Gajah-gajahan: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Tag: Pembatalan |
|||
Baris 5:
== Sejarah ==
Seni Gajah - Gajahan bermula pada awal abad ke 15 yang merupakan ambisi raja Majapahit [[Wikramawardhana]] yang memberikan hadiah berupa hewan gajah Jawa ke berbagai kerajaan kerabat yang berada di kalimantan, Idochina hingga Jepang.<ref>kitab paraton</ref>
Pada awalnya kesenian ini tersebar di lingkungan komunitas santri atau daerah seputaran mushola/masjid terutama di daerah-daerah [[Siman, Ponorogo|Siman]], [[Mlarak, Ponorogo|Mlarak]], dan [[Jetis, Ponorogo|Jetis]]. Beberapa pimpinan komunitas gajah-gajahan belum bisa memberi keterangan tentang asal mula kesenian gajah-gajahan ini. Karena dalam komunitas Gajah-gajahan sendiri terdapat beberapa pendapat yang berbeda. Namun hampir dapat dipastikan pada awalnya kesenian ini memang dikembangkan oleh komunitas santri. Gajah-gajahan memang diciptakan bukan sebagai kesenian ritual, tetapi adalah hanya sebagai kesenian untuk menghibur masyarakat. Selain itu juga memiliki fungsi merekatkan persaudaraan antar kalangan masyarakat santri.▼
Gajah yang diberikan ialah hewan gajah dari wilayah [[Kerajaan Wengker|wengker]] yang dibawah naungan demang ri wengker. Gajah wengker memiliki tubuh gemuk tapi tidak terlalu tinggi, berwarna kehitaman dengan telinga yang besar dan berekor panjang yang kini dikenal dengan [[Gajah jawa|Gajah Jawa]].
karena jasa wengker yang menyediakan gajah - gajah tersebut, di bangunlah arca gajah di wengker yang kini berada di kota [[Kabupaten Magetan|Magetan]].
namun ternyata sudah tidak ada gajah sama sekali di wengker, sehingga orang - orang wengker yang awalnya menggunakan gajah saat melakukan berbagai perayaan tidak ada gajah lagi. maka dari itu, dibuatlah replika gajah seperti halnya gajah yang pernah hidup di wengker sebagai objek sarana ritual maupun perayaan.
▲
Kesenian Gajah-gajahan yang dikembangkan kalangan santri saat itu di [[Ponorogo]] memang awal mulanya dilatarbelakangi sebuah perebutan kuasa politik, lewat instrumen kebudayaaan. [[Reog (Ponorogo)|Reog]] yang saat itu telah mendarah daging bagi masyarakat [[Ponorogo]] memang menjadi sarana komunikasi yang efektif bagi rakyat. Maka tak mengherankan jika berbagai kekuatan politik pada tahun [[1950]]-an sampai dengan [[1960]]-an melirik [[Reog (Ponorogo)|Reyog]] sebagai instrumen untuk merebut massa. Berbagai organisasi kebudayaan dari partai-partai politik pun segera dikerahkan untuk berpacu memenangkan kuasa. Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) milik [[PKI]], Lembaga Kesenian Nasional (LKN) milik [[PNI]], Lembaga Seni – Budaya Muslimin Indonesia (Lesbumi) milik [[NU]], dan Himpunan Seniman Budayawan Islam (HSBI) milik [[Masyumi]] adalah lembaga-lembaga kebudayaan dari [[partai politik]] waktu itu yang berlomba merebut dominasi, khususnya dalam memenangkan kuasa dalam [[reyog]].
|