Suku Cirebon: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Rescuing 1 sources and tagging 0 as dead.) #IABot (v2.0.8.6 |
Tidak ada ringkasan suntingan Tag: Pengembalian manual kemungkinan perlu pemeriksaan terjemahan VisualEditor Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler |
||
Baris 1:
{{refimprove}}
{{ethnic group|
|group=
|image={{image array
|perrow = 4
Baris 7:
|height = 70
|text = y
|image1 =
|image2 =
|image3 =
|image4 =
|poptime=1.877.514 jiwa (sensus 2010) <ref name=":0"/>
|population= '''± 2 juta'''
|
|langs=[[Bahasa Cirebon|Bahasa Jawa Cirebon]], [[Bahasa Indonesia]], [[Bahasa Jawa Banyumasan|Bahasa Banyumasan]]
|rels=[[Islam]]
|related= [[
}}
'''Suku Jawa Cirebon''' adalah kelompok etnis yang tersebar di sekitar wilayah [[
Selain itu, Suku Jawa Cirebon tersebar di banyak provinsi-provinsi di Indonesia. Pada sensus penduduk 2010 Suku Jawa Cirebon berjumlah 1.877.514 jiwa, dengan 961.406 laki-laki dan 916.108 perempuan.<ref name=":0">{{Cite web|url=https://sp2010.bps.go.id/files/ebook/kewarganegaraan%20penduduk%20indonesia/index.html|title=Kewarganegaraan, Suku Bangsa, Agama, dan Bahasa Sehari-hari Penduduk Indonesia|last=Na’im|first=Akhsan|date=Oktober 2011|website=Badan Pusat Statistik|access-date=20 Januari 2020}}</ref> Rasionya yaitu sekitar 0,79% dari jumlah penduduk seluruh Indonesia pada tahun 2010 dari semua suku di Indonesia. Provinsi terbanyak yang terdapat suku Cirebon adalah Provinsi Jawa Barat (1.812.842 jiwa), Banten (41.645 jiwa), dan Lampung (8.406 jiwa). Sebanyak 1.425.272 jiwa (75,91%) bermukim di perkotaan dan 452.242 jiwa (25,09%) bermukim di pedesaan.<ref name=":0" /> Masyarakat Suku Cirebon memeluk agama [[Islam]]. Bahasa yang dituturkan oleh orang Cirebon adalah [[Bahasa Jawa]] yang juga ada gabungan beberapa bahasa yakni dari [[Bahasa Sunda|Sunda]], [[Bahasa Arab|Arab]] dan [[Bahasa China|China]] yang mereka sebut sebagai [[Bahasa Cirebon|Bahasa Cirebonan]] atau [[Bahasa Cirebon|Bahasa Jawa Dialek Cirebon]]<ref>{{Cite book|last=T.D.|first=Sudjana|date=2015|url=|title=Kamus Bahasa Cirebon|location=Bandung|publisher=Humaniora|isbn=978-979-9231-38-8|pages=xiv|url-status=live}}</ref>.Mereka juga memiliki dialek Bahasa Sunda tersendiri yang disebut [[Bahasa Sunda Cirebon]].<ref>{{Cite book|last=|first=Abdurrachman dkk.|date=1985|url=https://labbineka.kemdikbud.go.id/files/upload/bbs_ZEKBCRTN_1568726183.pdf|title=Struktur Bahasa Sunda Dialek Cirebon|location=Jakarta|publisher=Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan|isbn=|pages=ix|url-status=live}}</ref>
== Kontroversi ==
=== Sempat ada pengakuan sebagai suku bangsa/etnis tersendiri ===
Pada mulanya keberadaan Etnis atau Orang Cirebon selalu dikaitkan dengan keberadaan Suku Sunda dan Jawa, tetapi kemudian eksistensinya mengarah pada pembentukan budaya tersendiri, mulai dari ragam batik pesisir yang tidak terlalu mengikuti pakem keraton jawa atau biasa disebut batik pedalaman hingga timbulnya tradisi-tradisi bercorak islam sesuai dengan dibangunnya keraton cirebon pada abad ke 15 yang berlandaskan islam 100%. eksistensi dari keberadaan suku atau orang cirebon yang menyebut dirinya bukan suku sunda ataupun suku jawa akhirnya mendapat jawaban dari sensus penduduk tahun 2010 di mana pada sensus penduduk tersebut tersedia kolom khusus bagi Suku bangsa Cirebon, hal ini berarti keberadaan suku bangsa cirebon telah diakui secara nasional sebagai sebuah suku tersendiri, menurut Erna Tresna Prihatin
