Ilmu keolahragaan: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Baris 30:
Pada hakikatnya, ilmu keolahragaan berakar pada pengetahuan yang mencakup hidup dan kehidupan manusia yang sifatnya multi dimensi. Cakupan multi dimensinya, antara lain: dimensi kelahiran, dimensi tumbuh-kembang dan kematian, dimensi jasmani, mental dan emosional, dimensi biologis, pribadi, dan tingkah laku, dimensi individual dan sosial, dimensi ruang dan waktu, dimensi alamiah, kemanusiaan, dan kultural. Ilmu keolahragaan mengkaji dimensi-dimensi tersebut, dan yang menjadi subjek adalah manusia sehingga dapat dikatakan bahwa bidang ilmu ini memiliki dimensi kajian yang sangat kompleks sejalan dengan kompleksnya keberadaan manusia itu sendiri. Dengan demikian, hubungan antara ilmu keolahragaan dan ilmu-ilmu terdahulu yang mengkaji tentang manusia dan dimensinya begitu erat, namun perbedaannya terletak dari fokus kajiannya. Ilmu keolahragaan berfokus pada manusia yang melakukan aktivitas olahraga, olahraga yang dilakukan, dan segala seluk-beluk yang terdapat di dalamnya.
 
Ilmu keolahragaan mendasari refleksi kehidupan suatu masyarakat dalam sebuah bangsa. Oleh karena itu, olahraga sebagai sebuah subjek dapat dilakukan oleh siapapun, kapanpun, dimanapun, tanpa memandang dan membedakan jenis kelamin, suku, ras, dan hal-hal yang sifatnya primordial. Di dalam ilmu keolahragaan tergambar aspirasi dan nilai-nilai luhur suatu masyarakat yang terpancar melalui hasrat mewujudkan diri untuk memperoleh keahlian di bidangnya. Hal inilah yang membuka ruang profesionalisme dalam ilmu keolahragaan bahwa kajiannya dapat mencetak insan manusia unggul, baik secara jasmani, mental, intelektual, sosial, serta mampu berfokus pada bidangnya.<ref>Newman, J. I., & Thorpe, H. (2021). Sport, Physical Culture, and New Materialisms. ''Somatechnics'', ''11''(2), 129-138. https://www-euppublishing-com.wikipedialibrary.idm.oclc.org/doi/full/10.3366/soma.2021.0347</ref> Dengan demikian, secara fungsional, ilmu keolahragaan mempengaruhi aspek perkembangan intelektual, emosional dan sosial dalam kehidupan.
 
Ilmu keolahragaan juga mendasari refleksi kesehatan jasmani dalam diri seseorang. Refleksi yang muncul ialah bahwa dengan berolahraga atau melakukan aktivitas fisik yang sistematis, seseorang dapat mengurangi risiko-risiko penyakit kronis, stres dan depresi, meningkatkan emosional, energi, kepercayaan diri dan kepuasan secara sosial. Jadi, ada aspek partisipatif di dalam olahraga. Tidak hanya aspek jasmani tetapi juga sosial. Olahraga menyatukan individu dan komunitas, menyoroti kesamaan dan menjembatani perbedaan budaya atau etnis. Ilmu keolahragaan tidak hanya diolah secara teoretis tetapi juga praktis. Bahkan, menjadi sarana meningkatkan kedisiplinan, kepercayaan diri, kepemimpinan, dan mengajarkan prinsip-prinsip inti seperti toleransi, kerja sama, dan sikap tenggang rasa. Dalam pada itu, hakikat olahraga menjadi diperluas ke arah relasionalitas antar manusia.
Baris 36:
Dari perspektif positivistik, ilmu keolahragaan menumbuhkan kepekaan sosial manusia dengan sesamanya. Benar bahwa sasaran dari pada olahraga adalah hal-hal yang bersifat jasmani. Akan tetapi, aspek positif dari olahraga membuat unsur-unsur permainan, perjuangan, ketekunan diri selalu terhubung dengan interaksi terhadap lingkungannya serta manusianya sesuai dampak yang dihasilkan dari proses yang berlangsung di dalamnya. Hal ini menunjukkan bahwa secara teori, olahraga membentuk sikap seseorang dan pemaknaannya terhadap sesama. Dengan cara itu, karakteristik dari olahraga sebagai sebuah ilmu pun tidak tertutup pada perubahan dan semakin kompleks karena motif yang ingin dicapai tidak hanya kekuatan jasmani tetapi juga lingkungan sosial budaya tempat pelaksanaannya.
 
