Ali bin Husain: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Irfanmio21 (bicara | kontrib) Tidak ada ringkasan suntingan |
Irfanmio21 (bicara | kontrib) kTidak ada ringkasan suntingan |
||
Baris 22:
| spouse = Fatimah binti Hasan<br />Jaidah al-Sindhi
| children = [[Muhammad al-Baqir]]<br />[[Zaid bin Ali]]<br/>Hasan<br />Husain al-Akbar<br />Husain al-Asghar<br />Abdullah al-Bahar<br />Abdurrahman<br />Sulaiman<br />Muhammad al-Asghar<br />Umar al-Ashraf<br />Ali<br />Ummu Kultsum<br />Khadijah<br />Fatimah<br />Aliyyah
| parents = [[Husain bin Ali]] (ayah)<br />Shahrbanu (ibu)<ref name="WOFIS
| relatives =
}}
Baris 38:
[[Kunya]] Ali adalah Abu al-Ḥasan, Abu al-Ḥusain, Abū Muḥammad, Abū Bakar, dan Abu Abdallāh.<ref name="Madelung"/><ref name="Kohlberg"/> Dia diberi kehormatan Sajjad (orang yang terus-menerus bersujud dalam ibadah), serta Zainal Abidin (Perhiasan Orang yang Taat Beribadah), dan Zaki (yang murni).<ref name="Madelung"/>
== Kelahiran dan kehidupan awal ==
Ali bin Husain lahir di [[Madinah]] di [[Hijaz]], sekarang di [[Arab Saudi]], pada tahun 38 H/658–9 M.{{efn|Other dates mentioned are 33/653–4, 36/656–7, 37/657–8, 50/670<ref name="Imam Ali ubnal Husain"/>}} Dia mungkin terlalu muda untuk mengingat kakeknya, Ali; ia dibesarkan di hadapan pamannya [[Hasan bin Ali|Hasan]] dan ayahnya [[Husain bin Ali|Husain]], cucu [[Muhammad]]. Menurut Donaldason, Ali bin Husain berusia dua tahun ketika kakeknya, Ali, meninggal. Dia hidup sepuluh tahun selama Imamah pamannya, Hasan bin Ali, sepuluh tahun selama [[Imamah]] ayahnya, Husain bin Ali, dan tiga puluh lima tahun sebagai Imam sendiri. Jadi Ali meninggal pada tahun 94/95 H pada usia lima puluh tujuh tahun menurut penanggalan Hijriah, selama kekhalifahan [[al-Walid I]], ketika [[Hisyam bin Abdul-Malik|Hisyam bin Abdul Malik]] masih muda.<ref>{{Harvnb|Donaldson|1933|p=111}}</ref>
== Tragedi Karbala ==
Pada tahun 61 [[Kalender Hijriah|H]] (680 M), cucu [[Muhammad]], [[Husain bin Ali]] dan sekelompok kecil pendukung dan kerabatnya terbunuh dalam [[Pertempuran Karbala]] oleh pasukan militer besar dari [[Kekhalifahan Umayyah|khalifah Umayyah]], [[Yazid bin Muawiyah|Yazid]], yang ditolak oleh Husain untuk memberikan sumpah setia. Zainal Abidin telah menemani ayahnya dalam perjalanan menuju [[Kufah]]. Dia juga hadir di Pertempuran Karbala tetapi selamat dari pertempuran karena dia sakit. Setelah pasukan Umayyah membunuh Husain dan pengikut laki-lakinya, mereka menjarah tenda dan mengambil kulit tempat dia berbaring. Dikatakan bahwa Syamr bin Dzil Jausyan hendak membunuh Zainal Abidin. Bibinya, [[Zainab binti Ali|Zainab]], bagaimanapun, memohon kepada [[Umar bin Sa'ad]], komandan Umayyah, untuk menyelamatkan hidupnya.<ref name="Madelung"/><ref name="Donaldson">{{harvnb|Donaldson|1933|pages=101–111}}</ref>
Baris 53 ⟶ 49:
