Anis bin Alwi al-Habsyi: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler |
Tidak ada ringkasan suntingan Tag: menambah alamat surel di artikel Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler |
||
Baris 81:
'''Habib Anis bin Alwi al-Habsyi''' ({{lahirmati|[[Garut]], [[Jawa Barat]]|5|5|1928|[[Surakarta]], [[Jawa Tengah]]|6|11|2006}}) adalah seorang [[ulama]] [[Indonesia]] keturunan Ulama besar Asal [[Hadramaut]] yaitu Al Imam Al Arifbillah Al Allamah Al Qutb Al Habib [[Ali bin Muhammad bin Husein Al Habsyi]], pengarang Maulid Habsyi. Sehingga beliau dikenal di kalangan masyarakat kota [[Solo]] maupun [[Indonesia]].
Peran Habib Anis bin Alwi al Habsyi Peneguh Thariqah Alawiyin di Surakarta Oleh: Aji Setiawan ajisetiawanst@gmail.com Cipawon 6/1, Bukateja Purbalingga-Jawa Tengah 53382 ABSTRAKSI
▲Habib Anis bin Alwi al Habsyi Peneguh Thariqah Alawiyin di Surakarta ABSTRAKSI Kiprah Habib Anis bin Alwi al Habsyi dalam dakwah Islam di tengah gempuran pembaharuan Islam di Surakarta pada tahun 1953 hingga 2006. Permasalahan utama penelitian ini adalah ajaran Habib Anis bin Alwi al Habsyi dalam melestarikan ajaran Islam di Surakarta pada tahun 1953 hingga 2006. Pertanyaan pokok studi ini adalah bagaimana ajaran Habib Anis bin Alwi al Habsyi, serta peran dan pengaruhnya terhadap masyarakat luas, khususnya masyarakat Surakarta. Jawaban atas pertanyaan dikaji dari sumber primer dan skunder seperti sumber lisan, surat kabar, dan beberapa referensi yang relevan. Kesimpulan dari penelitian ini adalah kegiatan Habib Anis selain kegiatan di Masjid seperti pembacaan Maulid Simthud-Durar dan haul Habib Ali Al-Habsyi setiap bulan Maulud, juga ada khataman Bukhari pada bulan Sya’ban, khataman Ar-Ramadhan pada bulan Ramadhan. Sedangkan sehari-hari beliau mengajar di Zawiyah pada tengah hari. Wasiat Habib Anis adalah empat hal yang penting: “Pertama, kalau engkau ingin mengetahui diriku, lihatlah rumahku dan masjidku. Masjid ini tempat aku beribadah mengabdi kepada Allah. Kedua, zawiyah, di situlah aku menggembleng akhlak jama’ah sesuai akhlak Nabi Muhammad SAW. Ketiga, kusediakan buku-buku lengkap di perpustakaan, tempat untuk menuntut ilmu. Dan keempat, aku bangun bangunan megah. Di situ ada pertokoan, karena setiap muslim hendaknya bekerja. Hendaklah ia berusaha untuk mengembangkan dakwah Nabi Muhammad SAW. Gerakan menghidupkan tradisi salaf dengan kitab-kitab standart seperti Shahih Bukhari, Ihya Ulumiddin, Nashoih Diniýah, Kalam Salaf dll yang berpusat di masjid Riyadh bersambut luas tidak hanya jamaah masjid, namun klan (fam) serta jaringan ulama akhirnya berkembang. Lewat keistiqomahan Habib Anis, jaringan ulama lokal Solo Raya terbentuk, bahkan pada era 96 an ada forum remaja masjid militan (Forsmil) yang bergerak dari kalangan remaja masjid. Adanya kontinuitas, istoqomah gerakan yang kukuh dengan tradisi salaf serta penguatan jaringan, tidak hanya lokal (Solo Raya), namun muhibbin (pencinta) habaib yang tersebar luas seluruh Indonesia berdatangan menjadi koneksitas lokal dan menasional, bahkan menyebar luas tidak saja konteks lokal, nasional namun juga go internasional Kata Kunci : Habib, Islam Tradisional, Tradisi Salaf, Maulid, Muhibbin, Pasar Kliwon Solo, Solo Raya
Ayah Habib Anis yakni Habib Alwi bin Ali bin Muhammad bin Husein bin Abdullah bin Syekh bin Abdullah bin Muhammad bin Husein bin Ahmad Shahib Syi’ib bin Muhammad Ash-Shoghir bin Alwy bin Abu Bakar Al-Habsy bin Ali-Al-Faqih bin Ahmad bin Muhammad Assadullah bin Hasan At-Turabi bin Ali bin Muhammad Al-Faqih Al-Muqadam bin Ali bin Muhammad Shahib Marbath bin Ali Khali Qasam bin Alwy bin Muhammad bin Alwy Ba’Alawy bin Ubaidullah bin Ahmad Al-Muhajir bin Isa Ar-Rumi bin Muhammad An-Naqib bin Ali Uraidhi bin Ja’far Shadiq bin Muhammad Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Imam Husein As-Sibthi bin Amirul mukminin Ali Abi Thalib ibin Sayidatina Fatimah Az-Zahra binti Rasulullah SAW.
Sejak kecil, Habib Anis dididik oleh ayah sendiri, juga bersekolah di madrasah Ar-Ribathah, yang juga berada di samping sekolahannya. Pada usia 22 tahun, beliau menikahi Syarifah Syifa binti Thaha Assagaf, setahun kemudian lahirlah Habib Ali.