=== Suku Cirebon sebagai etnisitas tersendiri ===
{{cquote|Indikator itu (Suku Bangsa Cirebon) dilihat dari bahasa daerah yang digunakan warga Cirebon tidak sama seperti bahasa Jawa atau Sunda. Masyarakat Cirebon juga punya identitas khusus yang membuat mereka merasa sebagai suku bangsa sendiri. Penunjuk lainnya yang mencirikan seseorang sebagai suku bangsa Cirebon adalah dari nama-namanya yang tidak seperti orang Jawa ataupun Sunda. Namun, belum ada penelitian lebih lanjut yang bisa menjelaskan tentang karakteristik identik tentang suku bangsa Cirebon. Untuk menelusuri kesukuan seseorang, hal itu bisa dilakukan dengan garis keturunan ayah kandungnya. Selain itu, jika orang itu sudah merasa memiliki jiwa dan spirit daerah itu (daerah suku bangsa cirebon) maka dia berhak merasa sebagai suku yang dimaksud}}
.<ref>Harthana, Timbuktu dan Ignatius Sawabi 2010. "Suku Bangsa Ini Bernama Cirebon". Kompas</ref>
=== Suku Cirebon merupakan sub dari Suku Jawa ===
Pada dasarnya, suku Cirebon dijadikan suku bangsa tersendiri ialah karena politik identitas, bisa dikatakan juga permainan politik pemerintahan daerah provinsi Jawa Barat. Padahal faktanya suku Cirebon merupakan bagian dari Jawa (subkultur) dari suku Jawa, dan Cirebon juga hanya nama kota/tempat asalnya (tempatnya/asal), sukunya ya tetap Jawa tapi sub Cirebon/Jawa Cirebon (untuk membedakan dengan subsuku Jawa lainnya). Hal ini dapat dilihat dari segi kebudayaan, adat-istiadat, kesenian, & bahasa. Bahkan, nenek moyang/leluhur terdahulu juga sebenarnya adalah "Jawa". Cirebon itu unik dan berbeda dari suku Jawa pada umumnya maupun dengan suku lain. Meski begitu, Suku Cirebon menjadi Suku Jawa Lokal (asli) di wilayah provinsi Jawa Barat. Bahkan orang mengenal Cirebon adalah Jawa karena banyaknya perantau dari Cirebon ke daerah lain atau perkotaan-perkotaan besar dan jika ia ditanya ia berasal dari Cirebon dan jika ditanya tentang suku maka ia akan menjawab "Suku Jawa". Hal ini membuat banyak orang mengenal Cirebon adalah Jawa. Tetapi jangan berpikir begitu karena di Cirebon juga terdapat suku Sunda yang populasinya cukup banyak (signifikan) walau menjadi minoritas dan juga merupakan suku asli di Cirebon juga dan menjadi suku mayoritas di provinsi Jawa Barat. Hanya saja dulu orang lebih mengenal Cirebon adalah Sunda karena masuk Jawa Barat, hal ini tidak salah karena suku Sunda juga merupakan suku asli disana. Orang Cirebon kerap menyebut diri mereka sebagai 'wong cerbon' jika di Indramayu sendiri disebut
"Reang Dermayon". Banyak juga yang berpikir jika Cirebon merupakan Suku Jawa-Sunda/Jawa Sunda, hal ini terdengar konyol karena tidak ada suku tsb. Tak ada 2 suku yang berbeda menjadi satu dan disebut namanya secara bersamaan/digabung seperti Jawa-Sunda, Bugis-Makassar, dll. Jika memang campuran dari 2 suku atau lebih maka sebut saja salah satu (kemana lebih condong) atau lebih mirip kemana? Atau bisa juga membuat identitas baru (etnisitas baru yang mandiri) seperti suku Betawi yang juga merupakan campuran dari banyak suku. Lalu ada pula yang menganggap Cirebon itu berbeda alias bukan Jawa bukan