Emosi dalam pengambilan keputusan: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan |
Typo |
||
Baris 23:
== Konstruksi Emosi dan Keputusan ==
Emosi tercipta ketika otak menafsirkan apa yang terjadi di sekitar kita melalui ingatan, pikiran, dan keyakinan. Emosi memicu bagaimana kita merasa dan berperilaku. Dan karena itulah, semua keputusan yang diambil seseorang akan merujuk pada pengalaman emosionalnya. Sebagai contoh, jika seseorang merasa bahagia mungkin saja ia memutuskan untuk berjalan pulang melalui taman yang dipenuhi bunga
== Dimensi Pengambilan Keputusan ==
Baris 94:
6. Melaksanakan Keputusan
Langkah selanjutnya setelah alternatif yang terbaik dipilih adalah dengan melaksanakan keputusan. Dalam hal ini, pelaksanaan keputusan dilakukan secara efektif untuk mencapai sasaran yang telah ditetapkan. Pada tahapan ini faktor kunci yang mempengaruhinya adalah kecerdasan, yakni kecerdasan akademis dan lingkungan sosial. Dalam pelaksanaan keputusan, terkadang individu perlu berhubungan dengan orang lain.
7. Evaluasi Keputusan
Baris 149:
3. Meningkatkan Kesadaran Akan Misatribusi
Penilaian yang berhubungan dengan emosi bersifat otomatis. Berdasarkan hal tersebut, Han dkk. (2007) mengemukakan bahwa kecenderungan penilaian akan dinonaktifkan ketika pengambil keputusan menjadi lebih sadar secara kognitif. Untuk itu, Lerner dkk. (1998) mendorong para pembuat keputusan untuk memantau proses penilaian dengan cara yang kritis terhadap diri sendiri yakni melalui harapan bahwa mereka perlu membenarkan keputusan mereka kepada audiens ahli (misalnya, akuntan), mengurangi dampak kemarahan insidental pada keputusan hukuman dengan mengarahkan orang untuk fokus pada penilaian-informasi yang relevan, dan dengan mengabaikan pengaruh insidental sebagai sesuatu yang dianggap kurang relevan terhadap penilaian.<ref>{{Cite journal|last=Han dkk.|date=2007|title=Feelings and Consumer Decision Making: The Appraisal-Tendency Framework|url=https://dash.harvard.edu/bitstream/handle/1/37143006/Feelings-and-Consumer-Decision-Making.pdf;jsessionid=88093278AB35C1CAD92EAAEB09A283D4?sequence=1|journal=Journal of Consumer Psychology|volume=17|issue=3|pages=158-168|doi=
Perlu dicatat bahwa contoh-contoh penonaktifan pembawaan emosional mungkin lebih merupakan pengecualian daripada aturan. Karena banyak faktor yang dapat menggagalkan kesadaran kognitif seseorang. Pertama, orang sering kekurangan motivasi untuk memantau proses pengambilan keputusan mereka. Kedua, bahkan ketika orang termotivasi untuk mencapai kesadaran akurat dari proses keputusan, seringkali hal tersebut dipandang sebagai tugas yang sulit. Han dkk. (2012) membuktikan hal tersebut dengan sebuah temuan yang menyatakan bahwa rasa jijik yang tidak disengaja menyebabkan peserta menyingkirkan barang-barang miliknya bahkan ketika peserta tersebut secara langsung diperingatkan untuk menghindari efek sisa dari rasa jijik tersebut.<ref>{{Cite journal|last=Han dkk.|date=2012|title=The Disgust-Promotes-Disposal Effect|url=https://scholar.harvard.edu/files/rzeckhauser/files/disgust.pdf|journal=Journal of Risk and Uncertainty.|volume=44|issue=1|pages=101-113|doi=10.1007/s11166-012-9139-3}}</ref>
4. Memodifikasi Konstruksi Pilihan
Baris 157:
