Emosi dalam pengambilan keputusan: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Hrara (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Hrara (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 163:
 
=== Kelemahan ''Expected Utility Theory'' ===
''Expected Utility Theory'' (EUT) adalah teori yang menjelaskan fenomena pengambilan keputusan dalam kondisi ketidakpastian di bidang ekonomi. Teori ini pertama kali dipopulerkan oleh von Neumann dan Morgenstern pada tahun 1947. Teori EUT memiliki prinsip bahwa konsumen akan selalu berpikir rasional dan memaksimalkan keuntungan dalam mengambil keputusan. Lebih jauh, teori ini tidak dimaksudkan untuk mendeskripsikan bagaimana orang berperilaku secara realitas (deskriptif), melainkan bagaimana orang seharusnya berperilaku jika mereka mengikuti prosedur pengambilan keputusan rasional (normatif).*9<ref name=":6" />
 
Secara mendasar, kelemahan teori EUT terletak pada pengabaiannya terhadap faktor “emosi” dalam menjelaskan pengambilan keputusan. Karena adalah sebuah fakta yang tak bisa dibantah bahwa manusia bersifat tidak hanya rasionalm tetapi juga emosional. Hal ini diperkuat dengan hasil temuan Herbert Simon, peraih nobel ekonomi 1978, dalam teorinya ''“bounded rationality”'' yang menyatakan bahwa kapasitas kognitif manusia itu terbatas. Maksudnya adalah manusia tidak mampu mengolah sekian banyak informasi (alternatif) yang seringkali bersifat tidak pasti ''(uncertainty).'' Sehingga, Simon kemudian merumuskan model pengambilan keputusan yang mengacu pada atribut kepuasan ''(satisfaction).'' Di mana keputusan mungkin tidak dianggap optimal, tetapi cukup beberapa karakter penting yang dapat memberikan kepuasannya.*9<ref name=":6" />
 
Setiap kali individu (konsumen) mengetahui dirinya melakukan keputusan yang salah (kurang optimal) seperti yang dikemukakan teori ''bounded rationality'' maka akan berimplikasi pada munculnya rasa penyesalan atau yang disebut dengan ''“regret”.'' Satu atau dua frekuensi ''regret'' yang dialami konsumen mungkin dapat diatasi melalui sistem regulasi emosi, tetapi jika ratusan bahkan ribuan sensasi ''regret'' muncul maka sistem regulasi emosi tidak akan mampu berjalan secara optimal. Dalam penelitian yang dilakukan Schwartz pada tahun 2004 misalnya, ia menemukan fakta bahwa akumulasi dari pengalaman ''regret'' yang dialami konsumen di Amerika telah membuat banyak masyarakat Amerika hidup dalam kondisi stres, jauh dari perasaan bahagia dan tidak sedikit yang mengalami depresi.*9<ref name=":6" />
 
=== Emosi ''Regret'' dalam Ekonomi ===
Emosi ''regret'' merupakan jenis emosi yang muncul ketika konsumen meragukan kualitas dari produk yang ia pilih (beli), kemudian ia berpikir bahwa produk lain yang sebelumnya juga menjadi pertimbangan untuk dibeli (tetapi tidak jadi) mungkin saja mempunyai kualitas yang lebih baik. Jika pada kenyataannya benar bahwa produk alternatif yang tidak jadi dibeli mempunyai kualitas yang lebih baik maka konsumen akan mengalami sensasi ''regret.'' Dalam hal ini, ''regret'' bukan hanya sekadar reaksi afektif dari hasil keputusan buruk. Namun, lebih dari itu, ''regret'' merupakan emosi yang memberi arah pada perilaku seseorang. Emosi ''regret'' kemudian dapat dipelajari tidak hanya untuk memahami perilaku individu dalam pengambilan keputusan, namun juga dapat menjadi semacam panduan dalam mengambil sebuah keputusan.*9<ref name=":6" />
 