Sunda, Cirebon suku Sendiri tetapi akulturasi dari kedua suku tersebut. Ada pula yg menganggap Cirebon ada 2 suku yaitu Jawa dan Sunda, ini baru benar. Karena di Cirebon memang ada 2 suku asli tetapi suku Jawa lah yang menjadi mayoritas disana, itulah mengapa Cirebon itu sangat unik. Orang Cirebon jika saling bertemu jika ditanyakan tentang suku maka akan ditanya bagian mananya? Jawa atau Sundanya? Begitulah kira-kira, sekarang pun orang sudah banyak yang tahu akan hal ini, dan orang juga mulai membuka mata serta pikiran. Mereka sudah banyak yang tau akan hal ini, jelasnya juga jika bertemu orang Cirebon maka akan ditanya bagian Sunda atau Jawanya. Orang Cirebon memang memiliki bahasa yang agak berbeda dengan bahasa Jawa pada umumnya itulah yang membuatnya unik. Jika persentase perbedaan bahasa Jawa rata2 hanya sekitar 1-10% saja, maka Cirebon bisa mempunyai perbedaan hingga 15-30% karena didalamnya juga terdapat beberapa kosakata dari bahasa Sunda, Arab, Tionghoa, dan Belanda. Begitu pula dari segi adat, budaya, kesenian yang juga ada sedikit kemiripan dengan masyarakat Sunda dan agak berbeda pada masyarakat Jawa pada umumnya. Hal ini dikarenakan wilayah geografis yang berdekatan (berbatasan) langsung dengan itu mendatangkan akulturasi/asimilasi yang sudah ada sejak lama maka mempengaruhi kebudayaan, kesenian, serta bahasa Cirebon. Tidak hanya dengan budaya Sunda, kebudayaan, adat serta kesenian dari Arab & Tionghoa juga mempengaruhi Masyarakat Jawa Cirebon, kesenian-kesenian mereka juga sedikit dipengaruhi Belanda-Portugis. Ini perlu dipertegas, agar masyarakat Cirebon tidak melupakan/lupa dengan identitas Sukunya, nenek moyang/leluhurnya, para orang terdahulu, serta bagian suku/asal usul sukunya. Karena hal ini adalah masalah serius, dikarenakan menyangkut jati diri masyarakat Jawa di Cirebon.
== Jumlah Penduduk Suku Jawa Cirebon Berdasarkan Provinsi ==
Berikut merupakan jumlah penduduk Suku Jawa Cirebon di tiap provinsi di Indonesia berdasarkan Sensus Penduduk 2010.<ref name=":0" />
{| class="wikitable"
|+
Baris 180 ⟶ 191:
== Aksara Cacarakan Cirebon ==
Bahasa Jawa Cirebon dalam perjalanannya menggunakan aksara yang dikenal dengan nama Rikasara, Cacarakan Cirebon, aksara Arab Pegon serta aksara [[Jawi|Jawa]].<ref name=uka>Tjandrasasmita, Uka. 2009. Arkeologi Islam Nusantara. Jakarta: Gramedia</ref>
=== Aksara Rikasara Cirebon ===
Baris 201 ⟶ 212:
Cacarakan Cirebon mencapai masa keemasannya pada periodisasi sastra sekitar abad ke 16 (tahun 1500-an) dimana sastra pesisiran berkembang pesat, seiring berpindahnya kekuasaan politik dari Majapahit ke kesultanan-kesultanan Muslim seperti Cirebon dan Demak pasca banyaknya ''ningrat-ningrat'', sastrawan dan seniman Majaphit yang menyingkir ke Bali. Sastra Pesisiran yang berkembang pada periodisasi keemasan tersebut berusaha membalutkan nilai-nilai keislaman dengan elemen-elemen kuno dari kebudayaan Majapahit <ref name=Rochkyatmo/> Sastra Pesisiran yang turut membawa cacarakan Cirebon pada masa keemasannya dimulai ketika pengaruh Islam mulai memasuki pulau Jawa termasuk di wilayah [[Kesultanan Cirebon]]. ada setidaknya tiga pusat utama perkembangan sastra pesisiran yaitu di Gresik, Demak dan di wilayah [[kesultanan Cirebon]] yang meliputi Cirebon hingga [[Banten]] pada masa itu.
