Perenialisme agama: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
FarhBot (bicara | kontrib)
k Bot: PUEBI ("atmosfir" menjadi "atmosfer")
Baris 41:
* Kedua, meskipun cahaya memiliki daya terang yang beragam, semua cahaya (juga agama) akan mengantarkan manusia kepada sumber cahaya itu (Tuhan), sekalipun ada yang tipis dan remang-remang. Sebab, jika manusia terus menelusuri cahaya itu, dia akan tetap sampai kepada sumbernya. “Sampai kepada sumbernya” inilah yang paling penting dalam agama. Hakikat agama adalah adanya ''sense of the absolute'' dalam diri manusia, sehingga dia merasakan terus-menerus adanya Yang Absolut dalam dirinya. Kehadiran Yang Absolut inilah yang senantiasa mengawal manusia berada dalam jalan kebenaran-Nya, yaitu jalan suci yang diajarkan oleh semua agama.{{sfnp|Rachman|2001||p=89|ps=}}
 
Berdasarkan arah ini pula manusia merasakan makna simbolis kehadiran Sang Pemilik Kehidupan. Wujud hakikat agama itu sejatinya merupakan pengetahuan, sekaligus kebijaksanaan.{{sfnp|Sujarwa|2001||p=32–33|ps=}} Hal ini dapat diistilahkan dengan ''sophia'' (menurut orang [[Yunani Kuno]]), ''spientia'' (menurut istilah orang Kristen pada Abad Pertengahan), ''jnana'' (ungkapan dalam agama Hindu), dan ''al-ma’rifah'' atau ''al-hikmah'' (menurut konsep sufi). Itulah sebabnya, hakikat agama kerap disebut sebagai ''scientia sacra'', yang berarti pengetahuan suci. Pengetahuan ini dialami dan bukan sekadar diyakini berasal dari “alam surgawi,” yang kemudian diturunkan sebagai wahyu dengan berbagai metode. Oleh karena itu, kesatuan agama-agama berada dalam “langit ilahi” (esoterik dan transenden), bukan dalam “atmosfir“atmosfer bumi” (eksoteris), yang kerap memantik perdebatan.{{sfnp|Nurcholish|Dja'far|2015|p=73–74|ps=}}
 
Dengan demikian, filsafat perenial menguraikan keanekaragaman “jalan keagamaan” yang ada dalam kenyataan historis setiap agama dan dapat diterima dengan lapang dada dengan toleransi. Hal ini disebabkan karena pada hakikatnya ajaran (perenial) Tuhan – seperti Tuhan itu sendiri – hanya satu, tetapi diungkapkan dengan banyak nama dan ajaran yang diturunkan melalui para [[nabi]] dan [[rasul]]. “Yang Satu” ini dalam perspektif perenial adalah “Yang Tidak Berubah” dan merupakan fitrah. Mengembalikan keanekaragaman yang ada dalam kehidupan sehari-hari kepada "Yang Tidak Berubah", merupakan pesan dasar dari filsafat perenial, yang pada dasarnya adalah pesan keagamaan – sebagaimana disebut dalam terminologi Islam adalah ''al-din-u ‘l-nashihah'' (agama itu nasihat). Pesan ini tersurat dalam [[Al-Qur'an]] Surah Ar-Rum ayat ke-30 berikut.{{sfnp|Nurcholish|Dja'far|2015|p=74|ps=}}