Ilmu keolahragaan: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Tag: VisualEditor pranala ke halaman disambiguasi
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 8:
 
== Sejarah ==
[[Berkas:Sejarah ilmu keolahragaan (etimologi).jpg|jmpl|Sejarah ilmu keolahragaan]]Kerangka historis ilmu keolahragaan tidak dapat dilepaskan dari yang terjadi di dunia [[Timur]] maupun [[Barat]]. Pada [[zaman]] [[Mesir Kuno]], di kota [[Sparta]] dan [[Athena]] sudah dikenal aktivitas jasmani yang sistematis dan terstruktur dalam rangka membentuk tubuh yang bagus, kuat, tahan, lincah, dan tangguh.<ref name=":0">HIdayatullah, Firman (2011). Sejarah Olahraga. Makalah Akhir Mata Kuliah Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Makassar. https://www.scribd.com/embeds/88086995/content?start_page=1&view_mode=scroll&access_key=key-fFexxf7r1bzEfWu3HKwf</ref> Aktivitas itu disebut gimnastik. Gimnastik berarti atletis atau bentuk latihan yang dilakukan di [[Gimnasium (Yunani kuno)|gimnasium]]. Istilah ini kemudian digunakan oleh beberapa negara seperti [[Jerman]], [[Swedia]], [[Denmark]], dan [[Amerika]] untuk pengertian yang lebih spesifik, yaitu suatu latihan formal, [[kalistenik]], dan aktivitas yang menggunakan alat-alat.<ref name=":0" />
 
Pada [[Abad ke 18|abad ke-18]] muncul istilah kultur fisik (physical culture) yang digunakan untuk menamai kajian tentang ilmu dan seni latihan tubuh, atau pemeliharaan dan pengembangan fisik yang sistematis dan terstruktur.<ref name=":1" /> Kajian ini berawal dari terbitnya sebuah buku di [[Boston]] tahun [[1904]] karya Charles Wesley Emerson berjudul ''Physical Culture.'' Pada [[Abad ke 19|abad ke-19]] muncul istilah [[latihan fisik]] (physical training) yang digunakan di [[Amerika]] untuk latihan militer. Latihan militer adalah penamaan untuk program latihan dan aktivitas fisik yang dirancangkan guna meningkatkan perkembangan dan kondisi fisik, serta keterampilan gerak. Selanjutnya masih pada [[Abad ke 19|abad ke-19]] muncul istilah pendidikan fisik (physical education) yang digunakan di perguruan tinggi di [[Amerika Serikat]].<ref name=":2" /> Istilah ini kemudian semakin populer dan digunakan sampai saat ini selain istilah-istilah lain yang muncul.
 
Dalam perkembangannya, muncul pemikiran bahwa istilah pendidikan fisik sebagai nama suatu [[disiplin]] [[akademik]] tidak logis dan perlu dicari nama lain yang lebih tepat. Ilmu keolahragaan kemudian mulai terfokus ke dalam ranah kajian-kajian etimologis. Hal ini diungkapkan oleh Rosalind Cassidy dan Thomas D. Wood pada tahun [[1927]] dalam buku mereka yang berjudul ''The New Physical Education'', dan diungkapkan kembali pada tahun [[1938]] dalam buku mereka yang berjudul ''New Directions in Physical Education''.<ref name=":3" /> Selanjutnya, di tahun [[1935]] S. C. Staley menulis sebuah buku berjudul ''The Curriculum in Sport'', dan pada tahun [[1939]] ia menulis buku lagi berjudul ''Sport Education''. Kedua publikasi tersebut menandai adanya satu istilah baru dalam penamaan terhadap kajian keilmuan yang berkaitan dengan aktivitas fisik manusia ini. Alhasil, kedua hasil kajian tersebut mempopulerkan istilah [[olahraga]] (sport). Akhirnya, di tahun [[1971]] dalam [[Konvensi]] [[Detroit]] dibuat pernyataan agar istilah-istilah yang ada disepakati untuk dibawa ke dalam [[kurikulum]] sekolah sehingga istilah pendidikan fisik harus diganti.<ref name=":4" /> Pernyataan tersebut mendapat sambutan positif secara luas karena memang dirasakan bahwa nama pendidikan fisik tidak sesuai lagi dengan luasnya spektrum penelitian dan studi serta keragaman layanan profesional yang dapat berkembang kemudiannya. Konvensi merekomendasikan American Academy of Physical Education untuk mengkaji dan mencari nama baru untuk subjek dari keilmuan ini.<ref name=":0" />
 
