Masjid Agung Baiturrahim Singkil: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak sesuai dengan judul
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
Tidak sesuai dengan judul
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
Baris 5:
Gempa bumi dan gelombang pasang tanggal 28 maret 2005 telah menjadikan masjid ini mengalami kerusakan berat. Untuk memperbaikinya pada tanggal 7 Mei 2005 telah dibentuk Panitia Pembangunan Masjid Baiturrahim yang bertugas untuk merenovasi masjid yang rusak agar bisa dipergunakan kembali.
 
 
== Periode Singkil Baru (New Singkil, tahun 1883-sekarang) ==
 
Orang Singkil tidak patah arang menghadapi bencana, maka atas titah raja, secara berangsur-angsur penduduk Singkil hijrah ke daerah baru (Singkil sekarang/Pondok Barö). Di tempat yang baru ini mereka memulai kehidupan dengan moto: “Selagi esok matahari masih terbit kehidupan akan terus berlangsung”. Di pusat Kota Singkil ini (Singkil Baru), juga dibangun sebuah masjid dengan nama yang lama, Masjid Jamik Baiturrahim.
 
Kehidupan di Singkil mengalami perubahan dengan datangnya Kolonial Belanda yang menyebut Singkil sebagai New Singkil (Singkil baru). Di tengah kesibukan menata kehidupan baru pasca gempa bumi dan tsunami, rakyat Singkil dihadapkan kepada tantangan invasi penjajahan. Setelah berhasil menguasai daratan Singkil, Belanda dengan kontrolir yang bernama Inggram, menguras hasil bumi Singkil dengan jalan kekerasan di bawah kepulan asap mesiu. Selain itu, masyarakat Singkil juga menghadapi tantangan pendangkalan akidah oleh misionaris dengan iming-iming kekayaan dan jabatan.
 
Masih dalam masa penjajahan Belanda, pada tahun 1328 H/1909 M, atas gagasan Perkasa Raja Singkil, Datuk Abdurrauf bersama rakyat membangun masjid yang lebih besar, menggantikan masjid lama yang tidak memadai lagi menampung jamaah. Masjid tersebut dibangun di sebelah timur rumah datuk dengan konstruksi bangunan dari kayu kapur, rasak, meranti, beratap seng, dan lantai beton. Masjid ini telah menggunakan kubah sebagai bagiannya, untuk menopang kubah, ditengah masjid didirikan sebuah tiang beton.
 
Arsitektur [[masjid]], dekorasi, serta ornamen interior dan eksterior dari bahan kayu, diukir relif dan kaligrafi berciri disain Timur Tengah dan Melayu Kuno. Bersamaan dengan pembangunan masjid dibangun pula sebuah sumur bor di perkarangan masjid untuk kebutuhan bersuci. Sampai saat ini sumur bor tersebut masih berfungsi dengan baik walau sudah berusia lebih dari 100 tahun.
 
Untuk melindungi rakyat dan Islam serta masjid yang ada, Datuk Besar Singkil memainkan peran politiknya. Dalam hal perdagangan dan pemerintahan, ia bekerjasama dengan Pemerintah Kolonial Belanda di bawah bendera VOC, tetapi dalam hal urusan keagamaan, dia meneguhkan prinsip saling menghargai satu sama lain. Syarat yang ditawarkan antara lain Pemerintah Kolonial Belanda dibolehkan membangun sarana dan fasilitas yang mereka butuhkan secara bebas, tetapi konpensasinya, tidak boleh membangun fasilitas rumah ibadah (gereja). Maka dibangunlah tangsi (barak militer), pelabuhan, rumah sakit, sarana telepon, dan fasilitas lainnya termasuk kantor pos yang megah di kawasan perkantoran pemerintah yang menghadap ke laut.
 
Butir lain yang ditawarkan untuk disepakati Pemerintah Kolonial Belanda adalah kebebasan beragama. Rakyat Singkil harus diberikan kebebasan melaksanakan kegiatan keagamaan, baik ibadah maupun bersifat kemasyarakatan di masjid tanpa ada intervensi dan intimidasi dari pihak Pemerintah Belanda. Oleh karena itu, keberadaan masjid ini sebagai pusat kegiatan masyarakat tidak terusik sepanjang keberadaannya.
 
Dalam perjalanan sejarahnya, masjid ini telah mampu memberikan spirit kepada masyarakat Singkil dalam membangun negerinya, upaya melepaskan diri dari kebodohan, kemiskinan, ketertinggalan dan ketidakadilan. Lebih dari itu, secara diam-diam masjid ini telah dipergunakan untuk mengatur strategi melawan penjajah.
 
Pada saat kepemimpinan Datuk Abdul Murad, putra Datuk Abdurrauf, kepengurusan Masjid Jamik Baiturrahim dipimpin oleh H. Abdul Malik (Imam Pulo Pinang) sebagai imam, dan H. Umar sebagai khatib. Pada tahun 1942, saat Kepala Nagari dijabat oleh Aminuddin Sagu, kepengurusan masjid ini dipimpin oleh Imam Abdullah dengan dibantu oleh Imam Ilyas. Adapun jabatan khatib masjid dijabat oleh Khatib Ahmad.
 
Di era kemerdekaan Republik [[Indonesia]], wilayah Singkil telah mengalami beberapa kali perubahan status, mulai dari kewedanaan hingga kabupaten. Namun status dan fungsi Masjid Baiturrahim tidak pernah berubah. Masjid ini tetap berfungsi sebagai masjid pemerintahan yang sangat berjasa dalam melahirkan dan mengisi pembangunan di negeri yang diberi nama Aceh Singkil ini.
 
Pada tahun 1968, jabatan imam Masjid Baiturrahim dipegang oleh Imam Syahmuddin, Khatib Ahmad, dan Bilal M. Amin. Sewaktu Khatib Ahmad meninggal, jabatan khatib diganti oleh M. Amin, dan jabatan bilal dipegang oleh Bilal Badaruddin. Pada tahun 1994, Imam Syahmuddin meninggal dunia, lalu digantikan oleh Imam Badri Amin, adapun khatib dijabat oleh Khatib Abd. Salam AK. Sementara itu jabatan nazir masjid dari dulu sampai sekarang yang diketahui adalah tokoh berikut:
* M. Ya’kub
* M. Yahya
* Akmal Bakti
* M. Rabet
* M. Bahar
* Abd Halim
* Amiruddin. S
 
== Sumber ==