▲1.1. Latar Belakang Penelitian Habib Anis lahir di Garut Jawa Barat, Indonesia pada tanggal 5 Mei 1928. Ayah beliau adalah Habib Alwi. Sedangkan ibu beliau adalah syarifah Khadijah. Ketika beliau berumur 9 tahun, keluarga beliau pindah ke Solo. Setelah berpindah-pindah rumah di kota Solo, ayah beliau menetap di kampung Gurawan, Pasar Kliwon Solo.1)
▲Ayah Habib Anis yakni Habib Alwi bin Ali bin Muhammad bin Husein bin Abdullah bin Syekh bin Abdullah bin Muhammad bin Husein bin Ahmad Shahib Syi’ib bin Muhammad Ash-Shoghir bin Alwy bin Abu Bakar Al-Habsy bin Ali-Al-Faqih bin Ahmad bin Muhammad Assadullah bin Hasan At-Turabi bin Ali bin Muhammad Al-Faqih Al-Muqadam bin Ali bin Muhammad Shahib Marbath bin Ali Khali Qasam bin Alwy bin Muhammad bin Alwy Ba’Alawy bin Ubaidullah bin Ahmad Al-Muhajir bin Isa Ar-Rumi bin Muhammad An-Naqib bin Ali Uraidhi bin Ja’far Shadiq bin Muhammad Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Imam Husein As-Sibthi bin Amirul mukminin Ali Abi Thalib ibin Sayidatina Fatimah Az-Zahra binti Rasulullah SAW.2)
▲Sejak kecil, Habib Anis dididik oleh ayah sendiri, juga bersekolah di madrasah Ar-Ribathah, yang juga berada di samping sekolahannya. Pada usia 22 tahun, beliau menikahi Syarifah Syifa binti Thaha Assagaf, setahun kemudian lahirlah Habib Ali. 3)
Tepat pada tahun itu juga, beliau menggantikan peran ayah beliau, Habib Alwi yang meninggal di Palembang (Bulan Rabi'ul awal 1373 H / 27 November 1953). Habib Ali bin Alwi Al Habsyi adik beliau menyebut Habib Anis waktu itu seperti “anak muda yang berpakaian tua”.
▲Rumuskan masalah penelitian (research problem) dalam penelitian ini adalah : 1. Membatasi penelitian hanya pada masa muda Habib Anis (1928-1953) 2. Meneliti alur nasab /silsilah jalur keturanan baik dari pihak bapak dan ibu. 3. Mengungkap masa pendidikan dan aktivitas dari Habib Anis sejak kecil hingga masa muda. Problem masalah (problem statement) dari penelitian ini adalah karena menulis orang yang sudah wafat atau dari sumber primer yang bersangkutan. Namun lewat kesaksian kerabat, murid dan orang terdekat almarhum, sosok habib Anis sebagai tokoh penggerak alawiyin, khususnya Solo Raya, problem itu mudah teratasi. Maka fokus Penelitian ini adalah sebagaimana menulis manakib, mencari data dari awal lahir, masa muda, awal berkiprah sampai peran-peran strategis dan akhir hayat dari Habib Anis al Habsyi.
Ada banyak pertanyaan siapa sesungguhnya Habib Anis al Habsyi, Guru Spiritualnya? Jaringan relasi keagamaan tingkat lokal, nasional dan internasional yang dibangun?
B.MASA MUDA Habib Anis bin Alwi al Habsyi
Pada Sewaktu muda, Habib Anis adalah pedagang batik, dan memiliki kios di pasar Klewer Solo. Kios tersebut ditunggui Habib Ali adik beliau. Namun ketika kegiatan di masjid Ar-Riyadh semakin banyak, usaha perdagangan batik dihentikan. Habib Anis duduk tekun sebagai ulama dan Habib Anis adalah Peneguh Tarekat Alawiyyin di Solo Raya.
Kemunculan Tharīqah di dalam dunia Islam, tidak bisa dilepaskan dari kemunculan terminologi-terminologi tasawuf dan kaum sufi itu sendiri. Jika memakai tipologi fikih, maka Tharīqah adalah mazhab-mazhab dari ajaran tasawuf yang merupakan pengejawantahan dari salah satu rukun agama yaitu Ihsan. Dalam sejarah perkembangan Islam, tasawuf dan tarekat mengalami pasang surut. Sebagai bagian dari pelaksanaan syariat, sebenarnya tasawuf sudah ada sejak zaman Rasulullah
Tarekat atau tharīqah sendiri yang merupakan mazhab-mazhab dalam tasawuf adalah sebuah metode yang dikembangkan oleh para ulama dalam menempuh jalan spiritualitas menuju Allah
Akibat lebih berorientasi kepada tujuan-tujuan spiritual, tarekat juga seringkali menjadi kambing hitam dari kemunduran dialektika sosial di kalangan umat Islam. Para pengamal sufi, seringkali lebih asik bercengkrama dengan amalan-amalan seperti sujud, zikir, hidup di kesunyian dan jauh dari hingar bingar matrealistik sehingga tidak jarang malah meniadakan dialektika serta peran sosial disekitarnya. Tentu kita pahami bahwa adanya distorsi dalam pelaksanaan tarekat ini bukanlah hakikat dari ajaran tarekat, sebab ajaran tarekat merupakan ajaran spiritualitas yang menempatkan moralitas, etika, sopan santun pada posisi yang utama, sehingga sangat tidak masuk akal jika seseorang yang mengaku sebagai pengamal tarekat malah meniadakan peran sosialnya di tengah-tengah masyarakat sebab substansi dari moralitas terletak pada keberhadirannya di ruang sosial.
Seorang muslim wajib menempuh jalan spiritualitas, namun bukan berarti dia harus masuk ke dalam sebuah institusi tarekat. Tarekat hanyalah sebuah metode dalam bertasawuf, itu berarti bahwa seseorang bisa saja sudah dikatakan mengamalkan tasawuf walaupun tanpa mengamalkan tarekat tertentu. Dari hal inilah kemudian para sarjana ada yang membedakan antara istilah tharīqah dan tarekat; Tharīqah merupakan metode spiritualitas,
Dalam penelitian ini, secara operasional, penulis merasa perlu membedakan antara istilah tarekat dan tharīqah saat menjelaskan ‘Alawiyyah.
