[[Berkas:Bambang Sudibyo.jpg|frame|right|Bambang Sudibyo {{c|www.presidensby.info}}]]
Prof. Dr. '''Bambang Sudibyo''', MBA (lahir di [[Temanggung]] pada [[8 Oktober]] [[1952]]) adalah seorang [[politikus]], [[ekonomi|ekonom]], dan akademisi [[Indonesia]]. Ia adalah [[Daftar Menteri Keuangan Republik Indonesia|Menteri Keuangan]] pada [[Kabinet Persatuan Nasional]] dan [[Menteri Pendidikan Nasional|Menteri Pendidikan]] [[Indonesia]] saat ini.
Ia berasal dari [[Partai Amanat Nasional]].
== Pranala luar ==
*{{Id}} [http://www.tokohindonesia.com/ensiklopedi/b/bambang-sudibyo/index.shtml Profil di tokohindonesia.com]
<!-- DARI TOKOH INDONESIA - BELUM DISUNTING
Guru Besar [[Universitas Gadjah Mada]] yang juga mantan
Menteri Keuangan RI seorang akademisi yang memiliki
sentuhan dengan politik dan bisnis. Oleh karena itu
ketika ia mengajar flavournya juga terasa lain.
Menurutnya, ekonomi Indonesia rusak seperti sekarang
ini, lebih banyak oleh karena settingnya yang rusak,
bukan oleh karena pranata ekonomi yang rusak. Sekarang
ini, katan mantan Ketua Umum ISEI ini, ekonomi
Indonesia dibungkus oleh tiga lapis risiko yakni
risiko sosial, risiko polkam dan risiko global.
Sebagai seorang ekonom, Bambang memiliki kepedulian
terhadap permasalahan dunia politik dengan terus
memantau perkembangan politik di Indonesia. Meskipun
Dosen Teladan II tahun 1989 ini memiliki sentuhan dan
pemikiran politik dan pernah ikut mendirikan partai
politik (Partai Amanat Nasional), namun ia mengakui
bahwa dirinya bukan seorang praktisi politik.
Ia menjaga betul keterlibatannya dalam dunia politik,
hanya sebatas sumbangsih pemikiran saja. Karena ia
melihat adanya keterkaitan yang erat antara politik
dan ekonomi. Sedangkan hukum dianggapnya sebagai
produk dari proses politik. Semetara ekonomi diwadahi
oleh kerangka kebersamaan politik. "Jika kerangkanya
saja sudah tidak benar maka kegiatan ekonominya juga
tidak benar," kata mantan Ketua Dewan Ekonomi
(November 1998-April 1999), ini dalam percakapannya
dengan Atur Lorielcide Paniroy dan Ysak Sahat Wartawan
Tokoh Indonesia DotCom.
Sejak ada peraturan pemerintah tentang status PNS
dalam partai poltik, penerima penghargaan pengabdian
kepada negara 20 tahun, pada tahun 1999, ini
memutuskan untuk meninggalkan politik praktis. Kalau
dibilang ia seorang politisi, ia pikir bukan, tapi ia
adalah yang peduli terhadap politik.
Bambang Sudibyo lahir di Temanggung, Jawa Tengah, 8
Oktober 1952. Ia adalah anak guru agama yang juga
berprofesi sebagai petani tembakau dan padi di
Temanggung. Bambang adalah anak kelima dari 11
bersaudara. Masa kecil bersama keluarga sampai
beranjak remaja ia jalani di desa sekitar Temanggung.
Ia menempuh pendidikan dasar di kotanya, Temanggung.
Setelah lulus SD kemudian masuk ke SMP Negeri 2
Temanggung dan melanjut ke SMA Negeri 1 Temanggung.
Setiap pagi menuju sekolah ia mengayuh sepeda dari
desa ke Temanggung.
Hingga Pada tahun 1972, saat ia berumur 18 tahun,
akhirnya Bambang muda merantau ke kota Yogya mencari
ilmu yang lebih tinggi. Ia diterima di jurusan
Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Gajah Mada.
Orangtuanya habis-habisan mendukungnya dalam dana,
padahal di keluarganya masih ada 6 adiknya, Tetapi
dengan cita-cita yang tinggi semua itu ia jalani
dengan semangat yang kuat. Syukurlah semua kesepuluh
saudaranya dapat bersekolah semua hingga perguruan
tinggi. Bambang berhasil menuntaskan kuliah S1 sebagai
sarjana ekonomi dari UGM tahun 1977.
Ayahnya seorang guru yang memiliki idealisme yang
tinggi luar biasa. Untuk ukuran pada waktu itu,
ayahnya dikenal sebagai orang yang visioner, sebab
tidak mungkin untuk seorang guru yang hanya memiliki
beberapa hektar tanah berani menyekolahkan anaknya ke
Yogya dan Semarang.
Ayahnya seorang yang mau melihat anaknya maju. Ketika
ia dan saudara-saudaranya bersekolah, bisa dikatakan
hampir seluruh penghasilan yang ada dalam keluarga,
seluruhnya diberikan kepada anak-anaknya dan semua
digunakan untuk menyiapkan mereka untuk hidup kemudian
hari, terutama dalam mencapai ilmu pengetahuan. “Jadi
begitu amat besar hutang kami kepada orangtua.”
kenangnya.
Selesai dari bangku kuliah, ia mendapt tawaran untuk
menjadi dosen di UGM. Sejak tahun 1978, Bambang pun
mulai mengajar di almamaternya. Padahal waktu itu,
sesungguhnya ia ingin sekali bekerja di Bank Indonesia
dan bisa saja ia bekerja di BI, Depkeu, atau di
bank-bank dan di bisnis besar. Karena tidak sulit bagi
seorang sarjana akuntansi dalam memperoleh pekerjaan
di Bank Indonesia, yang kesarjanaannya masih sangat
langka. Hingga ada yang namanya tunjangan kelangkaan
khusus untuk lulusan akuntansi.
Tetapi ia memilih menjadi dosen di UGM. Ayahnya sangat
menginginkan ia menjadi dosen di UGM. Ia memilih jalan
hidup ini oleh karena sikap hormat kepada ayah dan
ibunya dan sebagai rasa ucapan terimakasih kepada
orang tuanya yang telah membimbing dan dengan
habis-habisan memberikan yang terbaik untuknya. Karena
bagi ayahnya berprofesi sebagai dosen atau guru
memiliki makna yang tinggi.
