Sirahan, Cluwak, Pati: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Baris 34:
7. Singo Guno (1925 -1945) – 20 tahun.
8. Sariman (1945 -1969) – 24 tahun.
9. H Imam Muslim (1976 -1984) – 8 tahun.
10. H Fuad Zainuri (1985 - 2007) – 22 tahun
11. Fadhul Ulum (2008 - )
Baris 43:
'''SEKILAS TENTANG DESA SIRAHAN'''
 
Sareman, kepala desa Sirahan pertama adalah pemenang sayembara membongkar batu besar yang menghalangi penyempurnaan pembangunan irigasi yang diselenggarakan pemerintah Belanda yang merencanakan saluran irigasi mencapai wilayah Tayu, maka bendungan (sambong) yang sudah ada akan dipindah ke lokasi yang lebih atas (tinggi). Sebelum ada bendungan yang terletak di selatan Desa Sirahan, sudah ada bendungan yang berlokasi di utara Watu Tumpuk bernama bendungan Karang Nongko.
 
Hanya berbekal makanan buah pace, Sareman mampu menggempur batu-batu yang sebelumnya tidak mempan diledakkan dengan dinamit. Akhirnya batu itu berhasil disingkirkan dan bendungan pun pindah ke lokasi yang lebih tinggi dan sungai itu diberi nama “Kali Kontrak” berasal dari kata “kontrak” dengan Belanda dan pemenangnya memperoleh hadiah tujuh turunan bebas dari pajak.
Baris 55:
 
 
Desa Sirahan masuk wilayah kadipaten Pati dibawah Adipati Pragolo. Menurut cerita, karenaKarena jasanya dalam perang Mataram di Batavia itu, Sareman diberi hadiah Putri Cina. Karena itu, anak-cucu Mbah Sareman sebagian bermata sipit mirip Cina. Pernikahan Sareman dengan Putri Cina itu menurunkan putra tunggal bernama Poting. Poting kemudian memiliki keturunan bernama Singo Teko. Singo Teko adalah ayah dari Ijan ayah dari Sukijan dan Yadi yang hingga kini (2008) masih hidup. Sareman juga memiliki keturunan yang diperkirakan hasil pernikahan dengan wanita pribumi bernama : Singodiwiryo, Tumpak dan Sukijah. Singodiwiryo belakangan menjabat sebagai Kepala Desa Sirahan Ke-3 dan memiliki keturunan : Kaseh, Sakinah, Sadino dan H Abdullah yang anak cucunya kini hampir “memenuhi” Desa Sirahan.
Baris 64:
Untuk mengingatkan masyarakat membayar pajak, cukup dengan memukul gendhong. Setiap Desa pada masa itu memiliki brankas besi untuk menyimpan uang pajak yang setiap saat diambil Petugas Kepolisian PP dari Setenan (Kecamatan).
 
Menjelang akhir masa jabatan Singo Guno, penduduk Sirahan mengalami penderitaan akibat penjajahan Jepang. Jika pada masa penjajahan Belanda masih banyak orang berpakaian dari kain, tahun 1942 - 1945 berpakaian dari karung goni, tikar pandan, bahkan pohon ringin. Karena pakaian dari karung goni dan tikar, maka kutu (tumo, tinggi) pun banyak menempel. Untuk mematikan kutu sering digunakan air panas yang dimasukkan dalam botol lalu digosokkan.
 
Dibandingkan Belanda, pemerintahan Jepang lebih sadis. Mereka menguras habis bahan makanan sehingga penduduk kelaparan akibat Kuminyai, yaitu kebijakan Jepang merampas seluruh hasil panen penduduk.
 
Jepang memberikan perintah agar setiap terdengar bunyi sirine, semua orang harus bersembunyi. Hal itu sebagai siasat Jepang. Disaat orang bersembunyi, Jepang mengangkut hasil panen yang sebelumnya dikumpulkan di kediaman Kepala Desa. Penduduk yang ingin menyisakan hasil panen harus pandai-pandai menyembunyikan di langit-langit rumah atau ditanam dalam tanah. Untuk mencari kebutuhan makan, sebagian penduduk ada yang mencari suwek, gadung dan apa saja yang dapat ditemui di hutan-hutan.
 
 
Baris 84:
''''''Musim Tikus''''''
 
Dibawah kepemimpinan Presiden pertama RI Ir Soekarno, taraf hidup masyarakat mulai meningkat, bahkan 10 tahun dari kemerdekaan itu, sudah melaksanakan pemilu untuk pertama kalinya. Setelah sedikit bernapas lega, penduduk Sirahan mengalami kelangkaan pangan karena musim tikus pada tahun 1963. Hampir satu tahun tikus mengganas menghabiskan seluruh tanaman, mulai ketela, jagung, padi, bahkan buah yang bergantung pada pohon pun dimakan.
 
Setelah musim tikus, tahun 1965 PKI (Partai Komunis Indonesia) berontak. Tahun 1966 terjadi lagi musim paceklik panjang. Musim tikus datang lagi untuk yang kedua kalinya, namun itu hanya berlangsung 3 bulan.
Baris 90:
Secara umum, saat itu penduduk Sirahan hidup dibawah garis kemiskinan. Namun demikian, pada pertengahan tahun 60-an ini masyarakat Sirahan tetap menjalankan tradisi keagamaannya. Setiap tanggal 12 Maulid, seluruh penduduk berkumpul di kediaman Kepala Desa memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad SAW dan masing-masing membawa tumpeng.
 
Acara itu identik dengan “pesta desa”. Dan yang menikmatidihadiri tumpengjuga itu bukanoleh penduduk setempatdari saja. Penduduk dariluar desa sekitar pun ikut bergabung. Dan saatpada “pesta desa”acara itu Perangkat Desa pun dapat upeti dari masyarakat. Dengan mengedarkan bakul (cething) hadirin memasukkan uang logam.
 
Kondisi masyarakat Desa Sirahan mulai meningkat taraf kehidupannya pada akhir tahun 1970. Kehidupan beragama yang semula hanya berpusat di lingkungan tengah, mulai merambah ke pinggiran desa. Rumah tembok mulai banyak dibangun, kesadaran memberikan pendidikan pada anak-anak mulai tumbuh.