Hal ini dimaksudkan untuk memberikan penegasan karakter antara Tharīqah ‘Alawiyyah yang berbeda dengan tarekat kebanyakan. Beberapa karakter yang menonjol dari tharīqah ini adalah: Pertama, tharīqah ini tidak mengharuskan talqin atau baiat bagi murid baru, sehingga siapa pun dapat langsung mengamalkan tarekat ini tanpa harus berguru kepada mursyid. Kedua, selain berintikan keharusan menghiasi diri dengan akhlak mulia, tarekat ini menekankan amalan yang tergolong cukup ringan, yakni berupa himpunan wirid dan dzikir yang dikenal dengan wirdu al-Latfhīf dan
Ada yang berpendapat bahwa sementara tarekat lain biasanya cendrung melibatkan riyādhah-riyādhah (latihan-latihan) fisik dan kezuhudan yang ketat, Tharīqah ‘Alawiyyah hanya menekankan segi-segi amaliah dan akhlak.
Ketiga, posisinya yang unik berhadapan dengan kontroversi tasawuf falsafi, yakni menjaga jarak dan tidak mau berurusan dengannya seraya menjaga sikap simpati terhadapnya.
Kebanyakan para Habaib ini , termasuk Habib Anis bin Alwi al Habsyi menempuh jalan Thariqah Alawiyyah. Thariqah As-Sadah Al-Ba’Alawi) adalah suatu tarekat sufi Islam Sunni yang terkenal, yang didirikan oleh Imam Muhammad bin Ali Ba’alawi, bergelar Al-Faqih Al-Muqaddam (lahir di Tarim, Yaman, 574 H/
Pertama ia mengambilnya dari jejak leluhurnya yakni lewat ayah, kakek dan terus bersambung sampai Rasulullah SAW. Jalur yang kedua ia mengambil dari ulama sufi, yakni Syaikh Abu Madyan Syu’aib dimana sanad mata rantai keilmuannya juga akhirnya sambung sinambung sampai Rasulullah SAW (mu'tabar). Di Kemudian hari, keluarga Ba’alawi ini sebagian ada masuk ke wilayah Nusantara seiring gelombang penyebaran Islam ke bumi Nusantara. Apalagi saat itu, Nusantara menjadi objek kunjungan dagang, melalui Bandar Malaka. C. LELUHUR HABIB ANIS Habib Anis bin Alwi al Habsyi terhitung masih cucu dari Habib Ali bin Muhammad Husain al Habsyi (Shohibul Maulid Simthud Durar). Habib Anis berguru kepada Habib Alwi bin Ali bin Muhammad Husein al Habsyi (ayanda).
Habib Alwi pergi ke Jawa dari Yaman, ditemani Salmin Douman,
Pertama kali Habib Alwi tinggal di Betawi beberapa saat. Kemudian beliau ke Garut, Jawa Barat, menikah lagi. Dari wanita ini lahir Habib Anis dan dua adik perempuan. Lalu, beliau pindah ke Semarang, Jawa Tengah. Disana beliau menikah lagi, dianugerahi banyak anak, dan yang sekarang masih hidup adalah Habib Abdullah dan Fathimah.
Selanjutnya beliau pindah lagi ke Jatiwangi, Jawa Barat, dan menikah lagi dengan wanita setempat. Dari perkawinan itu, beliau memilki enam anak, tiga lelaki dan tiga perempuan. Di antaranya adalah Habib Ali bin Alwi Al-Habsyi serta Habib Fadhil bin Alwi yang meninggal pada akhir Agustus 2006.
Akhirnya, Habib Alwi pindah ke Solo, Jawa Tengah. Pertama kali, Habib Alwi sekeluarga tinggal di Kampung Gading, di tempat seorang raden dari Kasunan Surakarta. Kemudian beliau mendapatkan tanah wakaf dari Habib Muhammad Al-Aydrus ( kakek Habib Musthafa bin Abdullah Al-Aydrus, Pemimpim Majlis Dzikir Ratib
Wakaf itu dengan ketentuan : didirikan masjid, rumah, dan halaman di antara masjid dan rumah. Masjid tersebut didirikan pada tahun 1354 H / 1934 M. Habib Ja'far Syaikhan Assegaf mencatat tahun selesainya pembangunan Masjid Riyadh itu dengan sebuah ayat 14 surah Shaf ( 61 ) di dalam al-Qur'an, yang huruf-hurufnya berjumlah 1354. ayat
Sementara rumah di Gurawan No.6 itu lebih dahulu berdiri dan halaman yang ada kini disambung dengan masjid dan rumah menjadi ruang Zawiyah ( pesantren ) dan sering digunakan untuk kegiatan haul, Maulid, dan berbagai kegiatan keagamaan lainnya. Struktur ruang Zawiyah ini seperti Raudhah, taman surga di dinia, yaitu ruang antara kamar Nabi
Tentang rumah Habib Alwi di Solo, Syekh Umar bin Ahmad Baraja', seorang giru di Gresik, pernah berujar, rumahnya di Solo seakan Ka'bah, yang dikinjungi banyak orang dari berbagai daerah. Ucapan ulama ini benar. Sekarang, setiap hari rumah dan masjidnya
Habib Alwi telah memantapkan kemaqamannya di Solo. Masjid Riyadh dan Zawiyahnya semakin ramai dikunjungi orang. Beliau tidak saja mengajar dan menyelemggarakan kegiatan keagamaan sebagaimana dulu ayahnya di Seiyun, Hadramaut. Namun beliau juga memberikan terapi jiwa kepada orang-orang yang hatinya mendapat penyakit.
Ketika di Surabaya, bertempat di rumah Salim bin Ubaid, diceritakan Habib Alwi didatangi seseorang dari keluarga Chaneman, yang mengeluhkan keadaan penyakit ayahnya dan minta doa' dari Habib Alwi. Beliau mendoa'kan dan menganjurkannya untuk memakai cincin yang terbuat dari tanduk kanan kerbau yang berkulit merah. "Insya Allah. Penyakitmu akan sembuh." Katanya waktu itu.