Pada tahun [[1973]] American Academy of Physical Education memulai kajian mendalam untuk mencari istilah baru, dan memunculkan beberapa alternatif yaitu, [[Kinesiologi]], Kinetiks, Pendidikan Fisik dan Olahraga, Pendidikan Fisik dan Tari, dan Seni Pergerakan dan Ilmu Pengetahuan. Dari 5 alternatif istilah tersebut, nama Seni Pergerakan dan Ilmu Pengetahuan dinilai paling tepat untuk dipilih dan digunakan. Selanjutnya, muncul pemikiran lain yang populer, yakni dari dua orang [[Profesor]]. Pertama, bernama Herbert Haag asal [[Jerman]] yang mengembangkan konsep ilmu keolahragaan (sport sciences), dan kedua bernama K. Rijsdorp asal [[Belanda]] yang mengembangkan konsep gimnologi (gymnologie).<ref name=":1">{{Cite book|last=Rea|first=Simon|date=2015|url=https://books.google.com.my/books?id=S-m5BwAAQBAJ&printsec=frontcover&dq=%22Sports+Science:+A+Complete+Introduction%22&hl=en&sa=X&ved=0ahUKEwiopc-nrsvdAhUGbisKHY5bA40Q6AEIKTAA#v=onepage&q=%22Sports%20Science:%20A%20Complete%20Introduction%22&f=false|title=Sports Science: A Complete Introduction: Teach Yourself|publisher=John Murray Press|isbn=978-1-4736-1490-1|language=en|url-status=live}}</ref> Tidak berhenti di situ, seorang peneliti bernama Claude Bouchard asal [[Kanada]] mengembangkan konsep ilmu aktivitas fisik (physical sctivity sciences).
 
Kajian atas [[etimologi]] yang berkembang ke ranah konseptual yang dihasilkan para ahli tersebut menunjukkan adanya keberagaman struktur dan sistematika yang terkandung di dalam ilmu keolahragaan baik secara historis dan secara [[empiris]]. Namun karena pada hakekatnya [[objek]] kajiannya adalah sama, maka kesemuanya dapat ditarik benang merah dengan alur yang sejalan, tidak saling bertentangan, dan justru dapat saling melengkapi sehingga diakuilah istilah ilmu keolahragaan (sport sciences).
 
Di [[Indonesia]] catatan historis ilmu keolahragaan diperkiraan telah dimulai dari munculnya lembaga-lembaga yang menaungi dan mengajarkan bidang olahraga atau pendidikan jasmani di Indonesia. Misalnya, pada tahun [[1941]] di [[Surabaya]] didirikan Academisch Institut voor Lichamelijke Opvoeding (AILO) atau dalam bahasa Indonesia disingkat LAPD (Lembaga Akademi Pendidikan Jasmani) sebagai reaksi atas kelangkaan guru-guru pendidikan jasmani dari [[Belanda]] ke [[Indonesia]] untuk mengajarkan studi ini.<ref name=":3" /> Sekitar tahun [[1950]]-an, lembaga ini berubah nama menjadi Akademi Pendidikan Jasmani (APD). Akademi ini pada tahun [[1953]] didirikan di [[Universitas Indonesia]] dan juga kemudian didirikan juga di [[Universitas Gadjah Mada]]. Pada tahun [[1960]]-an, nama akademi disetarakan menjadi fakultas sehingga diubahlah menjadi Fakultas Pendidikan Jasmani. Khususnya, di tahun 1963 berbagai ragam pendidikan untuk guru pendidikan jasmani ini mengalami penyetaraan dan keseteraan program dan gelar sehingga terbentuklah Sekolah Tinggi Olahraga (STO) yang kemudian dilebur ke IKIP (pengembangan dari FKIP) dan menjadi Fakultas Keguruan Ilmu Keolahragaan (FKIK). FKIK kemudian berubah lagi menjadi Fakultas Pendidikan Olahraga dan Kesehatan.
 
