Terorisme: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
k Suntingan 36.85.219.172 (bicara) dibatalkan ke versi terakhir oleh HsfBot
Tag: Pengembalian
Asyfernan (bicara | kontrib)
k Perbaikan ejaan dan penambahan pranala dalam
Baris 1:
{{rapikan|perlu dibagi menjadi sub-sub bagian}}
 
'''Terorisme''' adalah serangan-serangan terkoordinasi yang bertujuan membangkitkan perasaan teror terhadap sekelompok [[masyarakat]]. Berbeda dengan [[perang]], aksi terorisme tidak tunduk pada tatacara peperangan seperti waktu pelaksanaan yang selalu tiba-tiba dan target korban jiwa yang acak serta sering kali merupakan [[warga sipil]].
 
== Pengertian terorisme ==
Baris 14:
Terorisme di dunia bukanlah merupakan hal baru, namun menjadi aktual terutama sejak terjadinya peristiwa [[World Trade Center]] (WTC) di [[New York]], [[Amerika Serikat]] pada tanggal [[11 September 2001]], dikenal sebagai “September Kelabu”, yang memakan 3000 korban. Serangan dilakukan melalui udara, tidak menggunakan pesawat tempur, melainkan menggunakan pesawat komersial milik perusahaan Amerika sendiri, sehingga tidak tertangkap oleh radar Amerika Serikat. Tiga pesawat komersial milik Amerika Serikat dibajak, dua di antaranya ditabrakkan ke menara kembar ''Twin Towers World Trade Centre'' dan gedung [[Pentagon]].
 
Berita jurnalistik seolah menampilkan gedung World Trade Center dan Pentagon sebagai korban utama penyerangan ini. Padahal, lebih dari itu, yang menjadi korban utama dalam waktu dua jam itu mengorbankan kurang lebih 3.000 orang pria, wanita dan anak-anak yang terteror, terbunuh, terbakar, meninggal, dan tertimbun berton-ton reruntuhan puing akibat sebuah pembunuhan massal yang terencana. Akibat serangan teroris itu, menurut Dana Yatim-Piatu Twin Towers, diperkirakan 1.500 anak kehilangan orang tua. Di Pentagon, [[Washington]], 189 orang tewas, termasuk para penumpang pesawat, 45 orang tewas dalam pesawat keempat yang jatuh di daerah pedalaman Pennsylvania. Para teroris mengira bahwa penyerangan yang dilakukan ke World Trade Center merupakan penyerangan terhadap "Simbol Amerika". Namun, gedung yang mereka serang tak lain merupakan institusi internasional yang melambangkan kemakmuran ekonomi dunia. Di sana terdapat perwakilan dari berbagai negara, yaitu terdapat 430 perusahaan dari 28 negara. Jadi, sebetulnya mereka tidak saja menyerang Amerika Serikat tetapi juga dunia.<ref>Koalisi Internasional”, <http://www.usembassyjakarta.org/terrornet/keberanian.html></ref> [[Amerika Serikat]] menduga Osama bin Laden sebagai tersangka utama pelaku penyerangan tersebut.
 
Kejadian ini merupakan isu global yang memengaruhi kebijakan politik seluruh negara-negara di dunia, sehingga menjadi titik tolak persepsi untuk memerangi Terorisme sebagai musuh internasional. Pembunuhan massal tersebut telah mempersatukan dunia melawan Terorisme Internasional.<ref>Collin L Powell, “Sebuah Perjuangan Keras yang Panjang”, <http://jakarta.usembassy.gov/press_rel/Pwl_newsi.htm {{Webarchive|url=https://web.archive.org/web/20080210164407/http://jakarta.usembassy.gov/press_rel/Pwl_newsi.htm |date=2008-02-10 }}></ref> Terlebih lagi dengan diikuti terjadinya Tragedi Bali, tanggal 12 Oktober 2002 yang merupakan tindakan teror, menimbulkan korban sipil terbesar di dunia,<ref>Indriyanto Seno Adji, Bali, “Terorisme dan HAM” dalam Terorisme: Tragedi Umat Manusia, (Jakarta: O.C. Kaligis & Associates, 2001), hal.51.</ref> yaitu menewaskan 184 orang dan melukai lebih dari 300 orang. Perang terhadap Terorisme yang dipimpin oleh Amerika, mula-mula mendapat sambutan dari sekutunya di [[Eropa]]. Pemerintahan [[Tony Blair]] termasuk yang pertama mengeluarkan ''Anti Terrorism'', ''Crime and Security Act'', December 2001, diikuti tindakan-tindakan dari negara-negara lain yang pada intinya adalah melakukan perang atas tindak Terorisme di dunia, seperti Filipina dengan mengeluarkan Anti Terrorism Bill.<ref>Hilmar Farid, “Perang Melawan Teroris”, <http://www.elsam.or.id/txt/asasi/2002_0910/05.html {{Webarchive|url=https://web.archive.org/web/20080210151428/http://www.elsam.or.id/txt/asasi/2002_0910/05.html |date=2008-02-10 }}></ref>
Baris 22:
Kegiatan Terorisme mempunyai tujuan untuk membuat orang lain merasa ketakutan sehingga dengan demikian dapat menarik perhatian orang, kelompok atau suatu bangsa. Biasanya perbuatan teror digunakan apabila tidak ada jalan lain yang dapat ditempuh untuk melaksanakan kehendaknya. Terorisme digunakan sebagai senjata psikologis untuk menciptakan suasana panik, tidak menentu serta menciptakan ketidak percayaan masyarakat terhadap kemampuan pemerintah dan memaksa masyarakat atau kelompok tertentu untuk mentaati kehendak pelaku teror.<ref>Loebby Loqman, Ibid.</ref> Terorisme tidak ditujukan langsung kepada lawan, akan tetapi perbuatan teror justru dilakukan di mana saja dan terhadap siapa saja. Dan yang lebih utama, maksud yang ingin disampaikan oleh pelaku teror adalah agar perbuatan teror tersebut mendapat perhatian yang khusus atau dapat dikatakan lebih sebagai ''psy-war''.
 