Ali dihadirkan di hadapan [[Ubaidillah bin Ziyad]] sebagai tawanan. Ketika Ibnu Ziyad memintanya untuk memperkenalkan diri, dia menjawab, "Saya Ali bin Husain." Ibnu Ziyad kali ini bertanya, “Bukankah Allah membunuh Ali bin Husain?” Dia menjawab, "Dulu aku punya kakak laki-laki yang juga bernama Ali, yang kamu bunuh." "Tuhan membunuhnya," teriak Ibnu Ziyad. Ali kemudian mengutip sebuah ayat Quran, dengan alasan bahwa Tuhan mengambil jiwa pada saat kematian, menyiratkan bahwa Tuhan tidak membunuh manusia. Ibnu Ziyad meledak dalam kemarahan dan memerintahkan dia untuk dieksekusi. Dia, bagaimanapun, diselamatkan oleh intervensi [[Zainab binti Ali|Zainab]].<ref>{{harvnb|Sharif al-Qarashi|2000|p=148}}</ref><ref name="Madelung"/>
==== Di Damaskus ====
Ali bin Husain dan para wanita kemudian dikirim ke Yazid di [[Damaskus]]. Diriwayatkan bahwa Yazid, membawa tawanan di hadapan orang-orang yang berkumpul di istananya, kemudian meminta seseorang untuk memberikan pidato menentang Husain dan pemberontakannya, setelah itu Ali bin Husain meminta Yazid untuk menyampaikan pidato yang diridhai Allah dan membawa kebaikan kepada orang-orang yang dihadirkan di sana. Atas desakan masyarakat, Yazid menerimanya. Ali memanfaatkan kesempatan itu untuk memperkenalkan dirinya dan keluarganya, [[Ahlul Bait]], secara efektif kepada orang-orang yang belum mengenalnya dengan baik. Yazid menjadi khawatir, untuk menyela, memerintahkan muazin untuk memanggil orang-orang untuk sholat. Ketika [[Muazin|muadzin]] berteriak, “Saya bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah”, Ali bin Husain bertanya:<ref>{{harvnb|Sharif al-Qarashi|2000|pp=153–157}}</ref>
Baris 78 ⟶ 72:
=== Skisma di Syiah sebagai akibat dari pemberontakan Mukhtar ===
Setelah tragedi Karbala, ada sekte-sekte Syiah yang berbeda, di antaranya Tawwabin, yang merasa Kekhalifahan Umayyah harus digulingkan, dan adalah tugas [[Imamah|Imam]] untuk memimpin pemberontak. Setelah penolakan Zainal Abidin, mereka berkumpul di sekitar Mukhtar yang memulai pemberontakannya atas nama [[Muhammad bin al-Hanafiyah|Muhammad bin al-Hanafiyyah]].<ref name="Chittick 2009 11"/> Menurut Syiah, Mukhtar pertama kali ingin memulai pemberontakannya atas nama Ali bin [[Husain bin Ali|Husain]], hanya setelah penolakannya dia beralih ke Muhammad bin Hanafiyyah.<ref name="Kohlberg"/> Sekitar waktu inilah, ketika pertanyaan tentang hak suksesi antara Ali bin Husain dan Muhammad bin al-Hanafiyyah mendapat perhatian paling besar. Muhammad bin al-Hanafiyyah adalah seorang pria pemberani yang saleh yang dianggap banyak orang sebagai Imam mereka. Sekte Syi'ah lainnya mengatakan Zainal Abidin memiliki hak untuk mewarisi Imamah, karena ayahnya, Husain, telah menunjuknya sebagai Imam berikutnya. Menurut Donaldson, Muhammad bin al-Hanafiyyah mengatakan dirinya lebih berharga. Setelah kematian Ibnu Zubair, gubernur Madinah, Zainal Abidin dan Muhammad bin Hanafiyyah setuju untuk pergi ke [[Makkah|Mekkah]] dan memohon kepada Hajar Aswad Ka'bah untuk mencoba menentukan siapa di antara mereka yang merupakan penerus sejati. Mereka pergi ke [[Ka'bah]], di mana Batu Hitam ditempatkan. Muhammad berdoa untuk sebuah tanda tetapi tidak ada jawaban yang datang. Setelah itu, Zainal Abidin berdoa dan [[Hajar Aswad]] menjadi gelisah dan hampir jatuh dari tembok; demikianlah muncul jawaban bahwa Zainal Abidin adalah Imam sejati setelah Husain; jawaban yang diterima Muhammad.