Menurut teori justifikasi keputusan ''(decision justification theory),'' ''regret'' mempunyai dua komponen inti, yakni evaluasi (perbandingan) dari hasil keputusan dan perasaan bersalah pada diri ''(self-blame).'' Keduanya dapat secara bersama memunculkan ''regret'' atau hanya salah satu dari keduanya. Sementara itu, sebagai emosi kognitif, ''regret'' dibangun berdasarkan dua asumsi. Pertama, pada dasarnya konsumen cenderung membandingkan antara hasil ''(outcome)'' dari keputusannya memilih dengan hasil dari apa yang mereka akan terima seandainya melakukan pilihan yang berbeda. Kedua, konsumen cenderung mengantisipasi ''regret'' sebelum membuat keputusan, karenanya seringkali mereka mengubah pilihan untuk menghindari potensi ''regret.'' Dalam lingkup ekonomi, ''regret'' hanya dapat muncul setelah adanya informasi (negatif) dari luar diri konsumen tentang produk yang tidak dibeli. Sementara, pada lingkup psikologi, informasi itu tidak mesti dari luar individu, melainkan bisa bersifat imajinasi yang berasal dari memori individu terkait.*9<ref name=":6" />
 
Kajian emosi ''regret'' sangat terkait dengan produsen dan toko retail besar maupun kecil yang seringkali kurang memperhatikan kondisi emosi konsumen pada saat melakukan aktivitas ekonomi. Misalnya, sebuah produk yang sama seringkali mempunyai harga yang berbeda antara toko-toko yang mendiami satu pasar. Kemudian, pada toko retail atau ''outlet,'' biasanya juga dijumpai tulisan peringatan yang berpotensi memunculkan ''regret'' konsumen. Contohnya adalah kalimat, “Barang yang sudah dibeli tidak dapat dikembalikan” atau “Memecahkan barang berarti anda membelinya”.*9<ref name=":6" />
 
Berdasarkan kecenderungannya, emosi ''regret'' dapat digolongkan menjadi*9<ref name=":6" />:
 
==== ''Regret'' sebagai antisipasi (anteseden) ====
Baris 192:
Induksi emosi merupakan teknik memanipulasi emosi dan ingatan yang diperkenalkan oleh Smith dan Ellsworth pada tahun 1985. Teknik ini biasanya digunakan untuk melihat efek emosi yang diperankan dalam melakukan pilihan pembelian sebuah produk. Prosedur induksi emosi dilakukan dengan cara subjek diminta untuk mengingat pengalaman masa lalu dan membawa emosi pengalaman masa lalu itu ke masa kini. Bila subjek diminta mengingat peristiwa yang menyenangkan maka disebut dengan induksi emosi positif. Sedangkan, bila subjek diminta untuk mengingat kembali peristiwa yang menyedihkan maka hal ini disebut induksi emosi negatif.*28
 
Teknik induksi emosi juga sangat tergantung pada tingkat sugestif orang yang akan diinduksi. Di mana setiap individu terbagi menjadi beberapa entitas, yakni fisik, emosional, dan intelektual. Asumsinya adalah individu dengan kondisi emosional yang positif akan memiliki level kognisi yang lebih baik sehingga pengambilan keputusan dapat dilakukan lebih cepat melalui mekanisme heuristik yang sederhana dan tanpa banyak berpikir. Namun, lebih dari itu, proses pengambilan keputusan mau tidak mau tetaplah juga melibatkan aspek-aspek kognitif.  Sehingga, bisa saja individu yang telah diberi induksi positif akan lebih terpengaruh pada pilihan beresiko dibandingkan individu yang diinduksi negatif.*28<ref>{{Cite journal|last=Wijayanti & Ahmad|date=2014|title=Pengaruh Induksi Emosi Terhadap Keputusan Membeli Produk|url=https://media.neliti.com/media/publications/224302-pengaruh-induksi-emosi-terhadap-keputusa.pdf|journal=7|volume=1|issue=45-47}}</ref>
 
=== Efek Unik Amarah ===
Jika rasa takut melahirkan ketidakpastian, kemarahan menanamkan kepercayaan diri. Orang yang marah lebih cenderung menyalahkan individu, daripada "masyarakat," atau pun nasib. Kemarahan membuat orang lebih mungkin mengambil risiko dan meminimalkan betapa berbahayanya risiko itu. Orang yang marah akan lebih mengandalkan stereotip dan lebih bersemangat untuk bertindak. Oleh karena itu, amarah adalah emosi yang mengaktifkan tindakan.*29<ref>{{Cite book|last=Litvak dkk.|date=2010|title=Chapter 17: Fuel in the Fire: How Anger Impacts Judgment and Decision-Making. Springer Sciences|location=USA|publisher=Springer Sciences|url-status=live}}</ref>
 