Tahun 1952, Habib Alwi melawat ke kota-kota di Jawa Timur. Kunjungannya disertai Sayyid Muhammad bin Abdullah Al-Aydrus, Habib Abdul Qadir bin Umar Mulchela ( ayah Habib Husein Mulachela ), Syekh Hadi bin Muhammad Makarim, Ahmad bin Abdul Deqil dan Habib Abdul Qadir bin Husein Assegaf ( ayah Habib
Perjalanan rombongan Habib Alwi ke Jawa Timur itu berangkat tahun 1952. tujuan utama perjalanan tersebut adalah mengunjungi Habib Abu Bakar bin Muhammad Assegaf ( 1285-1376 H / 1865-1956 M ) di Gresik. Namun beliau juga bertemu Habib Husein bin Muhammad Al-Haddad ( 1303-1376 H / 1883-1956 M ) di Jombang, Habib Ja'far bin Syeikhan ( 1289-1374 H / 1878-1954 M ) di Pasuruan dan ulama lainnya.
Setahun setelah kepergiannya ke Jawa Timur, pada tahun 1953 Habib Alwi pergi ke kota Palembang untuk menghadiri pernikahan kerabatnya. Namun, di kota itu, beliau menderita sakit beberapa saat. Seperti tahu bahwa saat kematiannya semakin dekat, beliau memanggil Habib Anis, anak lelaki tertua yang berada di Solo. Dalam pertemuan itu beliau menyerahkan jubahnya dan berwasiat untuk meneruskan kepemimpinannya di Masjid dan Zawiyah Riyadh di Solo. Habib Anis, yang kala itu berusia 23 tahun, dan baru berputra satu orang, yaitu Habib Husein, harus mengikuti amanah ayahnya.
Akhirnya Habib Alwi meninggal pada bulan Rabi'ul
Namun ada masalah dengan soal pemakaman, Habib Alwi berwasiat supaya dimakamkan di sebelah selatan Masjid Riyadh Solo.sedang waktu itu tidak ada penerbangan komersil dari Palembang ke Solo. Karena itulah, pihak keluarga menghubungi AURI untuk memberikan fasilitas penerbangan pesawat buat membawa jenazah Habib Alwi ke Solo. Ternyata banyak murid Habib Alwi yang bertugas di Angkatan Udara, sehingga beliau mendapatkan fasilitas angkutan udara. Karena itu jenazah disholatkan di tiga tempat : Palembang, Jakarta dan Solo. (Al-Kisah No.23 / Tahun IV / 6-19 November 2006).
Lepas kemangkatan Habib Alwi, Habib Anis melanjutkan estafeta dakwah di Kota Solo. Di kalangan Habaib selain dipercaya memperoleh sanad kelimuan dan thariqah melalui jalur nasab (keturunan), atau marga. Mereka juga berburu sanad (mata rantai keilmuan) ke ulama (sanad 'ilm) dan habaib yang lebih senior dan berbobot baik di dalam negeri maupun luar negeri. Pentingnya mata rantai keilmuan (sanad
▲Di kalangan Habaib selain dipercaya memperoleh sanad kelimuan dan thariqah melalui jalur nasab (keturunan), atau marga. Mereka juga berburu sanad (mata rantai keilmuan) ke ulama dan habaib yang lebih senior dan berbobot baik di dalam negeri maupun luar negeri. Pentingnya mata rantai keilmuan (sanad ilm’) sebagai mana ajaran tarekat As-Sadah Al-Ba’Alawi bila ditinjau berdasarkan mazhab fikihnya adalah bermazhab As-Syafi’iyah. Sedangkan bila ditinjau dari mazhab akidahnya, maka bermazhab As-Sunni Al-Asy’ariyyah.
Pengajaran keilmuan berdasarkan aturan tarekat (manhaj) As-Sadah Al-Ba’alawi ialah mengajarkan berbagai ilmu-ilmu keislaman, yang kini telah berkembang sepanjang sejarahnya dan menjadi bebagai cabang ilmu keislaman. Berbagai ma’had dan rubath tarekat ini, setelah tahun-tahun menjalankan pengajarannya secara terus-menerus sampai dengan hari ini, telah membuat cara-cara yang sistematis dalam memberikan pengajaran ilmu-ilmu tersebut, yang selain itu juga mengajarkan mengenai pentingnya pendidikan melalui suri tauladan (tarbiyyah fi tazkiyah).
Tarekat Alawiyyah adalah suatu tarekat yang ditempuh oleh para salafus sholeh. Dalam tarekat ini, mereka mengajarkan Al-Kitab Al-Qur’an dan As-Sunnah kepada masyarakat, dan sekaligus memberikan suri tauladan dalam pengamalan ilmu dengan keluhuran akhlak dan kesungguhan hati dalam menjalankan syariah Rasullullah SAW.
Mereka menerangkan dengan terinci, bahwa tarekat As-Saadah Bani Alawy ini diwariskan secara turun temurun oleh leluhur (salaf) mereka : dari kakek kepada kepada ayah, kemudian kepada anak-anak dan cucu-cucunya. Demikian seterusnya mereka menyampaikan tarekat ini kepada anak cucu mereka sampai saat ini. Oleh karenanya, tarekat ini dikenal sebagai tarekat yang langgeng sebab penyampaiannya dilakukan secara ikhlas dan dari hati ke hati.
Dari situlah dapat diketahui, bahwasanya tarekat ini berjalan di atas rel Al-Kitab dan As-Sunnah yang diridhoi Allah dan Rasul-Nya. Jelasnya, Tarekat Alawiyyah ini menitik-beratkan pada keseimbangan antara ibadah mahdhah, yaitu muamalah dengan Khaliq, dengan ibadah ghoiru mahdhah, yakni muamalah dengan sesama manusia yang dikuatkan dengan adanya majlis-majlis ta’lim yang mengajarkan ilmu dan adab serta majlis-majlis dzikir dan adab. Dengan kata lain, tarekat ini mencakup hubungan vertikal (hubungan makhluk dengan Khaliqnya) dan hubungan horizontal (antara sesama manusia).
