Bahasa Cirebon: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Ramaalh 11 (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Tag: VisualEditor Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
Ramaalh 11 (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Tag: VisualEditor Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
Baris 51:
Penelitian menggunakan 2.400 kuesioner sebagai indikator pembanding, seperti kosakata anggota tubuh dan budaya dasar ("''makan''", "''minum''", dan sebagainya) berlandaskan metode Guiter menunjukkan perbedaan kosakata Bahasa Cirebon dengan Bahasa Jawa di Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta mencapai 24%, sementara perbedaannya dengan dialek di Jawa Timur mencapai 25%. Sedangkan persamaan dengan Jawa Tengah & Yogyakarta sebesar 76%, dengan Jawa Timur berkisar 75%. Untuk diakui sebagai sebuah bahasa tersendiri, suatu bahasa setidaknya membutuhkan sekitar 80% perbedaan dengan bahasa terdekatnya.
 
Meski kajian linguistik sampai saat ini menyatakan bahasa Cirebon ”hanyalah” dialek (karena penelitian Guiter mengatakan harus berbeda sebanyak 80% dari bahasa terdekatnya), namun sampai saat ini '''Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 5 Tahun 2003''' masih tetap mengakui Cirebon sebagai bahasa dan bukan sebagai sebuah dialek. Dengan kata lain, belum by ada revisi terhadap Perda tersebut. Menurut Kepala Balai Bahasa Bandung, Muh. Abdul Khak, hal itu sah-sah saja karena Perda adalah kajian politik.<ref name=amaliya/> Dalam dunia kebahasaan menurutnya, satu bahasa bisa diakui atas dasar tiga hal. Pertama, bahasa atas dasar pengakuan oleh penuturnya; kedua, atas dasar politik; dan ketiga, atas dasar linguistik.
Bahasa atas dasar politik, contoh lainnya bisa dilihat dari sejarah Bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia yang sebenarnya berakar dari Bahasa Melayu, seharusnya dinamakan bahasa Melayu dialek Indonesia. Namun, atas dasar kepentingan politik, akhirnya bahasa Melayu yang berkembang di negara Indonesia –oleh pemerintah Indonesia– dinamakan dan diklaim sebagai bahasa Indonesia. Selain alasan politik, pengakuan Cirebon sebagai bahasa juga bisa ditinjau dari batasan wilayah geografis dalam perda itu. Abdul Khak mengatakan, Cirebon disebut sebagai dialek jika dilihat secara nasional dengan melibatkan bahasa Jawa.
 
Artinya, ketika Perda dibuat hanya dalam lingkup wilayah Jabar, Cirebon tidak memiliki pembanding kuat yaitu bahasa Jawa. Apalagi, dibandingkan dengan bahasa Melayu Betawi dan Sunda, Cirebon memang berbeda.<ref name=amaliya>Amaliya. 2010. Alasan Politiklah Sebabnya. Bandung: Pikiran Rakyat</ref>
 
=== Bahasa Cirebon sebagai bahasa mandiri ===
[[Berkas:Aksara.cirebon.jpg|jmpl|ka|180px|Cacarakan Cirebon yang bersandingan dengan Rikasara Cirebon]]
 
Revisi Perda, sebenarnya memungkinkan dengan berbagai argumen linguistik. Namun, kepentingan terbesar yang dipertimbangkan dari sisi politik bisa jadi adalah penutur bahasa Cirebon, yang tidak menyebut bagian orang Jawa maupun orang Sunda.<ref name="amaliya">Amaliya. 2010. Alasan Politiklah Sebabnya. Bandung: Pikiran Rakyat</ref><ref>{{Cite web |url=http://www.cirebonpos.com/menggali-bahasa-cirebon-asli-meski-masih-diperdebatkan/ |title=Cirebon Pos - Menggali Bahasa Cirebon Asli, Meski Masih Diperdebatkan (edisi 2015) |access-date=2017-06-16 |archive-date=2017-12-01 |archive-url=https://web.archive.org/web/20171201042851/http://www.cirebonpos.com/menggali-bahasa-cirebon-asli-meski-masih-diperdebatkan/ |dead-url=yes }}</ref> Ketua '''''Lembaga Basa lan Sastra Cirebon''''' Nurdin M. Noer mengatakan, bahasa Cirebon adalah persilangan bahasa Jawa dan sebagian kecil kosakata Sunda. Meskipun dalam percakapan orang Cirebon masih bisa memahami banyak kosakata bahasa Jawa lainnya (Bahasa Jawa Umum), dia mengatakan kosakata bahasa Cirebon terus berkembang tidak hanya ”mengandalkan” kosakata dari bahasa Jawa maupun Sunda.
::”Selain itu, bahasa Cirebon sudah punya banyak dialek. Contohnya saja dialek Plered, Jaware, dan Dermayon,” ujarnya.