukan Jepang. Sebanyak dua belas pastor ditahbiskan dalam kurung waktu yang sama.}} Pemerintah juga menentukan kebijakan yang mengubah cara orang mengadakan misa. Penggunaan bahasa Belanda dilarang, baik yang dilafalkan maupun yang ditulis, dan sejumlah bangunan milik Gereja disita.{{sfn|Subanar|2003|pp=133–134}} Soegijapranata berusaha untuk mencegah penyitaan ini. Ia pernah mengisi gedung kosong dengan orang supaya tidak disita, dan menyatakan bahwa gedung lain, misalkan bioskop, akan lebih bermanfaat untuk Jepang.{{sfn|Subanar|2003|p=135}} Saat penguasa Jepang berusaha untuk menyita Katedral Semarang untuk digunakan sebagai kantor, Soegijapranata menyatakan bahwa mereka hanya boleh mengambil gereja tersebut kalau mereka memenggal kepalanya dulu; pihak Jepang kemudian menemukan tempat lain. Soegijapranata juga mencegah penyitaaan Pastoran Gedangan, tempat ia tinggal,{{sfn|Gonggong|2012|p=49}} serta menugaskan penjaga di sekolahan dan tempat lain, supaya tidak disita.{{sfn|Subanar|2003|p=139}} Namun, usaha ini tidak selalu berhasil, dan berbagai bangunan milik Gereja disita;{{sfn|Subanar|2005|p=59}} begitu pula dana Gereja.{{sfn|Subanar|2005|p=67}}
 
Soegijapranata tidak dapat menghentikan disiksanya [[tahanan perang]], termasuk para klerus,{{efn|Antara tahun 1942 dan 1945 sebanyak 74 pastor, 47 bruder, dan 160 biarawati dibunuh Jepang. Misalkan, Uskup Maluku dan Papua Barat Giovanni Aerts, bersama dengan sebelas bruder dan pendeta, [[Eksekusi kilat|dieksekusi kilat]] {{harv|Gonggong|2012|p=50}}. Beberapa klerus, termasuk Willekens, memanfaatkan hubungan diplomatik antara Vatikan dan Jepang untuk menyatakan diri sebagai duta, sehingga mereka dilindungi dari kekejaman Jepang {{harv|Subanar|2005|p=57}}.}}{{sfn|Subanar|2003|p=136}} tetapi diri Soegijapranata diperlakukan dengan baik oleh Jepang. Ia kerap diundang untuk upacara Jepang, tetapi tidak pernah hadir; sebagai ganti, ia mengirim karangan bunga.{{sfn|Gonggong|2012|p=48}} iaIa menggunakan kedudukannya itu untuk memastikan bahwa tahanan perang diperlakukan dengan baik. Ia berhasil membujuk penguasa Jepang untuk membiarkan para biarawati bekerja di rumah sakit dan tidak diwajibkan untuk mengikuti paramiliter. Ia dan warga Katolik lain juga mengumpulkan makanan untuk klerus yang ditahan, dan Soegijapranata terus menjaga hubungannya dengan para tahanan; ia memberikan informasi dan berita kepada mereka.{{sfn|Subanar|2005|pp=64–66}}
 
Karena jumlah klerus terbatas sekali, Soegijapranata pergi dari gereja ke gereja untuk berkhotbah secara aktif; hal ini juga menangkal desas-desus bahwa ia telah ditangkap Jepang.{{sfn|Subanar|2003|p=140}} Ia pergi dengan berjalan kaki, naik sepeda, atau naik kereta kuda, sebab mobilnya telah disita.{{sfn|Gonggong|2012|p=52}} Ia juga dapat mengirimkan imam ke [[prefektur apostolik]] lainnya, antara lain ke [[Bandung]], [[Surabaya]], dan [[Malang]] untuk menghadapi kurangnya jumlah klerus di sana.{{sfn|Subanar|2003|p=142}} Soegijapranata juga menentukan agar seminari terus menghasilkan pastor baru, dengan menentukan Pr. Hardjawasita, yang baru ditahbiskan pada tahun 1942, sebagai rektor.{{sfn|Subanar|2003|pp=143–144}} Ia juga memberi pastor lokal kekuasaan untuk memimpin acara pernikahan.{{sfn|Aritonang|Steenbrink|2008|p=705}} Supaya masyarakat Katolik tetap tenang, Soegijapranata mengunjungi rumah mereka dan menyatakan bahwa semuanya aman-aman saja.{{sfn|Subanar|2005|p=63}}