Nahdlatul Ulama: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Syahidan Haq (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Syahidan Haq (bicara | kontrib)
Penambahan Sejarah dan Latar Belakang
Baris 22:
|website = [http://www.nu.or.id/ Situs web resmi]|founder=[[Hasjim Asy'ari|Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy'ari]]}}'''Nahdlatul Ulama''' (''Kebangkitan Ulama'<nowiki/>''), disingkat '''N.U''', adalah [[organisasi|Orgasnisasi]] [[Islam]] terbesar di Indonesia yang berdiri pada 31 Januari 1926 M / 16 Rajab 1344 di [[Kota Surabaya]] dan bergerak di bidang keagamaan, pendidikan, sosial, dan ekonomi. Kehadiran '''NU''' merupakan salah satu upaya melembagakan wawasan tradisi keagamaan dan [[Suni|Ahlusunah wal Jama'ah]]. Selain itu, NU sebagaimana organisasi-organisasi pribumi lain baik yang bersifat sosial, budaya, atau keagamaan yang lahir di masa penjajahan, pada dasarnya merupakan bentuk perlawanan terhadap penjajah. Berdirinya NU ini merupakan suatu kebangkitan kesadaran bernegara dan beragama yang ditampakkan dalam wujud gerakan organisasi untuk menjawab kepentingan nasional dan dunia Islam.
 
== SejarahLatar Belakang ==
Akibat penjajahan maupun akibat kungkungan tradisi, telah menggugah kesadaran kaum terpelajar untuk memperjuangkan martabat bangsa ini, melalui jalan pendidikan dan organisasi. Gerakan yang muncul [[1908]] tersebut dikenal dengan "[[Kebangkitan Nasional|'''Kebangkitan Nasional''']]". Semangat kebangkitan terus menyebar - setelah rakyat pribumi sadar terhadap penderitaan dan ketertinggalannya dengan bangsa lain. Sebagai jawabannya, muncullah berbagai organisasi pendidikan dan pembebasan.
 
Baris 29:
Serikat itu dijadikan basis untuk memperbaiki perekonomian rakyat. Dengan adanya ''Nahdlatul Tujjar'' itu, maka ''Taswirul Afkar'', selain tampil sebagai kelompok studi juga menjadi lembaga pendidikan yang berkembang sangat pesat dan memiliki cabang di beberapa kota.
 
Berangkat dari munculnya berbagai macam komite dan organisasi, maka setelah itu dirasa perlu untuk membentuk organisasi yang lebih mencakup dan lebih sistematis, untuk mengantisipasi perkembangan zaman. Maka setelah berkordinasi dengan berbagai [[kyai]], karena tidak terakomodir kyai dari kalangan tradisional untuk mengikuti konferensi Islam Dunia yang ada di [[Indonesia]] dan [[Timur Tengah|Timur Tengah,]] akhirnya muncul kesepakatan dari para ulama pesantren untuk membentuk organisasi yang bernama '''Nahdlatul Ulama'' (Kebangkitan Ulama)''' pada 1'''616 Rajab 1344 H''' / '''31 Januari 1926''' di [[Kota Surabaya]]. Organisasi ini dipimpin oleh K.H. [[Hasjim Asy'ari]] sebagai Rais Akbar.
 
Ada banyak faktor yang melatar belakangi berdirinya NU, di antaranya adalah perkembangan dan pembaharuan pemikiran Islam yang menghendaki pelarangan segala bentuk amaliah kaum [[Suni|Sunni]]. Sebuah pemikiran agar ummat Islam kembali pada ajaran Islam yang murni, yaitu dengan cara umat Islam melepaskan diri dari sistem bermadzhab. Bagi para kiai pesantren, pembaruan pemikiran keagamaan sejatinya tetap merupakan suatu keniscayaan, namun tetap tidak dengan meninggalkan tradisi keilmuan para ulama terdahulu yang masih relevan. Untuk itulah, Jam'iyah '''Nahdlatul Ulama''' cukup mendesak untuk segera didirikan.
 
Untuk menegaskan prinsip dasar organisasi ini, maka K.H. [[Hasjim Asy'ari]] merumuskan kitab '''Qanun Asasi''' (Anggaran Dasar), kemudian juga merumuskan kitab "Itikad Ahlussunnah wal Jama'ah". Kedua kitab tersebut kemudian dijadikan rujukan dalam Khittah NU dan sebagai dasar dan rujukan warga NU dalam berpikir serta bertindak dalam bidang sosial, keagamaan, dan politik kebangsaan.
 