Pengajar Riset Akuntansi Manajemen pada program
Pascasarjana UGM 1997-1999 ini, selalu mengingat
ayahnya seorang yang sederhana, tetapi dikenal sebagai
tokoh intelektual, bukan seperti orang kebiasaan.
Berbeda dari masyarakat sekitar yang pada umumnya
seorang petani. Beliau dapat memiliki visi-visi yang
maju ke depan yang tidak kalah dengan visi masyarakat
perkotaan pada waktu itu, untuk ukuran waktu itu
ayahnya adalah seorang yang berwawasan sangat luas dan
berpikiran maju dan menjadi jalan lebar bagi Bammbang
untuk maju.
Walaupun dari segi materi tidak memberikan banyak,
tetapi dari sisi visi dan wawasan untuk seorang guru
di desa bisa dibilang maju meninggalkan
rekan-rekannya. Ayahnya itu sangat menghargai terhadap
intelektualisme. Contohnya ia melihat pendidikan
adalah masa depan untuk anak-anaknya, pendidikan
adalah cara menerobos untuk maju, anak-anaknya tidak
pernah disiapkan untuk menjadi petani, dan menjadi
manusia yang hanya berpikir setting lokal saja tetapi
yang ia lihat adalah manusia yang global. Beliau
melihat anak-anaknya harus menjadi manusia yang
intelektual.
Ia bisa menangkap perasaan ayahnya itu sehingga
memutuskan untuk menjadi seorang pengajar. Idealisme
ayahnya benar-benar tertanam dalam dirinya, walaupun
demikian Bambang berkembang menjadi dirinya sendiri.
Pengaruh orangtua sangat besar terutama sang ibu yang
memberikan teladan kesabaran.
Bimbingan dari orangtua adalah unsur pertama dalam
pembentukan pandangan hidupnya, kendati perkembangan
selanjutnya kebanyakan oleh karena upaya-upayanya
sendiri, seperti membaca buku bergaul dan sebagainya
tetapi yang pertama adalah. Pandangan hidupnya sangat
juga dipengaruhi oleh agama. Ia percaya menjadi
seorang muslim adalah selalu ingat bahwa hidupnya itu
adalah sebuah pengabdian kepada Tuhan Yang Mahakuasa.
Jadi apapun yang dilakukan adalah sebuah pengabdian
kepada-Nya. Pengabdian itu bermakna luas sekali,
bekerja untuk-Nya, berkeluarga untuk-Nya, menjabat
ini, menjabat itu, belajar itu semua adalah pengabdian
kepada-Nya.
Memang, hobi utama Bambang sejak dulu adalah membaca.
Tema-tema bacaannya tidak hanya terbatas pada bacaan
ekonomi saja, melainkan juga bacaan-bacaan agama,
buku-buku filsafat, sosial, dan budaya. Selain membaca
ia juga senang menanam bunga, ia seorang penggemar
bunga. Kalau pulang ke Yogya, kegiatan yang rutin
dilakukannya adalah merawat dan menanam koleksi bunga
di rumah. Sementara olahraga yang dilakukan hanya
jalan kaki ringan, baik ketika di Jakarta maupun
ketika di Yogya. Hampir setiap minggu ia berada di
Jakarta selama 3 hari, sedangkan di Yogya 4 hari.
Pada tahun 1979 ia menikah dengan Retno Sunarminingsih
yang berasal dari keluarga guru. Setelah menikah,
isterinya menjadi dosen farmasi di UGM. Istrinya
kemudian membuktikan bahwa dirinya menjadi dosen bukan
karena KKN dengan suaminya. Terbukti, karir akademik
sang istri pun istimewa. Ia kini menjabat sebagai
salah seorang Wakil Rektor bidang Penelitian di UGM
dengan menyandang gelar profesor doktor.
Pernikahannya menghadirkan dua anak yang berbakat dan
cerdas. Anaknya yang paling besar, Dananta Adi
Nugraha, kuliah di fakultas ekonomi jurusan akuntansi.
Padahal ketika dulu ingin sekali menjadi insinyur,
namun ketika berada di kelas tiga SMA, waktu itu
Bambang dilantik menjadi menteri keuangan, cita-cita
anaknya berubah dari insinyur menjadi sarjana ekonomi.
Anakn kedua, Harintho Budhi Wibowo, mengikuti
kegemaran ibunya yaitu suka sekali dengan musik. Ia
memiliki koleksi musik yang banyak.
Sebagai orangtua, Bambang mengaku kurang sensitif
terhadap musik. Namun ia dan isterinya memiliki
kesamaan yang sama yaitu sama-sama menyukai lukisan.
Menyukai tidak lantas berubah harus memiliki. Terhadap
lukisan yang mahal yang tidak mampu dibelinya, ia
tidak memaksakan diri untuk memilikinya.
Menikah ternyata bukan halangan bagi Bambang untuk
berkarir di bidang akademik. Pada tahun 1979 ia
dikirim oleh negara untuk mengambil program MBA di
Universitas North Carolina, AS. Desember 1980 ia
berhasil menyelesaikan studinya dan kembali ke tanah
air. Kesempatan studi ke luar negeri kembali
diterimanya pada Januari 1982. Ia pun kembali
meninggalkan tanah air untuk mengenyam pendidikan di
Universitas Kentucky sampai tahun 1985 untuk mengambil
program doktor bidang business adminitration.
Setelah pulang ke Tanah Air, ia kembali mengajar di
UGM. Pada tahun 1988 ia bergabung dalam proses
pendirian [[MM-UGM]]. Kemudian menjadi salah satu anggota
pengurus atau anggota direksi dari program [[MM-UGM]],
serta menjadi pengelola bidang program Keuangan. Pada
tahun 1988 ia banyak aktif di pusat studi Pusat
Pengkajian Startegi dan Kebijakan (PPSK) yang diketuai
Amien Rais di Yogya. Tahun 1989 ia diangkat menjadi
wakil direktur program dan pengelola akedemik. Di
tahun 1993 ia dipromosikan menjadi Direktur program MM
UGM, sampai tahun 1999.
Ketika itu ia berhenti menjadi direktur [[MM-UGM]] karena
diangkat oleh Presiden Abdurrahman Wahid menjadi
menteri keuangan dan hanya berjalan selama kurang dari
satu tahun, karena pada Agustus 2000 terjadi risafel
kabinet dan ia termasuk menteri yang diganti.
Sejak tahun 1998 menjadi komisaris BPPN X, ketika
Tanri Abeng menjabat Menteri BUMN. Selain pernah
menjabat sebagai Menteri Keuangan RI, sesuai dengan
undang-undang, ia juga menjabat sebagai wakil ketua
dewan komisaris Pertamina, serta menjadi anggota
Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) yang diketuai
Kwik Kian Gie.