Berbeda dengan Demak yang pada masa itu menjadi rujukan bagi daerah pedalaman sekitarnya yang mayoritas dihuni oleh [[suku Jawa]](cikal bakal daerah Mataram), perkembangan Cacarakan dan sastra pesisiran di wilayah [[kesultanan Cirebon]] tidak sehomogen dengan apa yang terjadi di Demak, heterogenitas antara pesisir Cirebon yang multi-etnis ditambah dengan pedalaman Cirebon yang juga dihuni oleh [[suku Sunda]] yang berbeda bahasa dan pola tulisan membuat Cacarakan dan sastra Cirebon mengakomodir pola-pola ucap dan kebiasaan-kebiasaan sastra dari wilayah sekitarnya sehingga menyebabkan teks-teks sastra yang berasal dari wilayah [[kesultanan Cirebon]] walau ditulis dengan pola aksara carakan yang tidak jauh berbeda (Cirebon menerapkan pola aksara cacarakan dengan gaya satu tembok sementara Jawa menerapkan pola carakan dengan gaya dua tembok) namun teks-teks tersebut tidak dimengerti oleh pembaca dari wilayah Jawa bagian tengah.<ref name=Rochkyatmo/>
Cacarakan Cirebon menurut TD Sudjana pada awalnya berasal dari Pallawa yang menyebar di Nusantara, para aristokrat yang menggunakan Pallawa sebagai aksara ini kemudian mengembangkan pola-pola aksara di wilayah yang diperintahnya, dan kemudian menjadi aksara daerahnya masing seperti aksara Carakan Jawa, Sunda dan Aksara Cacarakan Cirebon, oleh karena itu Cacarakan Cirebon oleh budayawan Cirebon TD Sudjana dikiaskan sebagai sesuatu hal yang memiliki makna budi luhur sebagai penunjang tegaknya akhlak bangsa dan kepribadian bangsa.<ref name=Rochkyatmo>Rochkyatmo, Amir. 1996. Pelestarian dan Modernisasi Aksara Daerah: Perkembangan Metode dan Teknis Menulis Aksara Jawa. [[Jakarta]]: Direktorat Jenderal Kebudayaan</ref>
Baris 216 ⟶ 227:
==== Bahasa Cirebon Sebagai Sebuah Dialek Bahasa Jawa ====
Penelitian menggunakan kuesioner sebagai indikator pembanding kosakata anggota tubuh dan budaya dasar (makan, minum, dan sebagainya) berlandaskan metode Guiter menunjukkan perbedaan kosakata bahasa Cirebon dengan bahasa Jawa di Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta mencapai
Meski kajian Linguistik sampai saat ini menyatakan bahasa Cirebon ”hanyalah” dialek (Karena Penelitian Guiter mengatakan harus berbeda sebanyak 80% dari Bahasa terdekatnya), tetapi sampai saat ini '''Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 5 Tahun 2003''' masih tetap mengakui Cirebon sebagai bahasa dan bukan sebagai sebuah dialek. Dengan kata lain, belum ada revisi terhadap perda tersebut. Menurut Kepala Balai Bahasa Bandung Muh. Abdul Khak, hal itu sah-sah saja karena perda adalah kajian politik. Dalam dunia kebahasaan menurut dia, satu bahasa bisa diakui atas dasar tiga hal. Pertama, bahasa atas dasar pengakuan oleh penuturnya, kedua atas dasar politik, dan ketiga atas dasar Linguistik.
Baris 222 ⟶ 233:
Bahasa atas dasar politik, contoh lainnya bisa dilihat dari sejarah bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia yang sebenarnya berakar dari bahasa Melayu, seharusnya dinamakan bahasa Melayu dialek Indonesia. Namun, atas dasar kepentingan politik, akhirnya bahasa Melayu yang berkembang di negara Indonesia –oleh pemerintah Indonesia– dinamakan dan diklaim sebagai bahasa Indonesia. Selain alasan politik, pengakuan Cirebon sebagai bahasa juga bisa ditinjau dari batasan wilayah geografis dalam perda itu. Abdul Khak mengatakan, Cirebon disebut sebagai dialek jika dilihat secara nasional dengan melibatkan bahasa Jawa.