Konstruksi pilihan menawarkan serangkaian taktik alternatif yang memengaruhi perilaku secara otomatis tanpa membatasi pilihan. Strategi ini dilakukan dengan jalan mengubah pembingkaian, struktur pilihan, dan lingkungan. merusak. Contohnya, kafetaria perlu diatur sehingga makanan pertama yang ditemui konsumen adalah pilihan yang lebih sehat. Pengaturan seperti ini nantinya akan meningkatkan kemungkinan kombinasi rasa lapar yang mendalam dan konsumen tidak akan berpikir bahwa hal tersebut akan menggagalkan tujuan kesehatannya.<ref>{{Cite journal|last=Thaler dan Sunstei|date=2008|title=Nudge: Improving Decisions About Health, Wealth, and Happiness. New Haven, CT: Yale|url=https://www.researchgate.net/publication/257178709_Nudge_Improving_Decisions_About_Health_Wealth_and_Happiness_RH_Thaler_CR_Sunstein_Yale_University_Press_New_Haven_2008_293_pp|journal=The Social Science Journal|volume=45|issue=4|pages=700–701|doi=10.1016/j.soscij.2008.09}}</ref><ref name=":10">{{Cite journal|last=Thaler dan Sunstein|date=2003|title=Libertarian Paternalism|url=https://dash.harvard.edu/bitstream/handle/1/12876718/LibPaternal.pdf?sequence=1|journal=American Economic Review.|volume=93|issue=2|pages=175-179|doi=10.1257/000282803321947001}}</ref>
== Fenomena Keputusan Berbasis Emosi ==
Baris 178:
Berdasarkan kecenderungannya, emosi ''regret'' dapat digolongkan menjadi<ref name=":6" />:
==== ''Regret''
''Regret'' sebagai antisipasi ialah upaya untuk meminimalisir sensasi ''regret'' sebelum pengambilan keputusan. Aplikasi ''regret'' sebagai antisipasi biasanya berkenaan dengan waktu. Contohnya, ketika membandingkan peluang membeli barang pada waktu sekarang atau kemudian. Apabila hasilnya diasumsikan sama-sama negatif maka sensasi ''regret'' akan lebih dirasakan ketika membeli pada waktu kemudian. Karena, di waktu kemudian kemungkinan individu akan memiliki dua beban psikologis, yaitu beban dari hasil keputusannya buruk dan beban karena sudah menunggu lama.
==== ''Regret''
''Regret'' sebagai konsekuensi ialah respons emosional yang berasal dari perbandingan antara kualitas produk yang dipilih dengan kualitas produk yang tidak dipilih. Berbeda dengan konsep kepuasan ''(satisfaction)'' yang merupakan hasil perbandingan antara produk yang dibeli dengan harapan semula tentang kualitas produk yang dimaksud, ''regret'' sebagai konsekuensi berfokus pada perbandingan antar produk. Contoh dari ''regret'' sebagai konsekuensi adalah tentang harga barang. Misalnya, setelah melakukan beragam pertimbangan, Asri membeli laptop merek X. Laptop yang baru dibelinya itu ternyata memenuhi apa yang menjadi harapannya semula, yakni penampilannya menarik, operasi yang sangat cepat, dan bersifat ringan sehingga mudah dibawa. Asri pun kemudian merasakan rasa puas ''(satisfaction)'' dengan keputusannya tersebut. Namun, setelah satu bulan, Asri bertemu dengan kawan lamanya bernama Andi yang kebetulan mempunyai merek laptop yang sama dengan Asri. Selepas berbincang, Asri lantas mengetahui bahwa harga laptop yang dibayarkannya ternyata lebih mahal Rp 200.000 ketimbang laptop Andi. Informasi tentang harga laptop Andi yang lebih murah ini lantas membuat Asri mengalami sensasi ''regret'' akibat keputusan yang kurang optimal. Jika saja Asri membeli laptop X di toko yang sama dengan Andi maka ia akan menghemat Rp 200000. Pikiran Asri yang terakhir ini disebut dengan berpikir ''counterfactual'' (keadaan seseorang ketika menghadapi suatu fakta yang tidak menyenangkan, ia akan berpikir ke arah keadaan yang bertentangan dengan fakta tersebut).