Sejauh ini belum ada batasan yang baku untuk mendefinisikan apa yang dimaksud dengan Terorisme. Menurut [[Prof. M. Cherif Bassiouni]], ahli Hukum Pidana Internasional, bahwa tidak mudah untuk mengadakan suatu pengertian yang identik yang dapat diterima secara universal sehingga sulit mengadakan pengawasan atas makna Terorisme tersebut. Sedangkan menurut [[Prof. Brian Jenkins, Phd.]], Terorisme merupakan pandangan yang subjektif,<ref>Indriyanto Seno Adji, “Terorisme, Perpu No.1 tahun 2002 dalam Perspektif Hukum Pidana” dalam Terorisme: Tragedi Umat Manusia (Jakarta: O.C. Kaligis & Associates, 2001), hal. 35.</ref> hal mana didasarkan atas siapa yang memberi batasan pada saat dan kondisi tertentu.
 
Belum tercapainya kesepakatan mengenai apa pengertian terorisme tersebut, tidak menjadikan terorisme dibiarkan lepas dari jangkauan hukum. Usaha memberantas Terorisme tersebut telah dilakukan sejak menjelang pertengahan abad ke-20. Pada tahun 1937, lahir Konvensi Pencegahan dan Penghukuman Terorisme ''(Convention for The Prevention and Suppression of Terrorism)'', di mana Konvensi ini mengartikan terorisme sebagai ''Crimes against State''. Melalui European Convention on The Supression of Terrorism (ECST) tahun 1977 di Eropa, makna Terorisme mengalami suatu pergeseran dan perluasan paradigma, yaitu sebagai suatu perbuatan yang semula dikategorikan sebagai ''Crimes against State'' (termasuk pembunuhan dan percobaan pembunuhan Kepala Negara atau anggota keluarganya), menjadi ''Crimes against Humanity'', [[di mana]] yang menjadi korban adalah masyarakat sipil.<ref>Indriyanto Seno Adji, “Terorisme, Perpu No.1 tahun 2002 dalam Perspektif Hukum Pidana” dalam Terorisme: Tragedi Umat Manusia (Jakarta: O.C. Kaligis & Associates, 2001), hal. 50.</ref> ''Crimes against Humanity'' masuk kategori ''Gross Violation of Human Rights'' (Pelanggaran HAM Berat) yang dilakukan sebagai bagian yang meluas/sistematik yang diketahui bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, lebih diarahkan pada jiwa-jiwa orang tidak bersalah (Public by innocent), sebagaimana terjadi di Bali.<ref>Indriyanto Seno Adji, Bali, Terorisme dan HAM, Op. cit., hal. 52.</ref>
 
Terorisme kian jelas menjadi momok bagi peradaban modern. Sifat tindakan, pelaku, tujuan strategis, motivasi, hasil yang diharapkan serta dicapai, target-target serta metode Terorisme kini semakin luas dan bervariasi. Sehingga semakin jelas bahwa teror bukan merupakan bentuk kejahatan kekerasan destruktif biasa, melainkan sudah merupakan kejahatan terhadap perdamaian dan keamanan umat manusia ''(crimes against peace and security of mankind)''.<ref>[[Mulyana W. Kusumah]], Terorisme dalam Perspektif Politik dan Hukum, Jurnal Kriminologi Indonesia FISIP UI, vol 2 no III (Desember 2002): 22.</ref> Menurut Muladi, Tindak Pidana Terorisme dapat dikategorikan sebagai [[mala per se]] atau [[mala in se]],<ref>Mala in se are the offences that are forbidden by the laws that are immutable: mala prohibita, such as are prohibited by laws that are not immutable. Jeremy Bentham, “Of the Influence of Time and Place in Matters of Legislation” Chapter 5 Influence of Time. <http://www.la.utexas.edu/research/poltheory/bentham/timeplace/timeplace.c05.s02.html></ref> tergolong kejahatan terhadap hati nurani (Crimes against conscience), menjadi sesuatu yang jahat bukan karena diatur atau dilarang oleh Undang-Undang, melainkan karena pada dasarnya tergolong sebagai ''natural wrong'' atau ''acts wrong in themselves'' bukan mala prohibita yang tergolong kejahatan karena diatur demikian oleh Undang-Undang.<ref>Mompang L. Panggabean, “Mengkaji Kembali Perpu Antiterorisme” dalam Mengenang Perppu Anti Terorisme, (Jakarta: Suara Muhamadiyah, Agustus 2003) cet.I, hal 77.</ref>