Didalam kehidupan suku Nias, tari perang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan zaman dulu dimasa leluhur suku Nias sering berperang antar desa. Berbagai perlengkapan perang ayng akan digunakan saat berperang, mulai dari perisai, tombak, dan pedang (Gari/Tologu). Setelah zaman peperangan berakhir dan memasuki era baru dimana agama mulai masuk ke Nias, peperangan antar kampungpun selesai juga dan diciptakanlah salah satu tarian yang mencirikan peperangan. Di bagian selatan Nias sering disebut Faluaya, sedangkan di bagian utara Nias biasa dikenal Folaya Baluse yang didalamnya sama-sama memberitahukan alur dari sebua peperangan pada masa leluhur.
Di Nias Selatan, penduduk setempat mempraktikkan tarian perang yang disebut tarian ''Faluaya'' (atau ''[[Tari Fataele|Fataele]]''). Dalam tarian ini, para penari mengenakan pakaian yang berwarna hitam, kuning, dan merah, dan memakai mahkota. Seperti kesatria dalam pertempuran, penari juga membawa ''[[baluse]]'' (perisai), pedang, dan tombak sebagai alat pertahanan dari serangan musuh. ''Baluse'' yang digunakan terbuat dari kayu yang berbentuk seperti daun pisang dan dipegang di tangan kiri yang berfungsi untuk menangkis serangan musuh, sedangkan pedang atau tombak di tangan kanan berfungsi untuk membalas serangan musuh. Kedua senjata ini adalah senjata utama yang digunakan oleh seorang kesatria Nias untuk bertarung.
Pada masa lalu, para pemuda di bagian ujung selatan Nias diharuskan untuk melompati batu setinggi 2 meter dalam upacara ''[[Fahombo]]'' (atau ''Hombo Batu'') agar dianggap telah mencapai kedewasaan sedangkan dibagian Nias lainnya yang menandakan kedewasaan seseorang itu adalah diadakannya upacara FAMOTO (sunat) namun saat latihan berperang para pemudanya juga dilatih untuk dapat melompat yaitu dengan cara melompat setinggi mungkin dan menebas pohon pakis yang tinggi sebagai pertanda mereka dapat mengalahkan musuhnya. Ini juga menandakan bahwa mereka mampu melindungi dan mempertahankan desa mereka setelah mencapai usia dewasa. Oleh karena itu, ''Si'ulu/Balugu'' (kepalaKepala desaAdat) akan membentuk tim ''Fataele'' dan merekrut orang-orang ini.<ref name="Fahombo">{{cite web|url=http://www.indonesia.travel/id/destination/730/pulau-nias/article/210/tari-fataele-tari-perang-khas-nias-selatan|title=Tari Fataele: Tari Perang Khas Nias Selatan|publisher=Indonesia Tourism|accessdate=7 April 2014}}</ref> Di masa lalu, orang-orang Nias ditakuti karena praktik [[Mangai binu|pengayauan]] mereka.<ref name="Nias Headhunting">{{cite web|url=http://news.softpedia.com/news/The-Island-of-the-Head-Hunters-64594.shtml|title=The Island of the Head Hunters|publisher=Softpedia News|accessdate=7 April 2014}}</ref> Diyakini bahwa para korban pengayauan akan menjadi pelayan di akhirat. Saat ini, pengayauan tidak lagi dilakukan karena mayoritas penduduk Nias telah menganut agama [[Protestanisme|Kristen]].<ref>{{cite book|title=Critical survey of studies on the anthropology of Nias, Mentawei and Enggano|author=Peter Suzuki|publisher=M. Nijhoff|year=1958|asin=B007T32XL0}}</ref>