Suku Palembang: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Mbis Saravon (bicara | kontrib)
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
Mbis Saravon (bicara | kontrib)
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
Baris 66:
 
== Kebudayaan ==
Budaya etnis Palembang merupakan salah satu kebudayaan tua yang ada di Indonesia, utamanya dalam kawasan Sumatra Selatan.
Kalau bicara kota dengan pendapatan perkapita paling tinggi di [[Indonesia]], maka semua akan tertuju pada kota Palembang. Kota Palembang merupakan salah satu kota di provinsi [[Sumatra Selatan]] sekaligus ibu kotanya. Lokasinya di tepi [[Sungai Musi]].
 
===Pakaian Adat===
Dari 1,2 juta penduduk kota Palembang, 40-50% adalah suku Palembang. Suku Palembang dibagi dalam dua kelompok, yaitu [[Wong Jeroo]] dan [[Wong Jabo]]. Wong Jeroo merupakan keturunan bangsawan/hartawan dan sedikit lebih rendah dari orang-orang istana dari kerajaan zaman dulu yang berpusat di Palembang. Sementara Wong Jabo adalah rakyat biasa.
[[File:Aesan Gede Songket Palembang.jpg|thumb|250px|right|''Aesan Gede'' merupakan salah satu pakaian adat Palembang yang paling tersohor]]
 
*'''''Aesan'''''
Beberapa kalangan berpendapat bahwa suku Palembang merupakan hasil dari peleburan bangsa [[Melayu]], [[Arab]], [[Tionghoa]], suku [[Jawa]] dan beberapa kelompok-kelompok suku lain disekitarnya.
[[File:COLLECTIE TROPENMUSEUM Een bruidspaar uit Palembang en Banjuasin Zuid-Sumatra TMnr 10002986.jpg|thumb|280px|right|Pasangan pribumi Palembang mengenakan pakaian adat Palembang yang bernama ''Aesan'', {{circa}} 1850an-1900an]]
 
''Aesan'' adalah pakaian adat etnis pribumi Palembang. ''Aesan'' memiliki beberapa macam jenis, yang paling populer adalah ''Aesan Gede'' dan ''Aesan Paksangko'' {{aka}} ''Aesan Pasangkong''. Dahulu, ''Aesan'' hanya dikenakan oleh para bangsawan atau anggota keluarga kerajaan Palembang (''Wong Jero/Wong Jeroo''), namun pada masa kini masyarakat umum Palembang (''Wong Jabo'') juga dapat mengenakannya sebagai simbol budaya etnis Palembang. ''Aesan'' juga kerap dikenakan pada acara-acara adat budaya etnis Palembang, termasuk juga upacara pernikahan adat Palembang. Pada tahun 2021, ''Aesan'' secara resmi disahkan sebagai salah satu [[Warisan Budaya Takbenda Indonesia|Warisan Budaya Takbenda]] dalam aspek pakaian adat etnis pribumi oleh [[Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia]].<ref>{{Cite web|title=Aesan|url=https://warisanbudaya.kemdikbud.go.id/?cari=Aesan&provinsi=&domain=|access-date=5 February 2022|work=Cultural Heritage, Ministry of Education and Culture of Indonesia}}</ref>
Banyak orang Palembang menjadi pegawai pemerintahan. Namun ada pula yang bekerja sebagai pedagang di pasar, buruh, nelayan, guru, atau sebagai pengrajin kerajinan tangan Luasnya ladang minyak di Palembang menjadi kekayaan tersendiri kota Palembang.
 
Tradisi yang telah mengakar dalam budaya suku Palembang dan telah dijalankan selama beberapa abad sebagai pedagang, ialah sebagian kecil pedagang menjajakan dagangannya di atas permukaan air sungai Musi dengan menggunakan perahu. Selain menjadi pedagang, orang Palembang juga banyak yang berhasil menduduki sektor penting di pemerintahan Sumatra Selatan, dan juga tidak sedikit yang berhasil di perantauan dalam segala bidang, termasuk menjadi pejabat pemerintahan Indonesia dan beberapa sukses menjadi artis, sedangkan yang lain juga banyak bekerja di sektor swasta dan lain-lain.
 
Banyak orang Palembang yang masih tinggal di rumah yang didirikan di atas air. Rumah limas menjadi model arsitektur rumah khas Palembang yang kebanyakan didirikan di atas panggung di atas air untuk melindungi dari banjir.
 
Suami atau ayah berfungsi sebagai pelindung rumah tangga dengan tugas pokok mencari nafkah dalam sistem kekeluargaan suku Palembang. Sedangkan istri bertanggung jawab menjaga ketertiban dan keharmonisan rumah tangga. Keberhasilan seorang istri ditentukan oleh ungkapan para suami yang berkata “rumah tanggaku adalah surgaku”. Sebuah keluarga lebih mengharapkan anak laki-laki daripada anak perempuan. Para kakek-kakek dari kedua belah pihak menganggap cucu lelaki sebagai jaminan dan bakal negeri (memperkuat kekuatan mereka) dan negakke jurai (jaminan sebagai penerus garis keturunan mereka).
 
[[Islam]] menjadi agama yang dianut sebagaina besar orang Palembang. ''Sondok piyogo'' atau dalam bahasa Indonesia berarti “Adat dipangku, syari'at dijunjung” merupakan semboyan yang dipegang teguh oleh suku Palembang. Semboyan tersebut bermakna bahwa meskipun mereka sudah mengecap pendidikan tinggi, mereka tetap mempertahankan adat kebiasaan suku Palembang.
 
Lapangan pekerjaan merupakan masalah sosial suku Palembang. Karena pengangguran menjadi masalah bagi orang Palembang. Orang Palembang dikenal sebagai orang yang sulit atau bahkan tidak mau melakukan pekerjaan kasar. Modernisasi merupakan momok bagi suku Palembang di mana kebudayaan mereka akan mengalami perubahan hingga kemerosotan.
 
Dalam kesehariannya, suku Palembang berbicara dalam bahasa Melayu Palembang. Bahasa Melayu Palembang sendiri merupakan bagian atau varian dari bahasa Melayu. Bahasa Melayu Palembang menggunakan dialek “o” pada akhir setiap kata. Inilah yang membedakan bahasa Melayu Riau dan Melayu Malaysia dengan bahasa Melayu Palembang.<ref>{{Cite web |url=http://kebudayaanindonesia.net/id/culture/978/suku-palembang |title=Kebudayaan Kota Palembang |access-date=2014-04-11 |archive-date=2014-04-13 |archive-url=https://web.archive.org/web/20140413140414/http://kebudayaanindonesia.net/id/culture/978/suku-melayu-palembang |dead-url=yes }}</ref>
 
== Referensi ==