Pendidikan Bisinis dan Politik
Selain akrab dan berpengalaman dengan dunia perguruan
tinggi, Bambang juga banyak teribat dalam bidang
konsultasi bisnis. Karena ia percaya dua hal yang
penting dalam dunia ini yaitu politik dan bisnis. Dua
hal ini, menurutnya, sangat menentukan jalannya
kehidupan sebuah bangsa. Karena jika sudah ada
kesadaran bahwa hal itu penting, tidak mungkin hanya
pasif saja atau sebagai penonton, tetapi harus
terlibat di dalamnya.
Itulah juga alasannya mengapa ia mendirikan sekolah
bisnis yang sekarang ini hadir di Jakarta, karena
tidak lepas kepeduliannya terhadap dunia bisnis di
Indonesia dan memandang bisnis itu penting. Baginya
profesi tersebut juga memberikan pendapatan tambahan
bagi keluarga. Ia bersama isterinya juga aktif dalam
berbagai usaha penelitian di berbagai pusat penelitian
di Universitas Gadjah Mada.
Ia bisa dibilang seorang akademisi yang memiliki
sentuhan dengan politik dan bisnis. Oleh karena itu
ketika ia mengajar flavournya juga terasa lain.
“Pendidikan ekonomi di Indonesia selama ini terlalu
steril dan naif, seakan-akan berjalan dalam ruang
vacum, terlepas dari setting politik, sosial, dan
setting global. Padahal, setting tersebut memiliki
pegaruh yang besar sekali. Ekonomi Indonesia rusak
seperti sekarang ini, lebih banyak oleh karena
settingnya yang rusak, bukan oleh karena pranata
ekonomi yang rusak,” paparnya.
Sebagai seorang ekonom, Bambang memiliki kepedulian
terhadap permasalahan dunia politik dengan terus
memantau perkembangan politik di Indonesia. Meskipun
memiliki sentuhan dan pemikiran politik dan pernah
ikut mendirikan partai politik, namun ia mengakui
bahwa dirinya bukan seorang praktisi politik. Ia
menjaga betul untuk terlibat dalam dunia politik,
hanya sebatas sumbangsih pemikiran saja. Karena ia
melihat adanya keterkaitan yang erat antara politik
dan ekonomi. Sedangkan hukum dianggapnya sebagai
produk dari proses politik. Semetara ekonomi diwadahi
oleh kerangka kebersamaan politik. Jika kerangkanya
saja sudah tidak benar maka kegiatan ekonominya juga
tidak benar.
Di bidang sosial dan politik, ia menjadi Anggota MPR
RI Fraksi Utusan Golongan, sejak Mei 2001-2004
mewakili ISEI. Ia juga menjabat Bendahara PP
Muhammadiyah 2000-2005. ia juga ikut mendirikan ICMI
tahun 1990 dan menjabat Ketua Bidang Ekonomi
Sumberdaya 1990-1995 dan Anggota Dewan Pakar 1995-2000
di organisasi itu. Selain itu, ia juga ikut mendirikan
dan menjadi anggota Majlis Amanat Rakyat (MAR), 1998,
serta ikut mendirikan Partai Amanat Nasional (PAN)
tahun 1998, dan menjabat sebagai Ketua Dewan Ekonomi
pada November 1998-April 1999. (Bersambung)
*** TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh
Indonesia), Atur/Yusak.
Nama:
Prof. Dr. Bambang Sudibyo, MBA
Lahir:
Temanggung, 8 Oktober 1952
Agama:
Islam
NIP: 130676403
Isteri:
Prof. Dr. Retno Sunarminingsih MSc. Apt. (Menikah 11
Agustus 1979)
Anak:
Dananta Adi Nugraha (Yogyakarta, 20 Desember 1981)
Harintho Budhi Wibowo (Yogyakarta, 10 Maret 1986)
Pendidikan:
:: Profesor, tahun 2001, Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta
:: Doctor in Business Administration, tahun 1985,
Concentration in Accounting, Minor in Economics,
University of Kentucky, USA.
:: Master of Business Administration, tahun 1980,
University of North Carolina- Greensboro, USA.
:: Sarjana Ekonomi, tahun 1977, Fakultas
Ekonomi-Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
:: Training in Accounting and Finance, INSEAD, France,
1985.
Jabatan Akademik:
Guru Besar (Professor)
Kepangkatan Sebagai Dosen:
:: Asisten Ahli Madya, Gol. III/a, 1 Maret 1978.
:: Asisten Ahli, Gol. III/b, 1 April1981.
:: Lektor Muda, Gol. III/c, 1 Oktober 1985.
:: Lektor Madya Gol. III/d, 1 Oktober 1987.
:: Lektor Kepala Madya, Gol. IV/a, 1 April 1994.
:: Lektor Kepala Madya, Gol. IV/b, 1 Oktober 1996
:: Guru Besar Madya, Gol. IV/b, 1 Desember 2000.
:: Guru Besar (Profesor), Gol. IV/c, 2001
Karier Administratif di UGM:
:: Ikut mendirikan Program [[MM-UGM]] pada tahun 1988, dan
kemudian menjabat sebagai Pengelola Keuangan pada
tahun 1988-1989.
:: Wakil Direktur dan Pengelola Akademik 1989-1993.
:: Direktur dan Pengelola Akademik 1993-1999.
:: Anggota Dewan Pembina dan Anggota Dewan
Pengembangan sejak 2000.
:: Pengurus PAU Ekonomi UGM, 1988.
:: Ketua Tim Pembinaan Dana Abadi UGM, 2003-sekarang.
Aktivitas Keprofesion di luar UGM:
:: Menteri Keuangan RI, November 1999-Agustus 2000.
:: Ketua Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang
Desentralisasi Fiskal, 2001-sekarang.
:: Anggota Komite Kebijakan Sektor Keuangan,
1999-2000.
:: Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah,
2000.
:: Anggota Tim Restrukturisasi PLN, 1999-2000.
:: Wakil Ketua Dewan Komisaris Pertamina, 1999-2000.
:: Anggota Tim Penasehat Khusus Presiden, 1999.
:: Anggota Komite Kebijakan Publik Kementerian
Pendayagunaan BUMN 1998-1999.
:: Komisaris PTPN X, 1998-sekarang
:: Anggota Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI)
sejak tahun 1977. Ketua Bidang Akademik 1994-1997.