Secara sosiologis, ilmu keolahragaan dipandang sebagai bagian dari budaya, dan karena itu masyarakatlah dapat membentuk olahraga macam apa yang menjadi bagian dari hidupnya. Itulah sebabnya dari waktu ke waktu pengertian olahraga berubah sesuai dengan pemaknaan sekelompok masyarakat.<ref>Newman, J. I., & Thorpe, H. (2021). Sport, Physical Culture, and New Materialisms: Part 2. ''Somatechnics'', ''11''(3), 317-321. https://www-euppublishing-com.wikipedialibrary.idm.oclc.org/doi/full/10.3366/soma.2021.0362</ref> Misalnya, dalam rentang sejarah tahun 1960-an olahraga cenderung dimaknai sebagai perjuangan yang sifatnya pribadi. Lalu, sekitar tahun 1972 dimaknai bahwa olahraga adalah perjuangan yang sifatnya inklusif. Sifat dari olahraga menjadi spontan, bebas, dan tidak terbatas waktu. Dengan perhatian terhadap aspek sosial, maka olahraga bukanlah semata-mata kompetisi yang berisi kegiatan perlombaan atau pertandingan untuk memperagakan prestasi yang optimal, bukan juga hanya kegiatan jasmani pada waktu senggang untuk membangun kebugaran jasmani, melainkan suatu kajian yang berkorelasi dengan pemaknaan kemasyarakatan atau lingkungan sosial.
 
Sekalipun begitu, ilmu keolahragaan tidak dapat dilepaskan dari fakta bahwa dasarnya adalah kegiatan jasmani, baik formal maupun non formal. Hal inilah yang membentuk persepsi bahwa kajian keolahragaan sangat kompleks sehingga pemahaman fundamental yang menyatakan bahwa olahraga adalah sebuah proses pembinaan kebugaran jasmani tidak dapat dipertahankan. Olahraga juga memiliki aspek intelektual, hiburan, dan kompetisi sehingga digolongkan ke dalam tiga ciri, yakni olahraga pendidikan (yang menekankan aspek kependidikan), olahraga rekreasi (yang menekankan sifatnya yang rekreatif), olahraga kompetitif (yang menekankan prestasi). Oleh karena itu, kegiatan jasmani yang kompleks ini sangat mungkin ditentukan perkembangannya sesuai dengan motif kelompok masyarakat tertentu sebagai pelakunya.
Baris 86:
Sementara itu dalam rangka mengumpulkan data-data yang diperlukan untuk mencapai penelitian ilmiah, terdapat tiga pendekatan dalam penelitian keolahragaan. Pertama, pendekatan positivistik-empirik. Pendekatan positivistik-empirik menekankan pada data empirik hasil observasi dengan menggunakan instrumen tertentu, dan dalam posisi terpisah antara peneliti dengan obyek yang diteliti. Kedua, pendekatan fenomenologis. Pendekatan fenomenologis menekankan pada pengungkapan fenomena empirik melalui pengamatan langsung yang kemudian ditafsirkan dan diberi makna. Ketiga, pendekatan hermeneutik. Pendekatan hermeneutik menekankan pada pemaparan pengetahuan berdasarkan pemahaman dan penafsiran atas obyek kajian dengan menggunakan teori yang sudah ada.
 
Pendekatan kajian dan pendekatan pengumpulan data tersebut menunjukkan bahwa ilmu keolahragaan dan aplikasinya dalam bentuk aktivitas keolahragaan ternyata memiliki nilai-nilai positif yang berkaitan dengan sajian kebenaran ilmiah melalui realitas kehidupan individu maupun masyarakat luas secara universal.<ref>Taylor, C. (2010). Science in the news: a diachronic perspective. ''Corpora'', ''5''(2), 221-250. https://www-euppublishing-com.wikipedialibrary.idm.oclc.org/doi/full/10.3366/cor.2010.0106</ref> Hal ini membuat ilmu keolahragaan memiliki nilai tersendiri. Tidak hanya nilai kebaruan tetapi juga nilai keunikan. Nilai-nilai ini berpotensi untuk memberikan sumbangan dalam membentuk pengetahuan masyarakat dan umat manusia semakin luas dan yang lebih bersifat sektoral memiliki nilai-nilai dapat menyumbang terbentuknya dinamika kehidupan sosial, budaya, ekonomi, ideologi, politik, hukum, keamanan, dan ketahanan bangsa.
 