Selain itu, tarekat ini mengajarkan kepada kita untuk bermujahadah (bersungguh-sungguh) dalam menuntut ilmu guna menegakkan agama Allah (Al-Islam) di muka bumi. Sebagaimana diceritakan, bahwa sebagian dari As-Saadah Bani Alawy pergi ke tempat-tempat yang jauh untuk belajar ilmu dan akhlak dari para ulama, sehingga tidak sedikit dari mereka yang menjadi ulama besar dan panutan umat di zamannya. Banyak pula dari mereka yang mengorbankan jiwa dan raga untuk berdakwah di jalan Allah, mengajarkan ilmu syariat dan bidang ilmu agama lainnya dengan penuh kesabaran, baik di kota maupun di pelosok pedesaan. Berkat berpedoman pada Al-Qur’an dan As-Sunnah, disertai kesungguhan dan keluhuran akhlak dari para pendiri dan penerusnya, tarekat ini mampu mengatasi tantangan zaman dan tetap eksis sampai saat ini.
Demikian itulah jalan lurus (shirôthol mustaqim) yang lebih tipis dari sehelai rambut. Ilmu itu tidak cukup disampaikan secara umum, bahkan setiap bagian darinya perlu didefinisikan secara khusus. Demikian itulah ilmu tasawuf, ilmu yang oleh kaum sufi digunakan untuk berjalan menuju Allah Ta’ala. Dhohir jalan kaum sufi adalah ilmu dan amal, sedangkan batinnya adalah kesungguhan (sidq) dalam bertawajjuh kepada Allah Ta’ala dengan mengamalkan segala sesuatu yang diridhoi-Nya dengan cara yang diridhoi-Nya. Jalan ini menghimpun semua akhlak luhur dan mulia, mencegah dari semua sifat hina dan tercela. Puncaknya memperoleh kedekatan dengan Allah dan fath. Jalan ini (mengajarkan seseorang) untuk bersifat (dengan sifat-sifat mulia) dan beramal saleh, serta mewujudkan tahqiq, asrôr, maqômât dan ahwâl. Jalan ini diterima oleh orang-orang yang saleh dari kaum sholihin dengan pengamalan, dzauq dan perbuatan, sesuai fath, kemurahan dan karunia yang diberikan Allah SWT.
Membahas serta menganalisa Tharīqah ‘Alawiyyah ini khususnya menentukan masyarakat
Setelah terjadinya gelombang pelajar Indonesia yang melanjutkan belajar agama di Tarim, Yaman seperti di Darul Mushtofa dibawah asuhan Habib Umar bin Hafidz dan Rubat dibawah asuhan Habib Salim Syatiri pada kisaran awal tahun 90-an, menjadikan proses identifikasi Tharīqah ‘Alawiyyah kembali menguat. Hadirnya majelis-majelis taklim di Surakarta dan sekitarnya yang diasuh oleh para Habāib yang notabene merupakan pengamal Tharīqah ‘Alawiyyah yang juga merupakan lulusan dari Yaman, lebih menguatkan proses transmisi jaringan keulamaan Tharīqah ‘Alawiyyah di Surakarta dan Indonesia. Pada tahun 1993,
Dalam masyarakat Solo, Habib Anis dikenal bergaul lintas sektoral dan lintas agama. Dan beliau netral dalam dunia politik.
Dalam sehari-hari Habib Anis sangat santun dan berbicara dengan bahasa Jawa halus kepada orang Jawa, berbicara bahasa
Penampilan beliau rapi, senyumnya manis menawan, karena beliau memang sumeh (murah senyum) dan memiliki tahi lalat di dagu kanannya. Beberapa kalangan menyebutnya The
Habib Anis sangat menghormati tamu, bahkan tamu tersebut merupakan doping semangat hidup beliau. Beliau tidak membeda-bedakan apahkah tamu tersebut berpangakat atau tidak, semua dijamunya dengan layak. Semua diperlakukan dengan hormat.
D. TEGUH PADA TRADISI
▲Uraian kajian literatur yang memberikan kontribusi terhadap pemahaman para pembaca tentang topik penelitian yang akan diteliti dan untuk menerangkan kerangka teori yang digunakan dalam studi. Ajaran pokok yang digerakan oleh Habib Anis adalah ajaran gerakan ulama yang berusaha menjaga, memperbaiki, memberikan pelayanan kepada umat. Gerakan tersebut dengan menyebut sebagai gerakan memperkuat dan melindungi akidah warga alawiyin dengan cara dan praktik Ahlussunah wal Jama’ah.
Cara berpikirnya adalah dinamisasi agar gerakan alawiyin tidak jumud, statis pada teks-teks saja, tidak statis pada ibarat-ibarat saja, tapi berpikir dinamis dan kontekstual, tapi tidak liberal. Gerakan yang kedua adalah amaliyah, yaitu menghidupkan amaliyah-amaliyah thoriqoh alawiyin. Amaliyah tersebut adalah praktik yang bersumber dari ajaran Ahlussunah wal Jama’ah.
Apa yang dilakukan Habib Anis al Habsyi adalah melestarikan ajaran leuhur alawiyin yang sarat dengan muatan faham Ahlus Sunnah Wal Jamaah. Istilah Aswaja (Ahlussunnah Waljama’ah – ahl as-sunnah wa al-jama’ah) bagi umat Islam pada umumnya dan terutama di Indonesia khususnya, bukanlah istilah baru. Sekalipun demikian, tidak jarang istilah ini dipahami secara berbeda, bahkan menimbulkan kekeliruan yang cukup fatal. Di sini, paling kurang istilah Aswaja dipahami pada dua pemahaman (verstehen).
Pertama, dalam kaca mata sejarah Islam, istilah ini merujuk pada munculnya wacana tandingan (counter-discours) terhadap membiaknya paham Muktazilah· di dunia Islam, terutama pada masa Abbasiyah. Pada akhir abad ke-3 Hijriyah, hampir bersamaan dengan masa berkuasanya Khalifah Al-Mutawakkil, muncul dua orang tokoh yang menonjol waktu itu, yaitu Abû Hasan al-‘Asy’âri (260 H – + 330 H) di Bashrah dan Abû Manshûr al-Maturidi di Samarkand. Meskipun pada taraf tertentu pemikiran kedua tokoh ini sedikit ditemukan perbedaan, namun mereka secara bersama-sama bersatu dalam membendung kuatnya gejala hegemoni paham Muktazilah yang dilancarkan para tokoh Mu’tazilah dan pengikutnya (Prof. DR. Muhammad Abu Zahrah, 1996: 189).
Dari kedua pemikir-ulama ini, selanjutnya lahir kecenderungan baru yang banyak mewarnai pemikiran umat Islam waktu itu. Bahkan, hal ini menjadi maistream (arus utama) pemikiran-keagamaan di dunia Islam yang kemudian mengkristal menjadi sebuah gelombang pemikiran-keagamaan—sering dinisbatkan pada sebutan ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah, yang kemudian populer disebut Aswaja.
Pada dasarnya kerangka pemikiran diturunkan dari (beberapa) konsep/teori yang relevan dengan masalah yang diteliti, sehingga bisa memunculkan asumsi-asumsi dan/atau proposisi, yang dapat ditampilkan dalam bentuk bagan alur pemikiran, yang kemudian kalau mungkin dapat dirumuskan ke dalam hipotesis operasional atau hipotesis yang dapat diuji.
Istilah Aswaja populer di kalangan umat Islam, terutama didasarkan pada sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Daud, At-Tirmidzi, dan Ibn Majah dari Abu Hurairah yang menegaskan bahwa umat Yahudi akan terpecah menjadi 71 golongan, umat Nashrani akan terpecah menjadi 72 golongan dan umat Islam akan terpecah menjadi 73 golongan. Semua golongan tersebut masuk ke dalam neraka, kecuali satu golongan, yaitu orang-orang yang mengikuti Rasulullah dan para sahabatnya”. Dalam pandangan As-Syihâb Al-Khafâjî dalam Nasâm ar-Riyâdh, bahwa satu golongan yang dimaksud (tidak masuk neraka) adalah golongan Ahl as-Sunnah wa al-Jamâ’ah. Pendapat ini dipertegas oleh Al-Hâsyiah Asy-Syanwâni, bahwa yang dimaksud dengan Ahl as-Sunnah wa al-Jamâ’ah adalah pengikut Imam kelompok Abûl Hasan Asy’ari dan para ulama madhab (Imam Hanafi, Imam
Dengan demikian, istilah Aswaja dimaknai sebagai suatu konstruksi pemikiran (pemahaman) dan sekaligus praktek keagamaan (Islam) yang didasarkan pada tradisi (sunnah) Rasulullah, para sahabatnya dan para ulama mazhab, sekalipun yang terakhir ini lebih bersifat sekunder. Dengan lain kata, yang dimaksud dengan Aswaja tidak selalu identik dengan suatu mainstream aliran pemahaman tertentu dalam tradisi pemikiran Islam. Tak pelak, gerakan menghidupkan tradisi salaf dengan kitab-kitab standart seperti Al Qur'an, Shahih Bukhari, Ihya Ulumiddin, Nashoih Diniýah, Kalam Salaf, Majlis Maulid, Majlis Tahlil dan Yasinan dll yang berpusat di
E. BERDAKWAH DENGAN AKHLAK
Menguraikan paradigma/pendekatan/metode yang dipergunakan dalam penelitian. Uraian mencakup, tetapi tidak terbatas pada lingkup masjid saja. Habib Anis juga peduli dengan sekitar masjid. Bahkan untuk menopang ekonomi, berdagang batik dan membuka toko.▼
▲Menguraikan paradigma/pendekatan/metode yang dipergunakan dalam penelitian. Uraian mencakup, tetapi tidak terbatas pada lingkup masjid saja. Habib Anis juga peduli dengan sekitar masjid.Bahkan untuk menopang ekonomi, berdagang batik dan membuka toko.
Seorang tukang becak (Pak Zen) 83 tahun yang sering mangkal di Masjid Ar-Riyadh mengatakan, Habib Anis itu ulama yang loman (pemurah, suka memberi). Ibu Nur Aini penjual warung angkringan depan Masjid Ar-Riyadh menuturkan, “Habib Anis itu bagi saya orangnya sangat sabar, santun, ucapannya halus. Dan tidak peranah menyakiti hati orang lain apalagi membuatnya marah”.
Saat ‘Idul Adha Habib Anis membagi-bagikan daging korban secara merata melalui RT sekitar Masjid Ar-Riyadh dan tidak membedakan Muslim atau non Muslim. Kalau dagingnya sisa, baru diberikan ke daerah lainnya.
Jika ada tetangga beliau atau handai taulan yang meninggal atau sakit, Habib Anis tetap berusaha menyempatkan diri berkunjung atau bersilautrahmi. Tukang becak yang mangkal di depan Masjid Wiropaten tempat Habib Anis melaksanakan shalat jum’at selalu mendapatkan uang sedekah dari beliau. Menjelang hari raya Idul Fitri Habib Anis juga sering memberikan sarung secara cuma-cuma kepada para tetangga, muslim maupun non muslim. “Beri mereka sarung meskipun saat ini mereka belum masuk islam. Insya Allah suatu saat nanti dia akan teringat dan masuk islam.” Demikian salah satu ucapan Habib Anis yang ditirukan Habib Hasan salah seorang puteranya.
Habib Anis sewaktu hayatnya sentiasa mengabdikan dirinya untuk berdakwah menyebarkan ilmu dan menyeru umat kepada mencintai Junjungan Nabi
Dalam majlis-majlis ilmu yang lebih dikenali sebagai rohah, dibacakan kitab-kitab ulama salafus sholeh terdahulu termasuklah kitab-kitab hadits seperti “Jami`ush Shohih” karya Imam al-Bukhari, bahkan pengajian kitab Imam al-Bukhari dijadikan sebagai wiridan di mana setiap tahun dalam bulan Rajab diadakan Khatmil Bukhari,
Peringatan Maulid tahunan di bulan Rabi`ul Awwal dan haul Imam Ali al-Habsyi disambut secara besar-besaran yang dihadiri puluhan ribu umat dan dipenuhi berbagai acara ilmu dan amal taqwa. Sesungguhnya majlis para habaib tidak pernah sunyi dari ilmu dan tadzkirah yang membawa umat kepada ingatkan Allah, ingatkan Rasulullah dan ingatkan akhirat, yang disampaikan dengan penuh ramah – tamah dan bukannya marah-marah. Habib Anis terkenal bukan sahaja kerana ilmu dan amalnya, tetapi juga kerana akhlaknya yang tinggi, lemah lembut dan mulia. Air mukanya jernih, wajahnya berseri-seri dan sentiasa kelihatan ceria. Kebanyakan yang menghadiri majlis-majlis beliau adalah kalangan massa yang dhoif, dan kepada mereka-mereka ini Habib Anis memberikan perhatian yang khusus dan istimewa. Menurut Habib Muhammad bin Husein, semasa hidupnya, Habib Anis mengabdikan untuk berdakwah dan bergelut dalam majelis ilmu. “Beliau punya pengajian setiap harinya saat ba'da dzuhur, kecuali Jumat dan Ahad, di kediaman beliau. Pernah, ketika istri beliau meninggal masyarakat datang untuk
Untuk mengungkap pribadi sosok Habib Anis, Habib Anis sendiri pernah menyampaikan bahwa ada empat hal yang penting: “Pertama, kalau engkau ingin mengetahui diriku, lihatlah rumahku dan masjidku. Masjid ini tempat aku beribadah mengabdi kepada Allah. Kedua,
Habib Ali bin Muhammad bin Husein al Habsyi itu seorang keturunan Rasulullah SAW yang dilahirkan pada 24
▲Bab ini menyajikan hasil penelitian dan pembahasan. Pada praktiknya, hasil dan pembahasan dapat disajikan dalam beberapa bab sesuai kebutuhan. Dalam bab ini akan dibahas mengenai sanad thoriqah dan keilmuan , Kitab Simthud Durar, Peran Habib Anis dan 4.1.Jejaring Keilmuan dan Thoriqah Alawiyin Habib Anis bin Alwi bin Ali Al Habsyi adalah salah satu pelestari dan penjaga ajaran salafus sholih, baik secara keilmuan maupun thariqah Alawiyin pada zamannya (1953-2006) sejak ia ditinggal sang Ayah, yakni Habib Alwi bin Ali Al Habsyi. Habib Anis merintis kemaqamannya sendiri dengan kesabaran dan istiqamah, sehingga besar sampai sekarang. Ada yang sering keliru memaknai Haul Solo, atau Haul Shahibul Maulid Simthud Durar, yakni Haul dan Maulid Habib Ali bin Muhammad Husein Al Habsyi pada setiap minggu ketiga bulan Rabiul Awwal.Sekalipun yang di peringati Haul dan Maulid tidak hanya digelar di Seiwun (Hadramut), Haul dan Maulid Solo adalah puncak kemeriahan dari semua aktivitas kegiatan keagamaan Masjid Riyadh. Menjadi magnet ratusan ribu muhibbin dari berbagai belahan dunia. Awal sejarah maulid Simthud Durar masuk ke Indonesia sendiri sebenarnya justru digelar di Jatiwangi, kemudian di Bogor dan baru di Jakarta.Haul dan maulid Solo digelar oleh Habib Alwi sejak tinggal di Solo dan bersambung ke shohibul Maulid, Habib Anis al Habsyi yakni Habib Ali bin Muhammad Husain al Habsyi.
Beliau seorang anak dari pernikahan al Imam al Arif Billah Habib Muhammad bin Husein AHabsyi dan Hababah Alawiyah binti Husein bin Ahmad Al Hadi Al Jufri. Beliau diberi nama Ali oleh Al Allamah Sayyid Abdullah bin Husein bin Thahir karena dikaitkan dengan Sayyidina Ali Khali Qasam, untuk mengambil berkah darinya. Ketika berusia 7 tahun ia ditinggal oleh ayahnya untuk hijrah ke Mekkah Al Allamah Sayyid Abdullah bin Husein bin Thahir dan habib
▲Habib Ali bin Muhammad bin Husein al Habsyi itu seorang keturunan Rasulullah SAW yang dilahirkan pada 24 syawal 1259 H atau 1839 M di desa Qosam, Hadramaut.
▲Beliau seorang anak dari pernikahan al Imam al Arif Billah Habib Muhammad bin Husein AHabsyi dan Hababah Alawiyah binti Husein bin Ahmad Al Hadi Al Jufri. Beliau diberi nama Ali oleh Al Allamah Sayyid Abdullah bin Husein bin Thahir karena dikaitkan dengan Sayyidina Ali Khali Qasam, untuk mengambil berkah darinya. Ketika berusia 7 tahun ia ditinggal oleh ayahnya untuk hijrah ke Mekkah Al Allamah Sayyid Abdullah bin Husein bin Thahir dan habib ali pun diasuh oleh ibunya yang tetap tinggal di Qasam.
Saat Habib Ali al Habsyi mulai dewasa, dan sudah menguasai berbagai disiplin ilmu, guru-guru beliau mengizinkan untuk menyampaikan dan menyebarluaskan ilmu yang dimilikinya. Beliau mulai menjadi pendakwah dan mengisi pengajian di depan umum, sehingga dengan cepat Habib Ali menjadi pusat perhatian dan dikagumi orang-orang, serta memperoleh tempat terhormat di hati setiap orang. Kepadanya diserahkan kepimpinan tiap majelis ilmu, lembaga pendidikan, serta pertemuan-pertemuan besar yang digelar pada masa itu.