Ketua Umum 2000-2003. Sebagai ketua umum ISEI, secara
ex officio juga menjabat Ketua Dewan Pembina Yayasan
Indonesia Forum.
:: Anggota Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) sejak tahun
1977. Wakill Ketua Bidang Pelatihan 1994-1998. Ketua
Bidang Penelitian dan Pengembangan 1998-2002;
:: Chairman, ASEAN Graduate Business and Economics
Programs Network (AGBEP Network), 1999-Sekarang.
:: Anggota Konsorsium Ilmu Ekonomi, Direktorat
Jenderal Pendidikan Tinggi, 1989-1999.
:: Koordinator Akademik Proyek Pengembangan Pendidikan
Akuntansi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,
1989-1994.
:: Ketua Panitia Ahli Persamaan Ijazah Akuntan,
2002-sekarang.
:: Koordinator Akademik Ujian Negara Akuntan (UNA),
1989-sekarang.
:: Anggota Dewan Penyantun STIE Yogyakarta,
1994-sekarang
:: Associate Member, American Accounting Association,
1981-1985; 1993-Sekarang.
:: Bekerja di bidang konsultasi manajemen dan
akuntansi publik di Kantor Akuntan Hadori & Co,
1975-1981.
Aktivitas Sosial dan Politik:
:: Anggota MPR RI Fraksi Utusan Golongan, sejak Mei
2001 hingga sekarang, mewakili ISEI.
:: Bendahara PP Muhammadiyah 2000-2005.
:: Anggota Majlis Pendidikan Tinggi PP Muhammadiyah
1994-2000.
:: Anggota Majlis Tarjih PP Muhammadiyah 1994-2000
:: Ikut mendirikan ICMI tahun 1990. Ketua Bidang
Ekonomi Sumberdaya 1990-1995. Anggota Dewan Pakar
1995-2000.
:: Ketua Bidang Ekonomi pada Pusat Pengkajian Strategi
& Kebijakan (PPSK) tahun 1988-1995, dan menjadi
Anggota Dewan Direktur, 1995-sekarang.
:: Ikut mendirikan dan menjadi anggota Majlis Amanat
Rakyat (MAR), 1998.
:: Ikut mendirikan Partai Amanat Nasional (PAN) tahun
1998, menjabat sebagai Ketua Dewan Ekonomi pada
November 1998-April 1999.
Penghargaan:
:: Dosen Teladan II tahun 1989
:: Pengabdian kepada Negara 20 tahun, pada tahun 1999.
Mengajar di UGM.
:: Sl Akuntansi (Asistensi Akuntansi Biaya 1975-1977,
Akuntansi Biaya 1978-1979, 1996, Analisis Laporan
Keuangan 1978-1979, Auditing 1980, Teori Akuntansi
1985-1994, 2002-2003, Serninar Akuntansi
1994-1999,2001, dan Etika Bisnis 2001-2002.
:: MSi Akuntansi (Metodologi Penelitian
1985-1999,2001-2003)
:: MSi Manajemen (Metodologi Penelitian 1992-1993)
:: Magister Manajemen (Sistem Pengendalian Manajemen
1998-1999, Lingkungan Bisnis 1994-1999,2001,
Kepribadian Manajerial 1994-1999, dan Etika Bisnis
2001-2003).
:: S3 Akuntansi (Riset Akuntansi Manajemen 1997-1999,
Filsafat Ilmu 1998-1999, 2002, Independent Study
1998-1999, dan Riset Akuntansi Keperilakuan 1997-1998)
Publikasi Terakhir Sejak 1994.
:: Analisis Ekonomi Indonesia; Sekarang Saatnya
Terobosan Kebijakan Politik dan Ekonomi Diambil, Mei
2002, Kompas
:: Model Akuarium untuk Ekonomi Indonesia, September
2001, Kompas
:: Kebijaksanaan Pendidikan Tinggi dan Pengembangan
IPTEK dalam Konteks Transformasi Sosial, 1994,
Prosiding Seminar Dies ke 45 UGM.
:: Implikasi Kemajuan Teknologi pada Dunia Akuntansi,
1994, Media Penerbit Akademi Akuntansi Muhammadiyah
Jakarta.
:: Akuntoteknologi; Suatu Pemikiran Tentang Redefinisi
Akuntansi, 1994, Kompak No. 4, Nopember.
:: Accountancy Development in Indonesia; the Adequacy
of CP As Understanding of the Relative Seriousness of
Alpha and Beta Risks in Statistical Audit Sampling,
1995, Lembaga Penerbit FE UI, Publikasi No.23.
:: Skenario dan Strategi Pengembangan Manajemen di
Indonesia, 1995, Kajian Bisnis, No. 6, September.
:: Reduksi Norma 'Evidencial Matter' Menjadi Norma
'Evidence' serta Dampaknya pada Kualitas Audit dan
Pembukuan di Indonesia, 1995, Jurnal Keuangan &
Moneter, Vol. 2 No: 2.
:: Implikasi Transformasi Sosial pada Pengembangan
Kemampuan Manajerial, 1995, KELOLA No. 8/IV/95.
:: Teori Efisiensi Akuntansi dan Hal-hal lain Yang
Terkait, 1995, Kompak No.8, November.
:: Desain Pendidikan Auditing Sebagai Implementasi
Kurikulum Nasional 94, 1995, Kompak No.11, Agustus.
:: State of Art & Masa Depan Pendidikan Akuntansi di
Indonesia, 1995, Kompak No. 7, Juli.
:: Kualitas Manajer Profesional Menjelang Era Pasar
Bebas, 1996, Kajian Bisnis, No. 7, Januari.
:: Warisan Etos Kerja Islam: Perspektif Budaya Jawa,
1996, Kajian Bisnis, No.9, September.
:: Dampak Perubahan Lingkungan Usaha Terhadap
Institusi Birokrasi di Indonesia, 1996, Kajian Bisnis,
No.8, Mei.
Hentikan Kerjasama dengan IMF
Isu ekonomi paling hangat saat ini adalah mengenai
program penghentian kerja sama RI-IMF. Bambang
menyambut gembira keputusan pemerintah untuk
merealisasikan penghentian kerja sama dengan IMF.
Namun, suatu strategi keluar dari ketergantungan pada
IMF yang hanya berperspektif fiskal, moneter, dan
psikologi pasar tanpa adanya skenario penataan ulang
ekonomi makro Indonesia yang berwawasan nasionalisme
dan kemandirian memiliki kans yang kecil untuk
berhasil.