Artinya, ketika perda dibuat hanya dalam lingkup wilayah Jabar, Cirebon tidak memiliki pembanding kuat yaitu bahasa Jawa. Apalagi, dibandingkan dengan bahasa Melayu Betawi dan Sunda, Cirebon memang berbeda dari suku Jawa pada umumnya juga dengan suku lain. Cirebon itu unik.<ref name="Amaliya 2010">Amaliya. 2010. Alasan Politiklah Sebabnya. Bandung: Pikiran Rakyat</ref>
==== Bahasa Cirebon sebagai Bahasa Mandiri ====
Revisi Perda, sebenarnya memungkinkan dengan berbagai argumen linguistik. Namun, kepentingan terbesar yang dipertimbangkan dari sisi politik bisa jadi adalah penutur bahasa Cirebon, yang tidak mau disebut orang Jawa maupun orang Sunda. Ketua '''''Lembaga Basa lan Sastra Cirebon''''' Nurdin M. Noer mengatakan, bahasa Cirebon adalah persilangan bahasa Jawa dan sebagian kosakata Sunda. Meskipun dalam percakapan orang Cirebon masih bisa memahami
::”Selain itu, bahasa Cirebon sudah punya banyak dialek. Contohnya saja dialek Plered, Jaware, dan Dermayon,” ujarnya. Jika akan dilakukan revisi atas perda tadi, kemungkinan besar masyarakat bahasa Cirebon akan memprotes.
Baris 236 ⟶ 247:
Selama ini bahasa Cirebon dianggap sebagai dialek dari bahasa Jawa dikarenakan beberapa pihak yang menginginkan Cirebon tetap menjadi bagian dari budaya Jawa hanya berpegang pada penelitian model Guiter saja yang mengharuskan perbedaan antar kedua subjek bahasa sebesar 80%, tetapi jika menggunakan pendekatan Lauder, pendekatan ini mengkritisi jumlah persentase yang diajukan guiter yaitu sebesar 80% karena menurut Lauder, cukup 70% saja dalam kajian dialektometri bagi sesuatu untuk dikatakan sebagai "bahasa" yang Mandiri.
.
Lauder, sudah menggunakan metode yang lazim dan umum dilakukan dalam kajian dialektologi terhadap bahasa-bahasa di Indonesia, yaitu metode dialektometri, hanya yang menarik dari pandangannya itu ialah usulannya tentang modifikasi kategori persentase perbedaan unsur kebahasaan untuk menyebutkan suatu isolek sebagai bahasa atau dialek yang diajukan oleh Guiter, Guiter menitik beratkan perbedaan kebahasaan harus sekitar 80%. Menurutnya, persentase untuk dianggap beberapa isolek sebagai bahasa yang berbeda, jika perbedannya di atas 80% tterlalu tinggi untuk bahasa-bahasa di Indonesia. Karena kategori kajian guiter itu dibangun di atas data bahasa-bahasa Barat (eropa dan sejenisnya), karena itu perlu dimodifikasi. Kenyatan lain, menurutnya, ialah berdasarkan hasil penelitian berbagai bahasa daerah di Indonesia memperlihatkan perbedaan antara bahasa yang satu dengan yang lainnya hanya sekitar 65%–70% saja, dimana perbedaan kosakata antara Bahasa Jawa Cirebon dengan Bahasa Jawa lainnya adalah
=== Kosakata ===
Sebagian besar kosakata asli dari bahasa ini tidak memiliki kesamaan dengan bahasa Jawa standar (Surakarta/Yogyakarta) baik secara morfologi maupun fonetik. Memang bahasa Cirebon yang dipergunakan di Cirebon dengan di Indramayu itu meskipun termasuk bahasa Jawa, mempunyai perbedaan cukup besar dengan “bahasa Jawa baku”, yaitu bahasa yang diajarkan di sekolah-sekolah yang berpegang kepada bahasa Jawa Solo. Dengan demikian, sebelum 1970-an, buku-buku pelajaran dari Solo tak dapat digunakan karena terlalu sukar bagi para murid (dan mungkin juga gurunya). Oleh karena itu, pada 1970-an, buku pelajaran itu diganti dengan buku pelajaran bahasa Sunda yang dianggap akan lebih mudah dimengerti karena para pemakai bahasa Sunda “lebih dekat”. Akan tetapi, ternyata kebijaksanaan itu pun tidak tepat sehingga muncul gerakan untuk menggantinya dengan buku dalam bahasa yang digunakan di wilayahnya, yaitu Bahasa Jawa dialek Cirebon.