Kajian dan data yang dikumpulkan tersebut didukung dengan dua metode penelitian yang digunakan secara umum dalam studi-studi keilmuan lainnya dalam pendidikan, yakni pendekatan kuantitatif dan pendekatan kualitatif. Data-data keolahragaan yang dicari dan ditemukan melalui pendekatan kuantitatif maka akan menghasilkan sejumlah data kuantitatif yang wujudnya berupa angka-angka (numerikal). Sementara data-data keolahragaan yang dicari dan ditemukan melalui suatu pendekatan kualitatif, maka akan menghasilkan sejumlah data kualitatif yang wujudnya biasanya berupa narasi-narasi teks.
Baris 103:
* Guru atau Dosen. Profesi guru atau dosen memungkinkan kemajuan besar bagi keolahragaan sebagai bidang ilmu melalui keputusan untuk memberikan pengajaran. Artinya bahwa ketika seseorang terjun ke dalam profesi ini maka orientasinya ialah mempengaruhi dan memotivasi siswa untuk menanamkan semangat dan antusiasme terhadap dunia olahraga. Profesi ini terbuka bagi individu yang memang memiliki ketekutan sejak menggeluti bidang studi ini karena syarat yang dibutuhkan ialah memiliki hasil pendidikan yang bertanggungjawab.
* Ahli nutrisi olahraga. Profesi ahli nutrisi olahraga merupakan salah satu profesi yang agak khusus karena berfokus pada dunia keatletan, yakni bekejra bersama dengan atlet elit dan tim olahraga profesional atau dengan masyarakat yang menggeluti olahraga untuk membantu mereka mencapai kinerja individu atau tujuan kesehatan mereka. Objek dari profesi ini ialah bekerja dengan atlet atau dengan publik. Profesi ini mengurusi mencakup membuat, menyampaikan, dan mengevaluasi program diet, menilai komposisi tubuh atau melakukan analisis nutrisi untuk mendorong pelaku olahraga yang menjadi kliennya itu memilih makanan yang lebih sehat untuk memberi manfaat bagi kinerja dan tujuan jangka panjang tujuan mereka berolahraga. Artinya bahwa dibutuhkan semangat untuk memotivasi dan menyesuaikan keterampilan serta pelayanan bagi setiap individu, dan mampu memberikan saran, referensi, dan rencana spesial sehingga tidak membebani para pelaku olahraga.
* Terapis olahraga. Profesi terapis olahraga mungkin terdengar asing, karena memang fokusnya kepada pengetahuan dan keterampilan klinis untuk menjadikan para pelaku olahraga percaya diri dan efektif dalam mencegah, menilai, merawat, dan merehabilitasi cedera mereka masing-masing. Profesi ini berkutat dalam masalah cedera dan bagaimana pelaku olahraga bisa sembuh secara maksimal dan mengubah akibat cederanya. Seorang terapis olahraga biasanya bekerja di lembaga olahraga profesional, semi-profesional, atau amatir, dan membuka praktik pribadi dalam sebuah klinik cedera olahraga. Misalnya, seorang kiropraktor yang akan mengurusi perawatan atlet atau olahragawan yang mengalami masalah neuromuskuloskeletal tulang belakang dan non-spinal.<ref>Nelson L, Pollard H, Ames R, Jarosz B, Garbutt P, Da Costa C. A descriptive study of sports chiropractors with an International Chiropractic Sport Science Practitioner qualification: a cross-sectional survey. ''Chiropractic & Manual Therapies''. 2021;29(1):1-6. doi:10.1186/s12998-021-00405-1</ref>
Sebagaimana profesi keahlian pada umumnya, dalam ilmu keolahragaan profesi-profesi tersebut didukung dengan karakteristik seorang yang memiliki semangat profesionalitas. Antara lain: