Ali Mughayat Syah dari Aceh: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler |
|||
Baris 42:
== Warisan Budaya ==
Tinggalan warisan budaya lainnya adalah berbagai benda rampasan perang dari pasukan Kolonialis Portugis yang diperoleh melalui peperangan, seperti kekalahan pasukan Portugis yang dipimpin [[Gaspar da Costa|Gaspar De Costa]] (1519) di Kuala Aceh; kekalahan armada Portugis di perairan Aceh di pimpin Jorge de Brito (1521); kekalahan pasukan Portugis di Daya, Pedir dan Samudera Pasai. Benda rampasan ini seperti meriam, senapan, pedang,; ada juga struktur seperti benteng yang ada di sisi kanan Krueng Pasee; bahkan lonceng Cakra Donya yang saat ini ada di [[Museum Negeri Aceh|Museum Ace]]<nowiki/>h adalah peninggalan rampasan perang era awal kebangkitan Kerajaan Aceh. <ref>{{Cite web|url=http://asoelhok.blogspot.com/2016/03/sultan-ali-mughayat-syah.html|title=Sultan Ali Mughayat Syah|access-date=2019-11-11}}</ref>[[Berkas:Jirat_Soleutan_Ali_Mughayat_Syah.JPG|jmpl|Makam Sultan Ali Mughayat Syah di Komplek Kandang XII, [[Banda Aceh]]]]Berbagai peninggalan tersebut harusnya menjadi kebanggaan umat Islam seluruh dunia karena faktanya hanya seorang Ali Mughayat saja yang mampu mengalahkan Portugis
Hal yang lebih menarik dari catatan sejarah di atas adalah fakta kekuatan militer Ali Mughayat Syah bersumber dari minimum menjadi maksimum yang diperoleh melalui peperangan. Hebatnya lagi, prajurit-prajurit perangnya tersebut tidak disebutkan dari bangsa lain melainkan mereka anak-anak bangsa Achem yang ternyata sangat mahir berperang. Tetapi yang paling menakjubkan lagi dari peristiwa sejarah di atas, yaitu adanya kekuatan spritual dikalbu seorang Ali Mughayat Syah dan Raja Ibrahim (panglima sekaligus saudara kandung), cita-cita tertingginya untuk menghilangkan penjajah yang mengancam kedaulatan bangsanya dengan menggunakan ideologi Islam. Alhasil, Aceh terbebaskan dari kolonialisme Portugis dan warisan kemerdekaan itu dilanjutkan generasi selanjutnya setahap demi setahap.<ref>Ajidar Matsyah, ''Jatuh Bangun Kerajaan Islam di Aceh'', Banda Aceh, 2013</ref>
|