== Sejarah ==
Terbentuknya [[Nahdlatul Ulama]] sebagai wadah [[Suni|Ahlussunnah wal Jama’ah]] bukan semata-mata karena KH. Hasyim Asy’ari dan ulama-ulama lainnya ingin melakukan inovasi, namun memang kondisi pada waktu itu sudah sampai pada kondisi genting dan wajib mendirikan sebuah wadah.
 
Saat itu, di Timur Tengah terjadi sebuah peristiwa besar yang mengancam eksistensi [[Suni|Ahlussunnah wal Jama’ah]] terkait penghapusan sistem khalifah oleh [[Turki|Republik Turki Modern]] dan berkuasanya rezim [[Wahhabisme|Mazhab Wahabi]] di [[Arab Saudi]] yang sama sekali tidak membuka ruang bagi berkembangnya madzhab lain di tanah Arab saat itu. Menjelang berdirinya NU, beberapa ulama besar berkumpul di Masjidil Haram dan sangat mendesak berdirinya wadah bagi tumbuh kembang dan terjaganya ajaran [[Suni|Ahlussunnah wal Jama’ah]].
 
Setelah melakukan ''istikharah,'' maka para ulama-ulama di Arab Saudi mengirim pesan kepada KH. Hasyim Asy’ari untuk segera menemui dua ulama di Indonesia, dan jika dua orang tersebut menyetujui maka segera dilakukan tindak lanjut, yakni Habib Hasyim bin Umar bin Toha  bin Yahya Pekalongan dan [[Kholil al-Bangkalani|Syaikhona Kholil Bangkalan]]. KH Hasyim Asy’ari dengan didampingi Kiai Yasin, Kiai Sanusi, dan KH. R. Asnawi Kudus dengan diantar Kiai Irfan segera datang ke kediamannya Habib Hasyim.
 
Begitu KH. Hasyim Asy’ari duduk, Habib Hasyim langsung berkata, “Kiai Hasyim Asy’ari, silahkan laksanakan niatmu jika akan membentuk wadah [[Suni|Ahlussunnah wal Jama’ah]], saya rela, tapi tolong saya jangan ditulis”. Selanjutnya ketika berkunjung ke tempat [[Kholil al-Bangkalani|Syaikhona Kholil Bangkalan]], beliau memperoleh wasiat untuk segera melaksanakan niatnya dan beliau merestuinya. Akan tetapi Kiai Kholil juga berpesan “Tolong, nama saya jangan ditulis”. KH. Hasyim Asy’ari tertegun karena kedua ulama tersebut tidak mau ditulis namanya. Namun, akhirnya Kiai Kholil membolehkan ditulis tetapi meminta sedikit saja.
 
Meskipun demikian, KH Hasyim Asy’ari dalam perjalanannya sangat berhati-hati dan kadang muncul keraguan. Kemudian pada tahun 1924, [[Kholil al-Bangkalani|Syaikhona Kholil]] segera memanggil muridnya, [[As'ad Samsul Arifin|KH. As’ad Syamsul Arifin]], yang saat itu berumur 27 tahun untuk menghadap Syaikhona Kholil.
 
“As’ad, tolong antarkan tongkat ini ke Tebuireng dan sampaikan langsung kepada Kiai Hasyim Asy’ari, tetapi ada syaratnya, kamu harus hafal [[Surah Ta Ha|Surat Thaha]] ayat 17-23 dan bacakanlah di hadapan Kiai Hasyim”. Demikian pesan Kiai Kholil sambil menyerahkan tongkat kepad Kiai As'ad.
 