Program penghentian kerja sama itu sebenarnya telah
lama dipertimbangkannya. Dalam diskusi yang
diselenggarakan Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia Forum
tanggal 26 Oktober 2002, Bambang memaparkan
pemikirannya dalam sebuah makalah berjudul “Exit Plan
dari Ketergantungan pada IMF dan Kemandirian Ekonomi”.
Dalam makalah itu Bambang memaparkan pentingnya
kemandirian ekonomi dengan kembali merekatkan
kebersamaan di bidang ekonomi, mengatasi kesenjangan
sosial ekonomi yang terlalu jauh, meningkatkan upah
tenaga kerja, yang semua itu merupakan tema-tema
strategis untuk dijalankan agar setelah lepas dari IMF
Indonesia menjadi negara yang mampu mengelola diri
sendiri.
Kemampuan mengelola ekonomi sendiri, dikemukakan
Bambang, sebenarnya telah dimiliki Indonesia.
Buktinya, cadangan devisa meningkat sekitar 3 milyar
USD dari 18 milyar USD pada tahun 1999 menjadi 21
milyar USD pada tahun 2002. Sedangkan dana cadangan
dari IMF sebesar 11 milyar USD tidak pernah terpakai.
Fakta tersebut mendukung konklusi bahwa sebetulnya
Indonesia dari perspektif moneter sudah siap keluar
dari program IMF.
Bambang menyambut gembira keputusan pemerintah untuk
merealisasikan penghentian kerja sama dengan IMF.
Maka, mulai 2004 Indonesia akan kembali dapat
menentukan program-program ekonominya sendiri tanpa
adanya campur tangan lembaga asing.
Namun, suatu strategi keluar dari ketergantungan pada
IMF yang hanya berperspektif fiskal, moneter, dan
psikologi pasar tanpa adanya skenario penataan ulang
ekonomi makro Indonesia yang berwawasan nasionalisme
dan kemandirian memiliki kans yang kecil untuk
berhasil. Mengapa demikian? Karena struktur makro
ekonomi Indonesia yang lemah membuatnya senantiasa
rentan untuk tergantung pada kekuatan ekonomi asing.
Maka, Bambang pun menawarkan pendekatan komprehensif
terhadap strategi keluar yang mencakup (1) penataan
ulang struktur ekonomi makro yang berwawasan
nasionalisme ekonomi, (2) strategi fiskal, (3)
strategi moneter, dan (4) strategi pengendalian
psikologi pasar. Yang dimaksud dengan nasionalisme
ekonomi adalah kebersamaan, keberdayaan, dan
kemandirian ekonomi.
Catatan istimewa diberikan Bambang bahwa dengan upah
tenaga kerja yang rendah hal itu berarti golongan
bawah mensubsidi golongan atas. Hal ini harus
dihentikan dengan cara peningkatan upah minimum
nasional. Dengan demikian, golongan bawah pun akhirnya
dapat menikmati hidup layak dan keadilan ekonomi dapat
terwujud.
Tentu saja menarik melihat sosok Bambang Sudibyo. Ia
mengaitkan antara ekonomi dengan keadilan dan
kebijakan. Perhatiannya ini tidak terlepas dari
pemahamannya bahwa antara ekonomi dan politik itu
saling keterkaitan dan merupakan bidang yang cukup
penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Pergulatannya dengan ekonomi makro Indonesia secara
nyata terjadi ketika krisis moneter melanda Indonesia.
Ia diberikan kepercayaan menjadi Menteri Keuangan.
Selama 10 bulan ia menjabat sebagai Menteri Keuangan
itu ia mengalami proses pembelajaran yang luar biasa
dalam hidup. Ia mengaku bahwa belum pernah sepanjang
hidupnya harus mempelajari begitu banyak hal. Secara
mendadak terekspose pada berbagai macam hal dan
berbagai macam risiko yang tidak pernah terbayangkan.
“Betapa proses pembelajaran itu sangat luar biasa, di
mana dengan waktu yang sangat singkat saya harus
belajar begitu banyak hal.” kenangnya.
Di mata Bambang, ekonomi Indonesia pada masa Orde Baru
adalah masa kemajuan dalam perkembangan kemampuan
produksi. Orde Baru sangat menekankan bagaimana
Indonesia dapat memperbesar kapasitas produksinya.
Waktu itu dapat dilihat dengan jelas kecenderungannya.
Akan tetapi, permasalahannya kemudian adalah Orba
menjadi relatif abai terhadap pendistribusian hasil
produksi. Sehingga apa yang terjadi sekarang ini
adalah pembagian hasil produksi sebagian besar
dinikmati sekelompok kecil penduduk saja yang
jumlahnya hanya sebesar 18 persen. Akibat dari
pengabaian pembagian hasil produksi tersebut
menyebabkan lebih dari 80 persen penduduk mempunyai
kemampuan beli yang rendah dan terjadilah
ketidakseimbangan antara kemampuan produksi dengan
daya serap masyarakat untuk komsumsi.
Kenyataan ini meyakinkannya bahwa dengan kemampuan
produksi yang besar tidak berarti akan menghasilkan
daya serap konsumsi penduduk yang punya daya beli
tinggi juga. Jumlah konsumen yang aktif, yang memiliki
daya beli kuat jumlahnya hanya kurang dari 20 persen
penduduk, bahkan menurut dugaannya hanya sekitar 14
persen. Kelompok masyarakat ini ditengarai sebagai
kelas menengah dan elit. Itu adalah kelompok
masyarakat yang memiliki daya serap yang besar.
Sementara yang sekitar 86 persen penduduk adalah
mereka yang hidup dalam tingkat perekonomian yang
subsistem. Tingkat perekonomian yang mampu memberikan
rejeki yang sekadar cukup untuk bertahan hidup.
“Inilah yang kemudian membuat ekonomi Indonesia
setelah didera krisis, tetap relatif stabil,” katanya
seraya menambahkan bahwa sebagian besar penduduk
Indonesia telah terbiasa untuk survival. “Hal itu
terjadi oleh karena ekonomi kita sangat dipengaruhi
oleh konsumsi.” ujarnya.
Lebih dari 80 persen konsumsi hasil produksi berada
pada tingkat subsistem. Konsumsi terhadap
kebutuhan-kebutuhan yang mendasar untuk kehidupan,
seperti pangan, kesehatan, papan yang tidak bisa
ditawar, mau tidak mau, baik ada kerusuhan atau tidak
ada kerusuhan, orang harus tetap konsumsi. produksi
dan jasa itu yang hingga sekarang yang mempertahankan
perekonomian Indonesia.