<ref name="Donaldson"/>{{efn|Abū Khālid al-Kābuli termasuk di antara mereka yang mengaku Imamah [[Muhammad bin al-Hanafiyyah]], tetapi kemudian berpaling ke Zainal Abidin, mengatakan, "Saya mengabdi kepada Muhammad b. al-Hanafiya seumur hidup saya. Aku tidak ragu bahwa dia adalah Imam sampai aku bertanya kepadanya tentang kesucian Allah, kesucian Rasul, dan kesucian Amirul Mukminin, maka dia membimbing saya kepada Anda dan berkata: ' Ali b. Husain adalah Imam atas aku, kamu, dan semua makhluk.'"{{efn|Canon Sell, op. cit., p. II, quoting Sahifat Al-Abidin, p. 184.}}<ref name="Donaldson"/><ref name="Sharif al-Qarashi 2000 94–96">{{harvnb|Sharif al-Qarashi|2000|pp=94–96}}</ref>}}<ref name="Sharif al-Qarashi 2000 94–96"/> Abu Khalid al-Kabuli, yang awalnya adalah sahabat Muhammad bin Hanafiah, termasuk di antara mereka yang beralih ke Zainal Abidin sesudahnya. Menurut Ismailiyah, Muhammad bin Hanafiah diangkat oleh Husain sebagai Imam sementara, sebagai kedok untuk melindungi Zainal Abidin sebagai Imam yang sejati dan tetap. Setelah kematian Muhammad, para pengikutnya bergabung dengan Zainal Abidin.<ref name="Kohlberg"/>
==== Kaisaniyyah ====
Kaisaniyyah adalah nama yang diberikan untuk semua sekte yang berasal dari pemberontakan Mokhtar. Kaysaniyyah, menelusuri Imamah dari Muhammad bin al-Hanafiyyah dan para penerusnya. Kaisaniyyah sendiri terbagi ke dalam sekte-sekte yang berbeda, namun pandangan umum mereka adalah bahwa Hasan, Husain dan Muhammad bin Hanafiyyah, adalah penerus sejati Ali; meskipun beberapa sekte yang lebih ekstrim menolak Imamah Hasan dan Husain.<ref>{{Harvnb|Lalani|2000|p=34}}</ref>
Setelah kematian Muhammad bin Hanafiyyah, beberapa pengikutnya, yang disebut Karbiyyah, menjadi percaya bahwa Muhammad tidak mati, tetapi bersembunyi di sebuah gunung dekat Madinah; dan akan muncul kembali sebagai [[Imam Mahdi|Mahdi]], untuk memenuhi dunia dengan keadilan. Kelompok lain, yang disebut Hasyimiyyah, menyatakan bahwa Muhammad bin Hanafiyya telah meninggal di gunung dan telah memberikan Imamah kepada putranya [[Abdullah bin Muhammad bin al-Hanafiyah|Abu Hasyim]]. Semua sekte Kaisaniyyah dibedakan oleh kecintaan pada Ali dan keluarganya dan kebencian pada dinasti yang berkuasa. Menurut Abdul Jabbar bin Ahmad, setelah kematian Muhammad bin Hanafiyyah, beberapa Kaisaniyyah bergabung dengan Zainal Abidin. Sekitar waktu inilah doktrin Nass, (sebutan eksplisit Imam sebagai penggantinya) mendapat arti penting dalam [[Fikih|Fiqih]] Syiah.<ref>{{Harvnb|Lalani|2000|pp=35–36}}</ref>
== Keluarga ==
Ali bin Husain memiliki antara delapan dan lima belas anak, empat di antaranya lahir dari Ummu Abdullah Fatimah binti Hasan, yang lain dari selir.<ref name="Kohlberg"/><ref name="Madelung"/> Menurut Chittick, Zainal Abidin ayah dari lima belas anak, sebelas laki-laki dan empat perempuan.<ref name="Chittick 2009 11"/> Menurut Syeikh Al-Mufid, nama anak-anaknya adalah: [[Muhammad al-Baqir]], [[Zaid bin Ali|Zaid]], Hasan, Husain al-Akbar, Husain al-Asghar, Abdullah al-Bahar, Abdurrahman, Sulaiman, Muhammad al- Asghar, Umar al-Ashraf, Ali, Ummu Kultsum, Khadijah, Fatimah dan Aliyyah.<ref>Mufid, al-Irshad, p. 155</ref>
|