Kapitayan: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
Baris 22:
Nilai-nilai keagamaan Kapitayan inilah yang kemudian diadopsi oleh para Walisongo dalam menyebarkan agama Islam ke daerah-daerah. Karena konsep tauhid dalam Kapitayan pada dasarnya sama dengan konsep tauhid dalam Islam: istilah “''Tan keno kinaya ngapa''” dalam Kapitayan (“tidak dapat dilihat, tidak dapat dipikirkan, tidak dapat dibayangkan, Ia berada di luar segalanya"), memiliki arti yang sama dengan "laisa kamitslihi syai'un" dalam Islam ("Tidak ada yang seperti Dia"; Qur'an Surah Ash-Syura bab 42 ayat 11).<ref name=":0" />
 
Walisongo juga menggunakan istilah “Sembahyang” (menyembah Sang Hyang Taya di Kapitayan) dalam memperkenalkan istilah “Shalat” dalam Islam. Dalam hal tempat pemujaan atau persembahyangan, Walisongo juga menggunakan istilah Sanggar di Kapitayan, yang merupakan bangunan empat persegi dengan lubang kosong di dindingnya sebagai simbol Sang Hyang Taya di Kapitayan, bukan arca atau arca seperti dalam agama Hindu atau agama Buddha. Istilah tempat untuk berdoa atau beribadah di Kapitayan ini juga digunakan oleh Walisongo dengan nama "Langgar" mewakili istilah Masjid dalam Islam.<ref>Sunyoto (2017). p. 17.</ref><ref name=":0" />
 
Ada juga ritual tidak makan dari pagi hingga malam di Kapitayan, yang disebut dengan Upawasa (Puasa atau Poso). Kebetulan, ritual puasa dalam agama Hindu disebut juga dengan Upawasa atau Upavasa.<ref>{{Cite web|title=Upavasa - Banglapedia|url=http://en.banglapedia.org/index.php?title=Upavasa|website=en.banglapedia.org|access-date=2019-11-20}}</ref> Alih-alih menggunakan istilah puasa atau Siyam dalam Islam, Walisongo menggunakan istilah Puasa atau Upawasa dari Kapitayan dalam menggambarkan ritual tersebut. Sebutan Poso Dino Pitu dalam Kapitayan yang artinya puasa pada hari kedua dan kelima yang sama dengan puasa tujuh hari, sangat mirip dengan bentuk puasa Senin dan Kamis dalam Islam. Tradisi "Tumpengan" Kapitayan juga dilestarikan oleh para Walisongo dalam perspektif Islam yang dikenal sebagai "Sedekah". Inilah makna istilah yang disebut-sebut oleh Gus Dur (presiden keempat Indonesia) sebagai "mempribumikan Islam".<ref name=":0" />