Studi tentang efek amarah dalam pengambilan keputusan telah diteliti oleh psikolog klinis asal Amerika bernama Lerner. Dalam penelitiannya, Lerner meminta sekelompok warga Amerika Serikat untuk membaca berita tentang ancaman surat antraks dengan maksud untuk membuat mereka merasa takut; dan meminta mereka juga untuk membaca berita tentang perayaan serangan 9/11 oleh beberapa orang di negara-negara Timur Tengah dengan maksud untuk menimbulkan kemarahan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa mereka yang dibuat merasa marah akan melihat dunia kurang berisiko dan mereka turut pula mendukung tindakan yang lebih keras terhadap tersangka teroris. Lerner lantas menyimpulkan bahwa amarah atau kemarahan terkadang bermanfaat karena merupakan bagian dari emosi utama keadilan.*30
 
Namun, patut pula dicatat bahwa ketika berada dalam situasi pengambilan keputusan, kemarahan seringkali lebih membingungkan daripada membantu. Kemarahan akan menyederhanakan pemikiran seseorang. Orang-orang beralih ke aturan praktis sehingga berpotensi menimbulkan kerugian pada pihak lainnya. Dalam konteks kemarahan pasca insiden 9/11 misalnya, bisa saja memunculkan pelarangan pada semua Muslim daripada mempertimbangkan dengan hati-hati kebijakan pengungsi dan implikasinya di masa mendatang. Atas keputusan tersebut, Lerner menyebutnya sebagai pemikiran yang kerdil. Di mana dalam kalimatnya, Lerner menekankan bahwa kemarahan memang membawa individu dalam sebuah permainan, tetapi begitu individu tersebut berada dalam permainan maka ia perlu berpikir.*30<ref>{{Cite web|last=Khazan|first=O.|date=2016|title=The Best Headspace for Making Decisions|url=https://www.theatlantic.com/science/archive/2016/09/the-best-headspace-for-making-decisions/500423/|website=www.theatlantic.com|access-date=29 Desember 2021}}</ref>
 
=== Kebahagiaan dan Pengambilan Keputusan ===
Dalam pengambian keputusan, individu diorientasikan ke dalam dua tipe. Pertama, pemaksimal ''(maximizers)'' adalah tipe individu yang ingin menemukan opsi mutlak terbaik saat pengambilan keputusan. Yang kedua, pemuas ''(satisficers)'' adalah tipe individu yang memiliki serangkaian kriteria dan memilih opsi pertama guna menghapus halangan saat pengambilan keputusan.*31<ref>{{Cite web|last=Vanderkam|first=L.|date=2016|title=The Surprising Scientific Link Between Happiness and Decision Making|url=https://www.fastcompany.com/3063066/the-science-backed-way-to-be-happier-by-making-better-choices|website=www.fastcompany.com|access-date=29 Desember 2021}}</ref>
 
Penelitan Simon pada setengah abad yang lalu (1955, 1956, dan 1957) menyarankan pendekatan untuk menjelaskan pilihan yang lebih menyadari keterbatasan kognitif manusia daripada teori pilihan rasional. Simon berpendapat bahwa tujuan maksimalisasi (atau optimasi) yang diperkirakan akan selalu tidak dapat direalisasikan dalam kehidupan nyata. Hal ini dikarenakan kompleksitas lingkungan manusia dan keterbatasan pemrosesan informasi manusia. Simon lantas mengemukakan bahwa dalam situasi pilihan, orang sebenarnya memiliki tujuan "memuaskan" daripada memaksimalkan. Untuk memuaskan, orang hanya perlu memiliki ambang penerimaan dan menempatkan barang pada skala tertentu dalam hal tingkat kepuasan yang akan mereka beli. Seorang pemuas “''satisficers”'' kemudian hanya menemukan dan mengevaluasi barang pertama sampai ditemukan barang lain yang melebihi ambang penerimaan. Selanjutnya, apabila secara tidak sengaja ia menemukan barang lain yang berperingkat tinggi dalam domain yang relevan maka seorang pemuas akan mungkin untuk menolak barang sebelumnya. Dengan demikian, seorang pemuas sering bergerak ke arah maksimalisasi tanpa pernah menjadikannya sebagai tujuan yang disengaja. Kajian yang digagas Simon ini secara komprehensif tidak hanya mempertanyakan proses dimana pilihan dinilai dan dibuat, tetapi juga motif yang mendasari pilihan. Bahwa memuaskan sebetulnya didefinisikan sebagai mengejar yang bukan pilihan terbaik, namun pilihan yang cukup baik.*32<ref>{{Cite journal|last=Schwartz & Ward|date=2002|title=Maximizing Versus Satisficing: Happiness Is a Matter of Choice|url=https://bschwartz.domains.swarthmore.edu/maximizing.pdf|journal=Journal of Personality and Social Psychology|volume=83|issue=5|pages=1178–1197}}</ref>
 