Kitab Maulid Simthud
Namun secara langsung, Habib Ali bin Muhammad Husain Al-Habsyi mengungkap niatnya yang lurus dan meyakini hadirnya Rasulullah SAW di
Sebagai seorang ulama, Habib Anis juga pernah berkeinginan untuk menulis kitab. Namun, hingga akhir hayat beliau belum berkesempatan untuk merealisasikannya. “Belum sempat menulis kitab, hanya berencana. tapi kedahuluan dijemput oleh Allah,” tutur Habib Muhammad.
Dalam salah satu tausiyah, Habib
Ketika kita hadir pada saat pemakaman Habib Anis, jenazah yang diangkat tampak seperti pengantin yang sedang diarak ke pelaminannya yang baru. Bagi Habib Anis, kita melihat semasa hidup berjuang untuk berdakwah di masjid Ar-Riyadh dan kini setelah meninggal menempati Riyadhul Janah, taman-taman surga. Ketika takziyah pada pemakaman Habib Anis kita seolah-olah mengarak pengantin menuju Riyadhul Jannah, taman-taman surga Allah. Inilah tempat yang dijanjikan Allah kepada orang-orang yang beriman, bertaqwa dan shalih. Kita sekarang seperti para sahabat Habib Ali Al-
Kita selama ini hidup bersama Habib Anis, bertemu dalam majlis maulid, berjumpa dalam kesempatan rauhah dan berbagai kesempatan lainnya. Dalam berbagai kesempatan itu kita mendengar penuturan yang lembut dan menentramkan, sehingga sepertinya kita di surga. Dan kita merasakan bahwa kita hidup di dunia yang fana ketika menyaksikan bahwa beliau meninggal dunia. Namun begitu, kenangan beliau tetap terbayang di mata kita, kecintaan beliau tetap menyelimuti kita.
Habib Abdul Qadir bin Ahmad Assagaf yang berada di Jeddah bercerita, “Ayahku Habib Ahmad bin
Begitu juga Almarhum Habib Anis, tidak sedikitpun menyimpang dari yang ditempuh oleh ayah beliau, Habib Alwi. Hal serupa terjadi pada Habib Alwi , yang tetap menapaki jalan yang ditempuh oleh ayah beliau Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi Dan Habib Ali bin Muhammad bin Husain Al-Habsyi sama juga menempu jalan orang tua, guru dan teladan beliau hingga sampai Nabi Muhammad SAW”……
Sedangkan Habib Novel bin Muhammad Alaydrus, murid senior sekaligus cucu menantu Habib Anis mengatakan, maqam tinggi yang dimiliki Habib Anis didapatkan bukan karena berandai-andai atau duduk – duduk saja. Semua itu beliau peroleh setelah bertahun-tahun menanamkan cinta kepada Allah SWT, para shalihin dan kepada kaum muslimin umumnya. Semoga beliau dalam kuburnya melihat kehadiran kita di majlis ini, bahwa kita sebagai anak didiknya meneruskan perjuangan dakwahnya. Dalam Al-Qur’an disebutkan, ‘Dan sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh, kelak Allah Yang Maha Pemurah akan menanamkan dalam hati mereka rasa kasih sayang’. Artinya kepada orang-orang yang beriman dan beramal salih Allah menanamkan kepada makhluk-makhluk rasa kasih sayang kepadanya, cinta kepadanya, sebagaimana disabdakan RasuluLlah SAW dalam hadits yang diriwayatkan imam Bukhari, “Jika Allah mencintai hambanya maka Allah akan memanggil Jibril, menyampaikan bahwa Allah mencintai si Fulan. Mulai saat itu Jibril akan mencintai Fulan, sampai kapanpun. Jibril kemudian memanggil ahli langit untuk menyaksikan bahwa Allah mencintai Fulan. Maka ia memerintahkan mereka semua utuk
Kemurahan hatinya kepada golongan ini sukar ditandingi menjadikan beliau dihormati dan disegani ramai. Sungguh tangan beliau sentiasa di atas dengan memberi, tidak sekali-kali beliau jadikan tangannya di bawah meminta-minta. Inilah antara ketinggian akhlak Habib Anis al-Habsyi. Habib Anis di makamkan di Qurbah Gurawan, Pasar Kliwon
Nama pertama yang disebut merupakan putera kandung Habib Ali. Habib Alwi hijrah ke Indonesia untuk berdakwah, dan pada akhirnya pada tahun 1355 H ia mendirikan sebuah masjid di Surakarta. Masjid tersebut diberi nama sama dengan masjid yang didirikan oleh ayahnya di Hadhramaut, yakni Masjid Riyadh.
Sedangkan dua nama berikutnya, merupakan putera Habib Alwi atau cucu dari Habib Ali Al-Habsyi. Habib Ahmad lahir ketika ayahnya masih di Hadramaut, lain halnya dengan adiknya, Habib Anis yang lahir di Indonesia. Keduanya meneruskan perjuangan para leluhurnya, sebagai dai. Artinya transmisi baik secara nasab, keilmuan, thariqah serta akhlaq ajaran Nabi Muhammad SAW telah paripurna diemban oleh Habib Anis secara utuh, dimana estafeta khalifah Alawiyyin, dengan menduplikasi ajaran salaf baik sang ayah (Habib Alwi), kakek (Habib Ali bin Muhammad Husain al Habsyi) serta ajaran salafuna sholihun yang mu'tabar dan teguh memegang tradisi Ahlus Sunnah Wal Jama'ah.
Selain pada acara haul, ketiga makam tersebut setiap harinya hampir tidak pernah sepi dari peziarah. Bahkan, terkadang datang rombongan bus dari luar daerah. Hal yang tidak jauh berbeda dengan makam para Walisongo.(***)
2. Manakib Salaf, Al-Kisah No.23 / Tahun IV / 6-19 November 2006 3. Habib Anis bin Alwi al Habsyi dan Masyarakat Islam di Surakarta Tahun 1953-2006 4. Empat Konsep Dakwah Habib Anis Solo, Tim Suara Merdeka, Kamis, 18 November 2021
== Referensi ==
|