Di mana pun di dunia ini konsumsi adalah bagian
terpenting dalam ekonomi, yang menurut Bambang, banyak
orang yang telah menghiraukan hal tersebut. Orang
sangat bias terhadap pentingnya investasi, “Memang
investasi penting, karena investasi itu akan
menciptaan lapangan kerja, tetapi investasi bukan
kelanjutan dari konsumsi, itu tidak betul dan tidak
akan menguntungkan juga.” ujarnya. Tujuan berinvestasi
adalah untuk menjawab daya konsumsi.
Jadi persoalan di Indonesia adalah bagaimana dapat
mengembangkan daya serap konsumsi masyarakat terutama
kepada kelompok yang lebih 80% itu yang sering disebut
rakyat. Hal ini, menurutnya, telah diabaikan sehingga
ekonomi Indonesia menjadi kurang lancar, karena ada
ketidakseimbangan antara kemampuan kapasitas produksi
dengan kemampuan daya serap konsumsi.
Dengan keadaan kesenjangan demikian, tentu terjadi
jurang pemisah dan kecemburuan sosial, terjadi beban
sosial dan keadaan yang tentu tidak nyaman, tidak
ramah, karena adanya kecemburuan sosial masyarakat
ekonomi bawah dengan masyarakat menengah ke atas.
Keadaan tersebut yang selalu menjadi kendala proses
pemulihan ekonomi Indonesia. Dengan adanya resiko,
gangguan stabilitas ekonomi Indonesia menjadi besar.
Jadi ada sumber ketidakstabilan, sebuah
ketidakstabilan yang inheren dan berasal dari
perekonomian itu sendiri – kebijakan ekonomi tidak
adil.
Karena ekonomi yang tidak adil sehingga situasi sosial
yang tidak damai penuh kecemburuan berkembang, dan itu
menjadi iklim yang tidak bagus untuk keinginan
investasi. Akhirnya orang menjadi jera untuk
berinvestasi. Ketika orang berinvestasi yang
diharapkan return yang dapat mengkompensasi tingkat
resiko sosial yang sangat tinggi itu.
Jika keseimbangan antara kapasitas produksi dengan
daya serap konsumsi dapat terjadi, sehingga hasil
produksi disambut oleh konsumsi dan nilai ekonomi
Indonesia dapat bergiling dengan lancar dengan sanksi
sosial rendah, maka akan banyak orang yang ingin
berinvesatasi, dan dengan konsumsi yang besar akan
mengundang juga investasi.
Trilogi Orde Baru
Bambang setuju dengan triloginya orde baru, yaitu
pertumbuhan, pemerataan dan kesatabilan. Permasalahan
ekonomi Indonesia pada saat itu, pertumbuhan menjadi
tidak maksimal oleh karena ketidakseimbangan antara
produksi dan konsumsi, ketidakseimbangan itu
disebabkan oleh karena tidak meratanya pembagian “kue”
produksi, tidak adil yang mempengaruhi resiko sosial
dan mengancam kestabilan nasional. Tiga hal tersebut
sangat terkait
Sebenarnya yang menyebabkan tidak adilnya pembagian
“kue” itu berasal dari tiga hal. Pertama, kecilnya
gaji pegawai negeri. Pegawai negeri diberi harga yang
sangat murah, termasuk di dalamnya tentara dan polisi.
Pelayanan mereka diberi harga yang murah sekali, tidak
dapat dibayangkan pegawai mensubsidi majikannya.
Kedua permasalahan upah buruh yang terlalu rendah,
mereka juga mensubsidi majikannya. Dan yang ketiga
murahnya hasil-hasil produksi tradisional. Seperti
pertanian, sektor modern membeli produksi tradisional
terlalu murah. Dalam hal ini sektor tradisional
mensubsidi sektor tradisional, bahkan mensubsidi
ekonomi asing.
Inilah tiga hal yang menyebabkan ekonomi Indonesia
menjadi tidak bergerak dengan cepat, tidak stabil dan
tidak aktif. Jadi yang diperlukan adalah penyetelan
ulang terhadap tiga harga ini. Tentu hal ini
memerlukan waktu yang panjang.
Jika pada waktu masa Orde Baru pemerintah dapat
membagikan “kue” secara adil, dengan pertumbuhan
ekonomi 5-8 persen per tahun mestinya akan mengangkat
pertumbuhan ekonomi 5-12 persen per tahun. Dan akan
lebih stabil karena tidak adanya ledakan-ledakan
sosial oleh karena lebih adil. Selain dari pada
menyelesaikan tiga harga tadi, juga harus memikirkan
bagaimana caranya mengurangi utang dalam negeri yang
mengambil alokasi belanja APBN yang sangat besar. Itu
terutama terjadi oleh karena usaha rekap bank.
Subsidi
Kemudian persoalan subsidi. Sekarang ini banyak sekali
subsidi yang bertentangan dengan Pasal 34 UUD 45. Di
sana tidak dikatakan konsumen listrik dan BBM di
subsidi oleh negara, tetapi yang disubsidi adalah
fakir miskin dan anak-anak telantar. Kalau yang
disubsidi adalah pengguna BBM maka yang menerima
subsidi adalah mereka yang menggunakan BBM. Siapa sih
pengguna BBM? Yaitu para kapitalis yang memiliki
pabrik-pabrik besar itu. Mereka itulah yang menerima
subsidi, mereka yang memiliki rumah yang besar-besar
dengan penggunaan listrik yang besar, merekalah yang
paling banyak menerima subsidi. Dengan itu APBN
dibebaskan dari subsidi yang tidak adil itu, kemudian
dipakai untuk memperbaiki gaji pegawai negeri.
Kemudian bersamaan dengan itu bisa secara bertahap
dilakukan proteksi tarif bea masuk terhadap
produk-produk sektor tradisional terutama pertanian.
Usaha ini tidak membutuhkan dana APBN, yang diperlukan
adalah tanda tangan menteri keuangan untuk menaikan
bea masuk. Dan tentunya akan berhadapan dengan WTO dan
sebagainya. Pro-coment atau advokator utama lembaga
WTO adalah negara-negara maju seperti AS, Eropa Barat,
Jepang, Australia. Negara-negara ini sampai sekarang
tidak mematuhi ketentuan dari WTO. Di mana mereka
tidak patuh di produk-produk pertanian.
Jadi untuk apa kita patuh, karena mereka sendiri yang
ada sebagai advokator utama WTO, mereka sendiri sangat
reluctant untuk patuh terhadap regulasi WTO terutama
bidang pertanian. Sehingga menjadi lucu, jika gula dan
beras Indonesia hanya diproteksi 25% tarif sedangkan
Jepang memproteksi berasnya dengan 400%, Amerika masih
memproteksi hasil pertaniannya dengan 184%.