Terkait proliferasi pilihan dalam maksimalisasi dan memuaskan keputusan, Schwartz (2020) menyatakan bahwa hal tersebut memiliki beragam efek negatif terhadap kesejahteraan individu. Pertama, ada masalah terkait perolehan informasi yang memadai tentang pilihan untuk membuat pilihan. Kedua, ada masalah bahwa ketika pilihan berkembang maka standar orang untuk hasil yang dapat diterima akan meningkat. Dan ketiga, ada masalah bahwa ketika pilihan berkembang maka orang mungkin menjadi percaya bahwa hasil yang tidak dapat diterima adalah kesalahan mereka, karena dengan begitu banyak pilihan, mereka harus dapat menemukan yang memuaskan. Sebagai contoh, layanan telepon yang dimonopoli oleh satu penyedia atai perusahaan. Tidak peduli seberapa tidak puasnya seseorang dengan layanan teleponnya, jika layanan telepon disediakan oleh monopoli yang diatur maka seseorang tidak dapat berbuat lebih baik dan layanan yang tidak memadai bukanlah kesalahan orang tersebut. Namun, ketika pilihan layanan telepon tersedia beragam maka tidak ada lagi alasan untuk mentolerir layanan yang tidak memadai dan kegagalan untuk mendapatkan layanan yang memadai adalah tanggung jawab seseorang yang memutuskan. Schwartz kemudian menyarankan bagi individu untuk mempertimbangkan efek berbeda yang mungkin dimiliki oleh serangkaian opsi yakni untuk tujuan memaksimalkan atau memuaskan. Schwartz menambahkan bahwa khusus untuk tipe individu pemaksimal, opsi tambahan akan menimbulkan masalah terkait penyesalan. Hal ini terkait bahwa pemaksimal akan mengajukan pertanyaan pada dirinya sendiri terkait, “apakah ini hasil terbaik?” alih-alih,“apakah ini hasil yang baik?”.*33<ref>{{Cite journal|last=Schwartz|first=B.|date=2000|title=Self Determination: The Tyranny of Freedom|url=https://www.researchgate.net/publication/11946307_Self-Determination_The_Tyranny_of_Freedom|journal=American Psychologist|volume=55|issue=1|pages=79–88|doi=10.1037//0003-066X.55.1.79}}</ref>
 
Selanjutnya, Lyubomirsky dan Ross dalam penelitiannya pada tahun 1997 menemukan fakta bahwa orang yang tidak bahagia lebih terpengaruh oleh perbandingan sosial ke atas daripada orang yang bahagia. Kedua peneliti tersebut mengeksplorasi hubungan antara memaksimalkan dan proses perbandingan sosial dengan memeriksa apakah pemaksimal dan pemuas merespons secara berbeda terhadap manipulasi perbandingan sosial. Mereka lantas menyimpulkan bahwa terdapat peran kausal yang menyebabkan pemaksimal akan lebih sensitif terhadap penyesalan daripada pemuas.*34<ref>{{Cite journal|last=Lyubomirsky & Ross|date=1997|title=Hedonic Consequences of Social Comparison: A Contrast of Happy and Unhappy People|url=http://sonjalyubomirsky.com/wp-content/themes/sonjalyubomirsky/papers/LR1997.pdf|journal=Journal of Personality and Social Psychology|volume=73|issue=6|pages=1141–1157|doi=10.1037//0022-3514.73.6.1141}}</ref>
 
== Referensi ==