Lalu Kiai As'ad segera berangkat dengan mengayuh sepeda angin, beliau telah dibekali uang oleh Syaikhona Kholil untuk di perjalanan, namun Kiai As'ad justru berpuasa selama di dalam perjalanan. Kemudian setibanya di Tebuireng, As’ad segera menghadap Kiai Hasyim Asy'ari dan berkata “Kiai, saya diutus oleh Syaikhona Kholil untuk mengantarkan dan menyerahkan tongkat ini kepada Kiai”. Tongkat itu diterima dengan penuh perasaan haru dan Kiai Hasyim bertanya kepada Kiai As’ad, “Apa tidak ada pesan dari Syaikhona Kholil ?” Lalu Kiai As’ad membaca hafalanya (Surat Thaha ayat 17-23) yang artinya ''“Apakah yang ada di tangan kananmu, wahai Musa ? Dia (Musa) berkata, “Ini adalah tongkatku, aku bertumpu padanya, dan aku merontokkan (daun-daun) dengannya untuk (makanan) kambingku, dan bagiku masih ada lagi manfaat yang lain.” Allah berfirman, “Lemparkanlah ia, wahai Musa!” Lalu (Musa) melemparkan tongkat itu, maka tiba-tiba ia menjadi seekor ular yang merayap dengan cepat. Dia (Allah) berfirman, “Peganglah ia dan jangan takut, Kami (Allah) akan mengembalikannya kepada keadaannya semula, Dan kepitkanlah tanganmu keketiakmu, niscaya ia keluar menjadi putih (bercahaya) tanpa cacat, sebagai mukjizat yang lain, untuk Kami perlihatkan kepadamu sebagian dari tanda-tanda kekuasaan Kami yang sangat besar”.''
 
Berselang beberapa hari, Syaikhona Kholil kembali mengutus Kiai As'ad untuk mengantarkan sebuah tasbih kepada KH. Hasyim Asy'ari, dengan penuh rasa ''tawadhu''' dan sikap hormat, Kiai As'ad segera menghadap Syaikhona Kholil untuk menerima tasbih dari beliau. Pada saat Syaikhona Kholil menyerahkan tasbih itu, Kiai As'ad enggan untuk menerima dengan kedua tangannya, beliau memohon kepada Syaikhona untuk mengalungkan tasbih itu ke lehernya dengan maksud agar tidak terjatuh saat di perjalanan dan karena tasbih itu adalah tasbih yang dipakai Syaikhona Kholil setiap harinya, maka Kiai As'ad sama sekali tidak berani memegang dengan tangannya.
 
Seraya mengalungkan tasbih itu ke leher Kiai As'ad, Syaikhona Kholil berpesan kepada Kiai As'ad untuk mewiridkan Asmaul Husna "''Yaa Jabbar Yaa Qahhar''" hingga sampai Tebuireng, dan beliau juga mengutus untuk membaca bacaan itu di hadapan Kiai Hasyim sebanyak tiga kali.
 
Selama di perjalanan, Kiai As'ad juga sama sekali tidak memiliki keberanian untuk menyentuh tasbih itu, hingga sesampainya di Tebuireng, Kiai As'ad segera menghadap Kiai Hasyim dan memohon kepada Kiai Hasyim untuk mengambil tasbih itu dari lehernya dan Kiai As'ad membaca "''Yaa Jabbar Ya Qahhar''". Setelah tasbih itu diterima oleh Kiai Hasyim, beliau sangat terharu dan menangis sebab niatnya untuk mendirikan wadah Ahlussunnah wal Jama'ah semakin bulat.
 
KH. Hasyim Asy'ari menangkap isyarat-isyarat tersebut bahwa gurunya memantapkan hati beliau untuk merestui didirikannya Jam'iyah [[Nahdlatul Ulama]] yang telah dipersiapkan juga oleh [[Abdul Wahab Hasbullah|KH. A. Wahab Hasbullah]] dan ulama-ulama lainnya. Langkah demi langkah dilakukan dengan sangat hati-hati karena tidak ingin terjebak dalam nafsu kekuasaan belaka, namun belum juga terwujud.
 
Setahun kemudian, pada tanggal 31 Desember 1926 M / 16 Rajab 1344 H di Surabaya berkumpul para ulama se-Jawa-Madura. Mereka bermusyawarah dan sepakat mendirikan organisasi Islam ''[[Nahdlatul Ulama|'''Nahdlatul''' '''Ulama''']]''.
 
== Paham Keagamaan ==
Baris 115 ⟶ 140:
#* Bendahara
#* Wakil Bendahara
</blockquote><!----
=== Kontoversi ===
----->
 
== Daftar Rais 'Aam dan Ketua Umum PBNU Dari Masa ke Masa ==
{{:Daftar Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama}}