“Lalu kenapa kita tidak berbuat seperti mereka?”
tanyanya. Sehingga yang nanti laku di pasar bukan lagi
jeruk atau apel dari luar negeri tetapi dari dalam
negeri sendiri. Jika harga petanian bagus para petani
juga bersemangat menanam. Dan sekarang tinggal
bagaimana kebijakan pemerintah dalam menanggapi ini,
karena politik yang betul akan membuahkan kebijakan
yang betul. Kebijakan yang betul adalah kebijakan yang
memaksimalkan kepentingan umum, kebijakan yang
berdasarkan keadilan. Dan keadilan yang paling menjadi
konsern orang banyak adalah keadilan ekonomi. Karena
apa? Itu menyangkut kepentingan kehidupan mereka
sehari-hari.
Setelah gaji pegawai negeri naik dan meningkatnya
tarif bea masuk, akan mempengaruhi tingkat agrikat
demand. Permintaan agrikat itu akan naik, kemudian
revenue atau pendapatan pengusaha naik, sehingga
kemudian ada peluangan bagi mereka merestruktur biaya,
dengan cara menaikan upah buruh. Jadi proposal
kenaikan upah buruh seperti itu tidak samasekali
membebani pengusaha. Dan itu akan kembali juga kepada
mereka, karena buruh itu adalah juga konsumen terhadap
produksi mereka. Jadi berputar sesungguhnya ekonomi
itu. Yang menjadi permasalahnya adalah bagaimana roda
perputaran menjadi cepat, lancar dan adil.
Ia melihat kebijakan tim ekonomi kita memang plot
sejak zaman orde baru itu keliru, ada persepsi yang
mengangap komsumsi tidak penting, padahal tulang
punggung pergerakan ekonomi itu dikonsumsi, dan
investasi itu berada pada tingkat kedua. Investasi
akan bergulir dan menjanjikan jika ada konsumsi kuat,
yang akan memberikan iklim propektif return yang
tinggi untuk investasi dan ada keadilan ekonomi
sehingga investasi tidak terancam oleh ledakan-ledakan
sosial.
Sekarang banyak orang bicara investasi-investasi, jadi
ternyata ada kekeliruan paradigma. Bahwa seolah-olah
investasi lebih penting dari konsumsi. Ia tidak
percaya itu! “Consumption is primary, investment is
secondry”. Yang paling penting adalah bagaimana
memperkuat daya beli masyarakat. Dan jalan untuk
meningkatkan daya beli itu adalah pemertaan hasil
ekonomi (pembagian “kue” yang adil).
Ekonomi Domestik
Kemudian ada sebuah kekeliruan lain yang bahkan sudah
melembaga dan itu warisan Orba, yaitu pandangan bahwa
mencari rejeki dari negeri orang lebih penting dari
pada domestik, seolah-olah rejeki eksport lebih manis
dibanding rejeki dalam negeri. Menurutnya itu keliru,
itu akan menciptakan Indonesia yang tergantung kepada
ekonomi asing. Mestinya adalah bagaimana menggulirkan
ekonomi domestik, memperbesar ekonomi domestik dan
mempercepat putaran ekonomi domestik, sehingga akan
tergantung kepada pertumbuhan dan kestabilan ekonomi
domestik sendiri.
Sementara penghasilan dari ekspor itu hanya sebuah
pelengkap. Bukan berarti menolak ekspor atau tidak
melihat ekspor itu tidak penting, tetapi jangan
dianggap bahwa dengan demikian sebuah kebijakan yang
memperbesar ekspor dengan cara mengorbankan upah
buruh. Sebab upah buruh adalah bagian dari konsumsi
domestik. Ketika upah buruh ini ditekan berarti
memperkecil daya konsumsi domestik, kemudian
memperkecil ekonomi domestik. Memang rejeki yang
berasal dari luar menjadi lebih besar, tapi rejeki
yang dari dalam lebih kecil. “Ketika Indonesia
menggantungkan diri kepada ekonomi asing, kita menjadi
ekonomi yang rentan.” serunya
Seharusnya Indonesia memperkuat ekonomi domestik.
Jadikan ekonomi Indonesia menjadi magnet ekonomi yang
besar dan berputar cepat, sebuah magnet ekonomi yang
bermasa besar dan berputar cepat. Karena magnet yang
besar daya tariknya juga besar, sehingga orang ingin
sekali berinvestasi di Indonesia. Lebih baik investasi
asing masuk ke sini untuk memperkuat ekonomi domestik,
daripada kita investasi di luar negeri untuk merebut
ekspor.
Jadi dengan cara seperti itu kita jadikan ekonomi
Indonesia sebuah magnet yang begerak cepat dan besar,
sehingga ketika bertransaksi dengan ekonomi asing itu
term-nya adalah cenderung menguntungkan kita. Tetapi
jika kita dependent terhadap ekonomi asing, term-nya
akan berbeda.
Seperti contohnya, peristiwa 11 September di New York,
tragedi kemanusiaan yang merenggut ribuan nyawa
manusia, sehingga New York menjadi sebuah tempat yang
menakutkan dan mengerikan, tetapi tidak ada penurunan
rating lembaga-lembaga keuangan di New York, yang
terjadi adalah penurunan rating di Indonesia, karena
kita magnet ekonomi yang lemah, yang jika terjadi
apa-apa ditentukan oleh ekonomi asing.
Mengapa kita bisa berhubungan dengan IMF dan kita
sangat tergantung dengan IMF, Itu sebabnya juga karena
kita telah abai. Kita mengabaikan pentingnya ekonomi
domestik, sehingga kita terjebak. Sekarang bagaimana
kita merebut kemandirian kita kembali. Menurutnya,
kita bisa saja keluar dari program IMF. Untuk keluar
dari IMF berbeda dengan keluar dari program IMF,
karena kita anggota IMF. Untuk dapat keluar dari
program IMF itu ada dua pertimbangan penting yaitu
apakah kita siap dari sisi moneter dan sisi fiskal.
Dari sisi fiskal kuncinya adalah besarnya defisit,
sepanjang defisit kita besar dan kita membiayai
defisit itu dengan utang luar negeri maka kita masih
butuh IMF. Kita pergi ke CGI dan kita butuh dukungan
atau endorsement dari IMF.
