Token dagang Malaya Britania: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Baris 4:
Pada tahun 1600an, terdapat sejumlah mata uang yang beredar di Nusantara berkat hubungan dagang internasional,{{sfn|Hall|1968|pp=277-279}} mencakup koin yang dihasilkan oleh kerajaan lokal seperti [[Kesultanan Aceh|Aceh]], [[Kesultanan Jambi|Jambi]], [[Kesultanan Siak|Siak]], [[Kesultanan Palembang]], dan [[Kesultanan Banten|Banten]], ditambah pula dengan [[Uang kepeng di Indonesia|koin Tiongkok]]. Namun pada paruh kedua abad 17 M, monopoli perdagangan [[Kompeni Hindia Belanda|Kompeni Hindia Belanda (VOC)]] mulai meningkat. Monopoli ini berpengaruh buruk pada jaring perdagangan serta ekonomi kerajaan-kerajaan lokal yang mulai menghentikan produksi uang masing-masing. Kecuali beberapa mata uang seperti [[Pitis Palembang]] yang terus diproduksi hingga 1800an awal, peran sebagian besar uang lokal semakin tergeserkan dengan uang keluaran asing seperti Belanda dan [[Dolar Spanyol|Spantol]].{{sfn|Mitchiner|2013|pp=31-32}}
 
Memasuki 1800an, sebagian besar transaksi kecil di Nusantara difasilitasi oleh koin [[tembaga]] keluaran VOC yang dikenal sebagai [[Duit]]. Uang ini dicetak di Belanda kemudian diimpor ke Hindia Belanda.{{sfn|Mead|2011|pp=4}} Namun begitu, perdagangan di wilayah Selat Malaka yang berada dalam pengaruh Inggris memerlukan lebih banyak uang kecil untuk mendukung pertumbuhan ekonomi mereka sendiri.{{sfn|reid|1990}} [[Perusahaan Hindia Timur Britania|Kompeni Hindia Timur Inggris (EIC)]] pernah mengeluarkan koin tembaga di Sumatra antar 1798 hingga 1804, namun tampaknya koin tersebut hanya beredar dalam jumlah terbatas dan kurang populer.{{sfn|Ellis|1895|pp=136}} Pada tahun 1826, Inggris menetapkan [[Rupee India]] sebagai satu-satunya mata uang resmi di wilayah jajahan Selat Malaka, namun Rupee juga sulit didapat dan kurang diterima oleh pedagang Nusantara sehingga berbagai mata uang asing (dari sudut pandang Inggris) terus digunakan.{{sfn|Pridmore|1965|pp=186}}
 
Untuk meningkatkan suplai uang kecil di wilayah mereka, perusahaan-perusahaan dagang baru di [[Singapura]] (yang baru didirikan pada tahun 1819) mulai memesan dan mengimpor koin tembaga mereka sendiri tanpa persetujuan pemerintahan. Hukum Inggris pada masa itu masih memperbolehkan percetakan pribadi untuk menghasilkan koin tembaga, dan token dagang Malaya Britania diduga dihasilkan oleh percetakan-percetakan di [[Manchester]] dan [[Birmingham]]. Setibanya di Singapura, token dagang ini kemudian digunakan selayaknya duit VOC, meski dihargai sedikit lebih rendah. Berbagai desainnya menggunakan bahasa dan aksara lokal seperti [[abjad Jawi|Melayu]], [[aksara Lontara|Bugis]], dan [[aksara Thai|Thai]] agar lebih mudah diterima oleh pedagang setempat. Diduga pada masa puncak produksi antar tahun 1841-1851, lebih dari 300 juta token dagang Malaya Britania diserap Nusantara melalui Singapura.{{sfn|Mead|2011|pp=4}}{{sfn|reid|1990}}{{sfn|Ellis|1895|pp=136-142}}