Token dagang Malaya Britania: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Baris 7:
Memasuki 1800an, sebagian besar transaksi kecil di Nusantara difasilitasi oleh koin [[tembaga]] keluaran VOC yang dikenal sebagai [[Duit]]. Uang ini dicetak di Belanda kemudian diimpor ke Hindia Belanda.{{sfn|Mead|2011|pp=4}} Namun begitu, perdagangan di wilayah Selat Malaka yang berada dalam pengaruh Inggris memerlukan lebih banyak uang kecil untuk mendukung pertumbuhan ekonomi mereka sendiri.{{sfn|reid|1990}} [[Perusahaan Hindia Timur Britania|Kompeni Hindia Timur Inggris (EIC)]] pernah mengeluarkan koin tembaga di Sumatra antar 1798 hingga 1804, namun tampaknya koin tersebut hanya beredar dalam jumlah terbatas dan kurang populer.{{sfn|Ellis|1895|pp=136}} Pada tahun 1826, Inggris menetapkan [[Rupee India]] sebagai satu-satunya mata uang resmi di wilayah jajahan Selat Malaka, namun Rupee juga sulit didapat dan kurang diterima oleh pedagang Nusantara sehingga berbagai mata uang asing (dari sudut pandang Inggris) terus digunakan.{{sfn|Pridmore|1965|pp=186}}
 
Untuk meningkatkan suplai uang kecil di wilayah mereka, perusahaan-perusahaan dagang baru di [[Singapura]] (yang baru didirikan pada tahun 1819) mulai memesan dan mengimpor koin tembaga mereka sendiri tanpa persetujuan pemerintahan. Hukum Inggris pada masa itu masih memperbolehkan percetakan pribadi untuk menghasilkan koin tembaga, dan token dagang Malaya Britania diduga dihasilkan oleh percetakan-percetakan di [[Manchester]] dan [[Birmingham]]. Setibanya di Singapura, token dagang ini kemudian digunakan selayaknya duit VOC, meski dihargai sedikit lebih rendah. Berbagai desainnya menggunakan bahasa dan aksara lokal seperti [[abjad Jawi|Melayu]], [[aksara Lontara|Bugis]], dan [[aksara Thai|Thai]] agar lebih mudah diterima oleh pedagang setempat. Diduga pada masa puncak produksi antar tahun 1841-1851, lebih dari 300 juta token dagang Malaya Britania diserap Nusantara melalui Singapura.{{sfn|Mead|2011|pp=4}}{{sfn|reid|1990}}{{sfn|Ellis|1895|pp=136-142}}
 
Meski diterima oleh kebanyakan pedagang, keberadaan mata uang tidak resmi dianggap sebagai pelanggaran kedaulatan Belanda di wilayah jajahannya. Keluhan dan tekanan diplomatik dari Belanda akhirnya mendorong pemerintahan Inggris pada tahun 1844 untuk menyita cetakan di Birmingham dan melarang produksi atau peredaran koin pribadi. Ini didukung pula oleh larangan peredaran yang dikeluarkan oleh EIC pada tahun 1848. Namun begitu larangan ini tampaknya tidak mencakup sebagian token yang desainnya tidak menyerupai koin resmi manapun sehingga token dagang tertentu, terutama yang bergambarkan ayam, terus dihasilkan dan diterima untuk waktu yang cukup lama di berbagai pelosok Nusantara.{{sfn|Mead|2011|pp=4}}{{sfn|reid|1990}}{{sfn|Ellis|1895|pp=140-142}} Peran token dagang berangsur-angsur digantikan oleh [[Dolar Selat]] di wilayah jajahan Inggris dan [[Gulden Hindia Belanda]] wilayah jajahan Belanda.