Kesultanan Banjar: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
kTidak ada ringkasan suntingan Tag: halaman dengan galat kutipan VisualEditor |
|||
Baris 109:
Tradisi lebih lanjut menyatakan bahwa setelah kematian Ampoe Djatmaka (pendiri Negara Dipa), putranya, Limbong Mengkoerat, berhasil membawa keajaiban yang muncul dari aliran, Poetri Djoendjoeng Boeih, seorang putri keluarganya, menikahi seorang Pangeran Jawa dari Madjapahit., yang memerintah dengan nama Maharaja Soeria Nata dan dianggap sebagai pendiri kekaisaran dan leluhur para pangeran Bandjermasin. Peristiwa itu dan seringnya sentuhan yang ada di antara kedua wilayah itu mungkin merupakan alasan bahwa fondasi Bandjermasin dikaitkan dengan sebuah koloni Jawa. Agaknya Maharaja Soeria Nata tidak lain adalah Tjakra Nagara, putra pangeran Madjapahit, yang, menurut Kronik Jawa Raffles, dikirim ke Bandjermasin dengan banyak kapal dan pasukan sebagai penguasa sekitar tahun 1437, yang, kerajaan sebelumnya telah ditundukkan oleh jenderal Ratu Pengging (Andayaningrat).<ref name="Tijdschrift 9"/>
Kekaisaran sekarang menikmati kedamaian dan kemakmuran di antara serangkaian penguasa dari rumah suku asli, dan perbatasannya meluas dari Solok ([[Karasikan]]) ke Sambas di sepanjang pantai selatan dan timur Kalimantan. Situasi ini berlangsung hingga akhir abad ke-16, ketika pangeran Sakar Soengsang, yang melewati anak-anaknya sendiri, menunjuk
Setelah mencapai tujuannya, sulthan baru (Hidayatullah 1) segera lupa untuk memenuhi perkiraan yang telah ditentukan; tetapi ancaman-ancaman berikutnya dari atasannya memiliki efek yang cukup untuk memaksa dia kembali ke Jawa untuk memuaskan sang pangeran. Di sana ia dipenjara karena ketidaksetiaannya dan hanya dibebaskan melalui mediasi putranya (Raden Senapati Sultan Mustain Billah), tentu saja tidak dengan pengorbanan besar. Dengan semakin melemahnya para pangeran Jawa, tampaknya tidak lama setelah itu supremasi mereka atas Banjarmasin, yang telah dipecah beberapa kali, tampaknya telah berakhir untuk selamanya, dan sebagai tindakan terakhir subordinasi kerajaan Jawa ini saya menemukan catatan mengirimkan kedutaan pada tahun 1642 kepada sulthan Agoeng raja Mataram.<ref name="Tijdschrift 9">{{nl}} {{cite book
|