=== Regulasi ''Regret'' ===
Teori regulasi ''regret'' menjelaskan bahwa orang dapat mencegah sensasi ''regret'' yang akan dialaminya di masa mendatang dengan cara mentransfer atau membagi tanggung jawab atas keputusannya. Contohnya, ketika individu dihadapkan pada pilihan antara membeli produk yang murah tidak terkenal dan berpenampilan tidak menarik dengan produk yang menarik, terkenal tetapi mahal. Regulasi ''regret'' akan menganjurkan individu untuk memilih yang terkenal meskipun harganya mahal. Dengan memilih produk yang terkenal maka secara tidak langsung individu telah mentransfer tanggung jawab atas keputusannya. Sehingga, bila keputusannya salah atau tidak optimal, ia tidak akan mengalami rasa ''“regret”'' yang mendalam. Karena, individu tersebut telah meyakinkan diri dan orang lain bahwa keputusannya sudah tepat. Asumsi pikirannya adalah barang berkualitas tentu memiliki resiko kerusakan yang amat kecil, bila juga tetap rusak maka hal itu diluar kemampuannya (tanggung jawabnya). Konsep ini juga yang dapat menjelaskan alasan kebanyakan orang untuk membeli mobil baru dibandingkan mobil bekas yang secara finansial lebih menguntungkan.
Sementara itu, untuk menghadapi emosi ''regret'' yang sedang dialami individu maka dapat dilakukan dengan tiga strategi. Pertama, dengan mengembalikan keputusan. Misalkan, mengembalikan barang yang sudah dibeli selama bisa ditukarkan. Kedua, melakukan justifikasi diri terhadap keputusan yang salah. Misalkan dengan mengatakan, “Maklum saya tidak tahu.” atau “Kalau saya tahu, pastilah akan mengambil keputusan yang berbeda.”. Ketiga, menolak tanggung jawab. Misalkan dengan mengatakan kepada dirinya dan orang lain bahwa penjaga toko tidak menginformasikan lebih detail tentang kelebihan dan kekurangan produk yang dibelinya.
=== Induksi Emosi ===
Baris 197:
Jika rasa takut melahirkan ketidakpastian, kemarahan menanamkan kepercayaan diri. Orang yang marah lebih cenderung menyalahkan individu, daripada "masyarakat," atau pun nasib. Kemarahan membuat orang lebih mungkin mengambil risiko dan meminimalkan betapa berbahayanya risiko itu. Orang yang marah akan lebih mengandalkan stereotip dan lebih bersemangat untuk bertindak. Oleh karena itu, amarah adalah emosi yang mengaktifkan tindakan.<ref>{{Cite book|last=Litvak dkk.|date=2010|title=Chapter 17: Fuel in the Fire: How Anger Impacts Judgment and Decision-Making. Springer Sciences|location=USA|publisher=Springer Sciences|url-status=live}}</ref>
Studi tentang efek amarah dalam pengambilan keputusan telah diteliti oleh psikolog klinis asal Amerika bernama Lerner. Dalam penelitiannya, Lerner meminta sekelompok warga Amerika Serikat untuk membaca berita tentang ancaman surat antraks dengan maksud untuk membuat mereka merasa takut; dan meminta mereka juga untuk membaca berita tentang perayaan serangan 9/11 oleh beberapa orang di negara-negara Timur Tengah dengan maksud untuk menimbulkan kemarahan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa mereka yang dibuat merasa marah akan melihat dunia kurang berisiko dan mereka turut pula mendukung tindakan yang lebih keras terhadap tersangka teroris. Lerner lantas menyimpulkan bahwa amarah atau kemarahan terkadang bermanfaat karena merupakan bagian dari emosi utama keadilan.
Namun, patut pula dicatat bahwa ketika berada dalam situasi pengambilan keputusan, kemarahan seringkali lebih membingungkan daripada membantu. Kemarahan akan menyederhanakan pemikiran seseorang. Orang-orang beralih ke aturan praktis sehingga berpotensi menimbulkan kerugian pada pihak lainnya. Dalam konteks kemarahan pasca insiden 9/11 misalnya, bisa saja memunculkan pelarangan pada semua Muslim daripada mempertimbangkan dengan hati-hati kebijakan pengungsi dan implikasinya di masa mendatang. Atas keputusan tersebut, Lerner menyebutnya sebagai pemikiran yang kerdil. Di mana dalam kalimatnya, Lerner menekankan bahwa kemarahan memang membawa individu dalam sebuah permainan, tetapi begitu individu tersebut berada dalam permainan maka ia perlu berpikir.<ref name=":11">{{Cite web|last=Khazan|first=O.|date=2016|title=The Best Headspace for Making Decisions|url=https://www.theatlantic.com/science/archive/2016/09/the-best-headspace-for-making-decisions/500423/|website=www.theatlantic.com|access-date=29 Desember 2021}}</ref>
=== Kebahagiaan dan Pengambilan Keputusan ===
|