Media di Indonesia: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
AdhiOK (bicara | kontrib)
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler Suntingan seluler lanjutan
AdhiOK (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler Suntingan seluler lanjutan
Baris 39:
Pada masa pemerintahan [[orde baru]], [[media]] di [[Indonesia]] mengalami “masa kelam”, karena pada saat itu media tidak memperoleh kebebasan pers untuk memberitakan informasi yang sebenarnya kepada masyarakat. Media masih diatur dan dikuasai oleh pemerintahan, sehingga belum dapat secara bebas dan independen menyampaikan informasi kepada [[khalayak]]. Pada saat itu, media terancam mengalami pembredelan apabila memberitakan atau pesan komunikasi dan informasi yang menentang penguasa atau pemerintahan. Media harus tunduk dan hanya diperbolehkan menyebarkan hal yang menguntungkan dan baik bagi [[pemerintah]]. Pada masa ini, media digunakan untuk menjaga kestabilan penguasa dan pemerintahan<ref>http://www.kompasiana.com/andi.kc/media-pasca-orde-baru_55285a606ea834cb6a8b4599</ref>.Setelah berakhirnya masa kekuasaan dan pemerintahan Presiden Soeharto, kebebasan media di Indonesia meningkat dengan pesat. Setelah lama ditekan, diawasi, dibatasi, dan dilecehkan oleh pemerintahan orde baru, akhirnya kini media atau pers di Indonesia menjadi salah satu media yang paling bebas dan hidup di Asia.<ref name="Kuipers, Joel C 2011">Kuipers, Joel C. "The Media", in (Frederick, William H. and Worden, Robert L. 2011. Indonesia: a country study. Washington, DC: Federal Research Division, Library of Congress. )</ref> Setelah orde baru berakhir, media yang tadinya serupa dan hanya memberitakan hal dari sudut pandang yang sama perlahan mulai berubah menuju pluralisme yang agak lebih besar atau sudut pandang yang berbeda-beda, terbuka pada hal-hal baru, dan independen, dan tidak lagi tergantung pada pemerintahan.
 
[[Pluralisme]] mulai terjadi ketika pemerintahan [[Reformasi]] (pemerintahan setelah orde baru) mulai mengizinkan berdirinya sebuah stasiun [[radio]] dan [[televisi]] yang baru. Pada awalnya, terdapat aturan bahwa seluruh stasiun televisi harus berbasis di Jakarta. Lisensi atau izin untuk mendirikan stasiun televisi pada awalnya juga hanya diberikan kepada orang-orang tertentu saja, seperti anggota keluarga mantan [[Presiden]] [[Soeharto]], orang-orang yang dekat dengan pemerintahan, dan beberapa konglomerat lainya.<ref name="Kuipers, Joel C 2011"/> Dalam beberapa tahun runtuhnya orde baru, perkembangan media, khususnya media televisi dapat dikatakan cukup pesat. Saat itu sebagian media televisi telah mampu menjangkau sekitar 70 hingga 80 persen populasi seluruh [[masyarakat Indonesia]]. Karena beberapa televisi baru mulai bermunculan, maka mengakibatkan persaingan antar televisi tersebut untuk mendapatkan pendapatan [[iklan]] dan penonton. Persaingan yang cukup pesat menyebabkan beberapa media mulai tertarik dan tergoda untuk mendorong batas-batas yang selama ini dipegangnya. Salah satu batasan yang mulai ditinggalkan adalah mengenai larangan menayangkan program [[berita]] selain yang dihasilkan oleh negara, yaitu berita dari [[Televisi Republik Indonesia|TVRI]] (Televisi Republik Indonesia).<ref name="Kuipers, Joel C 2011"/> Saat itu TVRI adalah sebuah stasiun televisi yang dikelola oleh pemerintah, sehingga berita yang dihasilkan oleh stasiun televisi tersebut lebih memihak dan menguntungkan pemerintah.
 
Stasiun-stasiun televisi tersebut ternyata sangat menguntungkan dan mampu menghasilkan profit yang sangat besar. Hal itu menyebabkan pemerintah atau [[Rezim]] menjadi sulit untuk menghukum kerabat maupun teman dekat sendiri. Walau stasiun televisi melanggar aturan yang telah dibuat dengan menyiarkan program berita independen yang diproduksi sendiri, namun pemerintah kesulitan untuk menutup stasiun televisi tersebut.<ref name="Kuipers, Joel C 2011"/> [[Surya Citra Televisi]] (SCTV) dan [[Rajawali Citra Televisi Indonesia]] (RCTI) adalah contoh dari stasiun televisi yang memproduksi dan menyiarkan program berita sendiri pada saat itu. Ternyata, program berita tersebut menjadi sangat populer serta disukai oleh pemirsa diseluruh negeri. Program berita independen menjadi program berita alternatif yang memiliki pandangan berbeda dari TVRI. Meskipun program berita yang diproduksi dan disiarkan oleh stasiun televisi tersebut masih relatif “jinak” dan tidak terlalu menentang ataupun memojokan pemerintahan, tetapi program berita tersebut cukup efektif dan berpengaruh untuk melemahkan TVRI.<ref name="Kuipers, Joel C 2011"/> Sejak berakhirnya masa orde baru, media menjadi lebih bebas dan berkembang dengan pesat. Pada tahun 2003, pemerintah melaporkan bahwa terdapat lebih dari 2.000 stasiun televisi dan radio illegal di seluruh negeri. Hal ini membuat pemerintah mendesak seluruh stasiun televisi dan radio illegal untuk mengajukan izin atau menutupnya.