Boedi Oetomo: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 40:
Semenjak dipimpin oleh Raden Adipati Tirtokoesoemo, banyak anggota baru Budi Utomo yang bergabung dari kalangan bangsawan dan pejabat kolonial, sehingga banyak anggota muda yang memilih untuk menyingkir. Pada masa itu pula muncul [[Sarekat Islam]], yang pada awalnya dimaksudkan sebagai suatu perhimpunan bagi para pedagang besar maupun kecil di Solo dengan nama [[Sarekat Islam|Sarekat Dagang Islam]], untuk saling memberi bantuan dan dukungan. Tidak berapa lama, nama itu diubah oleh, [[Tjokroaminoto]], menjadi Sarekat Islam, yang bertujuan untuk mempersatukan semua orang [[Indonesia]] yang hidupnya tertindas oleh penjajahan. Sudah pasti keberadaan perkumpulan ini ditakuti orang Belanda. Munculnya gerakan yang bersifat politik semacam itu menyebabkan Budi Utomo agak terdesak ke belakang. Kepemimpinan perjuangan orang Indonesia diambil alih oleh Sarekat Islam dan [[Indische Partij]] karena dalam arena politik Budi Utomo memang belum berpengalaman. Karena gerakan politik perkumpulan-perkumpulan tersebut, makna [[nasionalisme]] makin dimengerti oleh kalangan luas. Ada beberapa kasus yang memperkuat makna tersebut. Ketika Pemerintah Hindia Belanda hendak merayakan ulang tahun kemerdekaan negerinya, dengan menggunakan uang orang Indonesia sebagai bantuan kepada pemerintah yang dipungut melalui penjabat pangreh praja pribumi, misalnya, rakyat menjadi sangat marah.
 
== Pergantian kepemimpinan kepada Pangeran Ario Noto Dirodjo ==
Pada sepuluh tahun pertama, Budi Utomo mengalami beberapa kali pergantian pemimpin organisasi. Kebanyakan para pemimpin berasal dari kalangan "[[priayi]]" atau para [[bangsawan]] dari kalangan [[keraton]], seperti , mantan [[Bupati]] [[Karanganyar]], dan Pangeran Ario Noto Dirodjo dari [[Keraton Pakualaman]].
Kepemimpinan Tirtokoesomo digantikan oleh Dirodjo pada tahun 1911 karena tidak sanggup lagi mengikuti arus dalam gerakan Budi Utomo. Kepemimpinan Dirodjo dinilai terlihat telah mengambil sikap dan progresif.{{Sfn|Muljana|2008|p=31}} Pada masa kepemimpinannya, Budi Utomo berhasil mendirikan tiga sekolah, yaitu 1 di [[Kota Surakarta|Sala]] dan 2 di Yogyakarta. Pencapaian ini dapat diraih berkat bantuan oleh [[Hamengkubuwana|Sultan Yogyakarta]] yang memberikan bantuan tanah sebesar 100.000 [[Gulden Belanda|gulden belanda]] dan hibah sebesar 45.000 gulden Belanda. Sudirohusodo pun juga berhasil mewujudukan gagasannya dengan mendirikan ''studiefonds'' yang bernama Darma Wara yang mendapatkan bantuan dari pemerintah sebesar 50.000 gulden Belanda.{{Sfn|Muljana|2008|p=32}}
 
== Perkembangan ==
Budi Utomo mengalami fase perkembangan penting saat kepemimpinan Pangeran [[Noto Dirodjo]]. Saat itu, [[Ernest Douwes Dekker|Douwes Dekker]] merupakan seorang Indo-Belanda yang sangat memperjuangkan bangsa Indonesia, dengan terus terang mewujudkan kata "[[politik]]" ke dalam tindakan yang nyata. Berkat pengaruhnya, pengertian mengenai "tanah air [[Indonesia]]" makin lama makin bisa diterima dan masuk ke dalam pemahaman orang Jawa. Maka muncul lah [[Indische Partij]] yang sudah lama dipersiapkan oleh [[Douwes Dekker]] melalui aksi persnya. Perkumpulan ini bersifat politik dan terbuka bagi semua orang Indonesia tanpa terkecuali. Baginya "tanah air api udara" (Indonesia) adalah di atas segala-galanya.
 
Kemarahan itu mendorong Soewardi Suryaningrat (yang kemudian bernama [[Ki Hadjar Dewantara]]) untuk menulis sebuah artikel "''Als ik Nederlander was''" (''Seandainya Saya Seorang Belanda''), yang dimaksudkan sebagai suatu sindiran yang sangat pedas terhadap pihak Belanda. Tulisan itu pula yang menjebloskan dirinya bersama dua teman dan pembelanya, yaitu [[Douwes Dekker]] dan Tjipto Mangoenkoesoemo ke penjara oleh Pemerintah [[Hindia Belanda]] (lihat: [[Boemi Poetera]]). Namun, sejak itu Budi Utomo tampil sebagai motor politik di dalam pergerakan orang-orang pribumi.