<ref>Rosidi, Ajip. 2010. "Bahasa Cirebon dan Bahasa Indramayu".: Pikiran Rakyat</ref> namun penerbitan buku penujang pelajaran bahasa daerah yang terjadi tahun selanjutnya tidak mencantumkan kata "Bahasa Jawa dialek Cirebon" lagi, akan tetapi hanya menggunakan kata "Bahasa Cirebon" hal ini seperti yang telah dilakukan pada penerbitan buku penunjang pelajaran bahasa cirebon pada tahun 2001 dan 2002. "Kamus Bahasa Cirebon" yang ditulis oleh almarhum bapak Sudjana sudah tidak mencantumkan Kata "Bahasa Jawa dialek Cirebon" namun hanya "Kamus Bahasa Cirebon"
==== Perbandingan Bahasa Cirebon Bagongan (Bahasa Rakyat) ====
Baris 252 ⟶ 263:
! Tegal, Brebes
! Pemalang
! Kedu (wilayah [[Karanganyar, Kebumen|
! Solo/Jogja
! Surabaya
! Indonesia
|-
|
| kita/reang/isun
| inyong/nyong
Baris 270 ⟶ 281:
| Sira
| rika
|
| koe
| kowe
Baris 288 ⟶ 299:
|-
| keprimen
| kepriben/
| kepriwe
| kepriben/priben/pribe
| keprimen/kepriben/primen/prime/priben/pribe
| Kepriye
| piye/
| yaopo
| bagaimana
Baris 309 ⟶ 320:
| rabi
| rabi
|
|
|
|
|
|
| istri
|-
| manjing
Baris 334 ⟶ 345:
| arep
| arep
| katene, kapene
| akan
|-
Baris 357 ⟶ 368:
==== Bahasa Cirebon dialek Arjawinagun ====
Dialek Arjawinangun merupakan dialek yang dituturkan oleh masyarakat Cirebon di daerah sekitar Desa Arjawinangun, Kecamatan Arjawinangun, Kabupaten Cirebon. Dialek ini cenderung masih asli dan tidak terpengaruh bahasa lain meskipun tidak bisa dikategorikan sebagai bahasa Cirebon yang baku. Dialek ini juga merupakan dialek yang paling banyak digunakan oleh masyarakat di Kota Cirebon.<ref name=":02">{{Cite journal|last=Diniyah|first=Dini Zahrotud|year=2016|title=VISUALISASI SPASIAL BAHASA DAN DIALEK DI KOTA CIREBON JAWA BARAT|url=http://lib.geo.ugm.ac.id/ojs/index.php/jbi/article/viewFile/854/827|journal=Jurnal Bumi Indonesia|volume=5|issue=4|pages=|doi=}}</ref>
==== Bahasa Cirebon dialek Dermayon ====
Baris 651 ⟶ 662:
[[Berkas:Padesan-Sitiwinangun.jpg|jmpl|300px|''Pandesan'' (gentong air wudhu) yang digunakan sebagai gerbang taman pada rumah orang tua dalang Ade Irfan (dalang [[tari Topeng Cirebon|tari Topeng Cirebon gaya Palimanan]]) di jalan Pesantren gang ''Singalengan'', ''blok'' lepet, [[Cikeduk, Depok, Cirebon|desa Cikeduk]], [[Depok, Cirebon|kecamatan Depok]], [[kabupaten Cirebon]] yang dibuat oleh pengerajin ''anjun'' (membuat gerabah) di [[Sitiwinangun, Jamblang, Cirebon|desa Siti Winangun]], terdapat relif ayat kursi dan 5 ayat al baqarah yang ditunjukan agar masyarakat yang mendatanginya diberi keselamatan dan lindungan dari Allah swt]]
''Pandesan'' atau gentong yang diperuntukan bagi air wudu merupakan bagian dari penerapan adat Cirebon yang bernafaskan Islam, sejarah masyarakat Cirebon sebelumnya pernah mencatat aktivitas berwudu pada babad [[Kaliwulu, Plered, Cirebon|desa Kali Wulu]] yang menceritakan kedatangan dua orang kerumah ''Ki Gede Silintang'' untuk meminta air untuk berwudu serta pada cerita turun temurun tentang ''Sindang Pancuran'' di [[sindanglaut, lemahabang, cirebon|desa Sindang Laut]] dimana pancuran digunakan untuk berwudu. Pembuatan ''pandesan'' pada masa lalu hampir dibuat di beberapa desa yang memiliki masjid-masjid besar misalnya di sekitar [[masjid Panjunan]], [[Panjunan, Lemahwungkuk, Cirebon|kelurahan Panjunan]], [[kota Cirebon]] yang dibangun pada 1480 oleh Pangeran Panjunan (Syarif Abdurrahman), tetapi sekarang masyarakat sekitar [[masjid Panjunan]] sudah tidak lagi memproduksi ''pandesan'' sehingga ''pandesan'' yang dijual disekitar masjid pada masa sekarang adalah buatan dari masyarakat [[Sitiwinangun, Jamblang, Cirebon|desa Siti Winangun]], [[Jamblang, Cirebon|kecamatan Jamblang]], [[kabupaten Cirebon]]<ref>[http://www.cirebontrust.com/cirebon-kuno-dan-kini-73-masjid-merah-yang-tetap-merah.html|Noer, Nurdin. 2015. Cirebon Kuno dan Kini (73); Masjid Merah yang Tetap Merah. [[kota Cirebon|Cirebon]]: Cirebon Trust]{{Pranala mati|date=Juni 2021 |bot=InternetArchiveBot |fix-attempted=yes }}</ref>
=== Adat Pernikahan Agung ''(Pelakrama Ageng)'' ===
Baris 672 ⟶ 683:
==== Siraman ''(Siram Tawandari)'' ====
Menurut Sultan Sepuh ke XIV Pangeran Raja Adipati [[Arief Natadiningrat]], Siraman melambangkan kesucian, prosesi siraman merupakan tradisi memandikan calon pengantin dengan tata tradisi tertentu sebelum pelaksanaan akad nikah. Hal itu bertujuan untuk membersihkan jiwa dan raga calon pengantin sebelum melaksanakan akad nikah, yang menjadi pintu menuju hidup baru dengan pasangannya.
{{cquote|''Sesuai ajaran Islam, bahwa amal perbuatan harus didahului dengan membersihkan diri dari hadas, baik kecil maupun besar,''}}<ref>[http://www.republika.co.id/berita/nasional/jawa-barat-nasional/13/11/10/mw0rng-pagi-ini-putra-mahkota-keraton-kasepuhan-jalani-siraman]|2013 - Republika - Pagi ini Putra Mahkota Keraton Kasepuhan jalani siraman</ref>
Baris 700 ⟶ 711:
Hal ini menandakan bahwa pria itu telah menjadi menantunya. Setelah selesai kain itu diambil kembali, yang menandakan bahwa pengantin sudah tidak lagi dalam perlindungan orang tua dan sekarang memiliki tanggung jawab sendiri.
Ijab Qabul dalam Pernikahan Agung atau Pelakrama Ageng Keraton Cirebon biasanya menggunakan ragam [[Bahasa Cirebon|Bahasa Cirebon Bebasan]]<ref>[http://www.jpnn.com/read/2014/03/14/221885/Putri-Sultan-Cirebon-Nikahi-Pemuda-Biasa-] {{Webarchive|url=https://web.archive.org/web/20141021204951/http://www.jpnn.com/read/2014/03/14/221885/Putri-Sultan-Cirebon-Nikahi-Pemuda-Biasa- |date=2014-10-21 }}| 2014 - JPPN - Putri Sultan Cirebon Nikahi Pemuda Biasa</ref>
==== Pertemuan Pengantin ''(Temon)'' ====
Baris 720 ⟶ 731:
==== Makan Nasi Ketan Kuning ''(Adep-adep Sekul)'' ====
Acara pengantin makan nasi ketan kuning ini dipimpin oleh juru rias. Nasi ketan kuning ini dibentuk seperti bulatan kecil berjumlah 13 butir. Pertama, orang tua pengantin wanita menyuapi pengantin sebanyak empat butir. Dilanjutkan dengan orang tua pihak pria memberi suapan sebanyak empat butir. Lalu empat butir lagi, kedua pengantin bergantian saling menyuapi. Sisanya satu butir untuk diperebutkan, siapa yang
Namun rezeki ini tidak boleh dimakan sendiri dan harus dibagi pada pasangannya. Saat acara berlangsung, kedua pengantin duduk berhadapan yang melambangkan menyatunya hati suami-istri untuk membina rumah tangga bahagia. Selain itu, acara adep-adep sekul ini juga mengandung arti kerukunan dalam rumah tangga, yaitu terhadap pasangannya, orang tua, serta mertua.
|