UU Propenas menargetkan defisit sudah nol pada tahun
2004, ketika ia menjabat sebagai menteri keuangan
telah mencanangkan kebijakan yang mendukung
perkembangan sisi fiskal, yaitu defisit sudah mencapai
nol, tax review sudah harus 16%, janjinya kepada DPR
waktu itu. Sehingga itu semua diabadikan dalam UU
Propenas, dan menjadi amanah undang-undang. Jadi tidak
ada alasan jika tahun depan kita masih butuh eksternal
financing yang di endorse oleh IMF.
Menurut undang-undang defisit kita sudah harus nol dan
utang luar negeri sudah harus turun. Dari sisi moneter
yang perlu kita perhatikan adalah cadangan defisa.
Cadangan netto defisa kita sekarang US$ 24 miliar,
ketika ia menjadi menteri itu masih sekitar US$18
miliar, jadi selama 3 tahun cadangan defisa netto kita
sudah menebal US$ 6 miliar. Kalau ditambah dengan dana
pinjaman dari IMF, uang pinjaman ini hanya diparkir di
Bank Indonesia sebagai tambahan bantalan devisa yang
sering disebut second line of defend, itu besarnya
sekitar US$ 9 miliar sehingga cadangan devisa bruto
kita itu di BI ada US$ 33 miliar.
Kalau kita keluar dari program IMF kita minimal harus
mengembalikan sebesar US$ 3,5 miliar. Kalau kita
kembalikan cadangan devisa netto kita tetap tidak
berubah tetap 24 miliar sedangkan second line of
defend-nya akan berkurang menjadi US$ 6.5 miliar ini
berarti cadangan devisa bruto kita menjadi US$ 30,5
miliar. Jika dibandingakan pada tahun 2000 ketika ia
menjadi menteri dengan cadangan devisa netto sebesar
US$ 18 miliar dan cadangan devisa bruto sebesar US$ 27
miliar, jadi sebetulnya baik netto maupun bruto kita
dalam dua tahun ini jauh lebih baik. Sesungguhnya
tidak masalah untuk kita keluar dari program IMF.
Sekarang yang menjadi persoalan apakah dengan
keluarnya kita dari program IMF akan timbul masalah
atau gejolak di pasar, dapat dipastikan ada terjadi.
Akan ada orang-orang yang tidak percaya akan kemampuan
ekonomi Indonesia untuk berdiri. Tetapi ia yakin itu
hanya peristiwa yang temporer yang bisa kita lalui
bersama, Karena apa? Kita sudah berkali-kali mengatasi
krisis ini, dan daya tahan kita terhadap guncangan itu
cukup besar. Itu bisa kita saksikan ketika krisis
politik tahun 1998, bagaimana krisis politik itu
mem-finalty perekonomian Indonesia, dari pertumbuhan
perekonomian pada tahun 1997 sebesar 9% kemudian turun
menjadi 6% dan tahun 1998 jatuh di minus 13%, tetapi
pada tahun 1999 langsung mulai menjadi 0,30%. Rebound
atau daya lentur ekonomi Indonesia itu luar biasa.
Jadi ia percaya kita bisa keluar dari program IMF.
Walaupun akan ada gejolak, namun akan dapat teratasi.
Ia tidak percaya bahwa ada suatu bangsa lain
benar-benar secara tulus ingin membantu kita, semua
mereka yang datang ke sini katanya membatu lewat CGI,
IMF atau World Bank dan sebagainya itu, mereka mau
memenuhi kepentingan mereka sendiri di Indonesia. Jadi
yang bisa menolong diri kita adalah diri kita sendiri.
Sesungguhnya permasalahannya sangat mendasar sekali
berhubungan dengan sikap hidup dan sikap bernegara,
dan itulah yang disebut Nasionalisme Ekonomi. Bukan
berarti kita tidak mau berinteraksi dengan ekonomi
asing, bukan, tetapi adalah penting sekali membangun
kemandirian, dan kita menumpukan kestabilan dan
pertumbuhan ekonomi itu pada diri sendiri bukan kepada
pihak asing.
Tiga Lapis Risiko
Sekarang ini ekonomi Indonesia adalah ekonomi yang
dibungkus oleh tiga lapis resiko yakni risiko sosial,
risiko polkam dan risiko global. Lapisan pertama
risiko sosial, lapisan sosial itu ada di dalam tubuh
ekonomi Indonesia sendiri. Sumber risiko itu adalah 3
harga tadi, inilah yang menciptakan ketidakadilan
ekonomi di dalam tubuh ekonomi Indonesia sendiri, dan
kita didera dan terbebani oleh resiko itu sejak lama,
sejak masa Orba menunjukan keberhasilannya, pada saat
itu juga mereka menciptakan resiko sosial yang semakin
berat itu yang disebut dengan introphy sosial sesuatu
yang menggrogoti diri sendiri.
Sejak tahun 1998 dimana Orba turun, perekonomian
Indonesia dibungkus oleh lapisan risiko kedua, yaitu
risiko polkam yang sangat tinggi. Penyebabnya adalah
transisi kerangka kebersamaan politik yang tidak
kunjung usai. Kerangka kebersamaan politik kita dulu
diberi nama kerangka Orba, dan kita semua sudah tidak
menyukai kerangka politik yang tidak adil itu.
Kemudian kita ingin menggantinya, kita sudah berhasil
membongkarnya tetapi kita sampai saat ini belum bisa
menggantikannya dengan orde yang betul-betul penganti
dari orde baru yang kita sebut reformasi dan kita
sedang berada pada masa transisi yang sangat labil.
Selama masa transisi politik ini belum selesai, selama
itu pula ekonomi Indonesia akan terbebani oleh risiko
polkam. Sepanjang risiko polkam itu menakuti-nakuti
pelaku ekonomi, yang kemudian mereka akan menahan
konsumsi, mereka menahan investasi. Padahal pergerakan
ekonomi dimulai konsumsi dan investasi, dan mereka
tahan dan kurangi sehingga memperlambat laju ekonomi,
itu sebabnya ekonomi kita hanya tumbuh 3,5%
Lapisan ketiga dari lapisan resiko perekonomian
Indonesia adalah dimulai sejak September 2001 yaitu
resiko global atau resiko geo-politik dan ekonomi
global, terutama hal ini menonjol sejak peristiwa 11
September, di mana resiko global ini terasa sekali,
seperti kasus bom Bali, berbeda dengan bom-bom yang
lain, bom yang mempuyai nuansa internasional.
*** TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh
Indonesia), Atur/Yusak.
-->
{{Kotak_mulai}}
|