Cetbang: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Verosaurus (bicara | kontrib) kTidak ada ringkasan suntingan |
Verosaurus (bicara | kontrib) |
||
Baris 39:
[[Berkas:Warship of Madura.jpg|jmpl|Sebuah [[Ghali (kapal)|ghali]] atau lancaran dari Madura, dengan setidaknya 4 buah cetbang.]]Pada masa memudarnya kekuasaan Majapahit, terutama setelah [[Perang Paregreg|perang paregreg]] (1404-1406),<ref>{{Cite book|title=Arya Wiraraja dan Lamajang Tigang Juru: Menafsir Ulang Sejarah Majapahit Timur|last=Hidayat|first=Mansur|publisher=Pustaka Larasan|year=2013|isbn=|location=Denpasar|pages=}}</ref>{{Rp|174-175}} banyak dari ahli meriam perunggu yang tidak puas dengan kondisi di kerajaan di Jawa yang lari ke [[Brunei Darussalam|Brunei]], [[Sumatra]], [[Semenanjung Malaya]] dan [[kepulauan Filipina]], yang menyebabkan meluasnya penggunaan meriam cetbang. Terutama pada kapal dagang untuk perlindungan dari bajak laut, terutama di [[Selat Makassar]].<ref name=":2" /><ref name="Thomas Stamford Raffles 1965" /> Menurut catatan Portugis yang datang ke Malaka pada abad ke-16, telah terdapat perkampungan besar dari pedagang Jawa yang diketuai oleh seorang kepala kampung. Orang-orang Jawa di Malaka juga membuat meriam sendiri secara swadaya, dimana meriam pada saat itu sama bergunanya dengan layar pada kapal dagang.<ref>Furnivall, J.S (2010). ''[https://books.google.co.id/books?id=qiARYzj_QL8C&dq= Netherlands India: A Study of Plural Economy]''. Cambridge University Press. Halaman 9: "''when Portuguese first came to Malacca they noticed a large colony of Javanese merchants under its own headman; the Javanese even founded their own cannon, which then, and for long after, were as necessary to merchant ships as sails''."</ref>
[[João de Barros|De Barros]] and [[:en:Manuel_de_Faria_e_Sousa|Faria e Sousa]] menyebutkan bahwa saat [[Perebutan Malaka (1511)|jatuhnya kesultanan Malaka]] (1511), Albuquerque merebut 3.000 dari 8.000 artileri. Di antaranya, 2.000 terbuat dari kuningan dan sisanya dari besi, dalam gaya meriam ''
Perlu dicatat bahwa, meskipun memiliki banyak artileri dan senjata api, senjata [[Kesultanan Melaka|kesultanan Malaka]] umumnya dan sebagian besarnya dibeli dari orang Jawa dan Gujarat, di mana orang Jawa dan Gujarat bertugas sebagai operator senjata. Pada awal abad ke-16, sebelum kedatangan Portugis, orang Melayu adalah orang-orang tanpa senjata bubuk mesiu. ''[[Sejarah Melayu]]'' menyebutkan bahwa pada tahun 1509 mereka tidak mengerti "mengapa peluru membunuh", menunjukkan ketidakbiasaan mereka menggunakan senjata api dalam pertempuran, jika tidak dalam upacara.<ref>Charney, Michael (2012). Iberians and Southeast Asians at War: the Violent First Encounter at Melaka in 1511 and After. Di ''Waffen Wissen Wandel: Anpassung und Lernen in transkulturellen Erstkonflikten''. Hamburger Edition.</ref>{{Rp|3}} Sebagaimana dicatat ''Sejarah Melayu'':<blockquote>''Setelah datang ke Melaka, maka bertemu, ditembaknya dengan meriam. Maka segala orang Melaka pun hairan, terkejut mendengar bunyi meriam itu. Katanya, "Bunyi apa ini, seperti guruh ini?". Maka meriam itu pun datanglah mengenai orang Melaka, ada yang putus lehernya, ada yang putus tangannya, ada yang panggal pahanya. Maka bertambahlah hairannya orang Melaka melihat fi'il bedil itu. Katanya: "Apa namanya senjata yang bulat itu maka dengan tajamnya maka ia membunuh?" <ref>Kheng, Cheah Boon (1998). ''Sejarah Melayu The Malay Annals MS RAFFLES No. 18 Edisi Rumi Baru/New Romanised Edition''. Academic Art & Printing Services Sdn. Bhd.</ref>{{Rp|254-255}}''</blockquote>Meriam cetbang Majapahit tetap digunakan dan dilakukan improvisasi pada zaman [[Kesultanan Demak]], terutama pada [[invasi Kerajaan Demak ke Malaka]] (1513). Bahan baku besi untuk pembuatan meriam jawa tersebut diimpor dari daerah [[Provinsi Khorasan|Khurasan]] di Persia utara, terkenal dengan sebutan ''wesi kurasani''.<ref name=":4">{{Cite web|last=Anonymous|first=|date=2020|title=Cetbang, Teknologi Senjata Api Andalan Majapahit|url=https://1001indonesia.net/cetbang-teknologi-senjata-api-andalan-majapahit/?__cf_chl_jschl_tk__=de99139c4e7b73c4829ff10ef1415757cc4b2ff5-1584884077-0-Ad9PCvUMxHWnQtRVRnsFTVdW0FmIQKnYO727Al5pWjEVh4fkG4tSXfgUSGNDabAasQldm9zxkq5SIp3l2aJ7P0PyRQNpwmi-zfZWRYbJ21Lf86vUrmaxjQQmo-34_kjlF7zPE0yhT7t2EeJ2Hc6QxZk5ExJJF2LiQtBlhtaOZVHlmnR38fShbHabpotL9P9mtD5U8mj0Mu52QpL7K6jFmXxpP1cTA3KzCBvMxFFFilw75UwbPgcAjibB0kOOdx617xZOJxs9iXWtyw5D8sDZh765HhXg-eSdtlLZFVJe1yPMGx8QmfycDhPIchHkqi3lVUOeq_Fq0htxIvzYFq3y2Nc|url-status=live|archive-url=|archive-date=|access-date=22 March 2020|website=1001 Indonesia}}</ref> Saat [[Portugal|Portugis]] datang ke wilayah Nusantara, mereka menyebutnya sebagai ''
=== Masa kolonial (1600-1945) ===
|