Kerangka historis ilmu keolahragaan di Indonesia lebih condong kepada pemikiran yang diutarakan Herbert Haag tentang ilmu keolahragaan (sport sciences), karena partisipasi dalam [[lokakarya]] [[internasional]] tahun [[1975]]. Dalam historiografi, hasil [[lokakarya]] berdampak kuat pada pengembangan kurikulum Sekolah Tinggi Olahraga. Beberapa subdisiplin ilmu keolahragaan (misalnya, biomekanika olahraga, filsafat olahraga, fisiologi olahraga) dalam nuansa sendiri-sendiri ''(multidiscipline)'' mulai dikembangkan yang didukung oleh ilmu-ilmu pengantar lainnya dalam [[pendidikan]] (misalnya, psikologi pertumbuhan dan perkembangan) dan [[ilmu sosial]] lainnya (misalnya, [[sosiologi]] dan antroplogi) yang dipandang perlu dikuasai oleh para calon profesional di bidang ini.<ref name=":0" />
 
Sementara itu, kajian mengenai fenomena keolahragaan di [[Indonesia]] cenderung mengikuti perkembangan yang terjadi secara [[internasional]]. Hasil kajian yang dipublikasi oleh para [[ahli]] dari negara-negara maju dan penemu istilah ini diadopsi dan digunakan sebagai referensi pengembangan kajian. Utamanya, dalam hal terminologi ilmu keolahragaan di [[Indonesia]] juga mengalami perkembangan. Awalnya, digunakan istilah Gerak Badan, kemudian berturut-turut berubah menjadi Pendidikan Jasmani, Pendidikan Olahraga, Pendidikan Jasmani dan Olahraga. Selanjutnya, istilah yang digunakan untuk menamai disiplin akademik atau disiplin ilmunya adalah ilmu keolahragaan (IKOR).<ref name=":3" /> Seminar dan Lokakarya Nasional Ilmu Keolahragaan di [[Surabaya]] tahun [[1998]] menjadi penanda disepakati dan disetarakannya istilah ilmu keolahragaan. Dalam [[forum]] yang dihadiri oleh para ilmuwan keolahragaan dan juga para ilmuwan disiplin ilmu lain yang relevan, telah ditetapkan deklarasi yang mengukuhkan eksistensi ilmu keolahragaan. [[Forum]] itu menentapkan dibentuknya Komisi Disiplin Ilmu Keolahragaan beserta fungsi dan tugasnya. [[Komisi]] ini menghasilkan sebuah dokumen dalam bentuk buku yang berjudul Ilmu Keolahragaan dan Rencana Pengembangannya yang menjadi langkah awal dimulainya kajian ilmu keolahragaan yang multidimensi ini.
 
== Hakikat ==
[[Berkas:Hakikat ilmu keolahragaan.jpg|jmpl|Hakikat ilmu keolahragaan]]
Istilah [[ilmu]] diambil dari bahasa [[Arab]] yaitu; “''alima, ya’lamu, ‘ilman''” yang berarti mengerti atau memahami benar-benar. Dalam bahasa [[Inggris]] istilah ilmu berasal dari kata ''science'', yang berasal dari bahasa [[Latin]] ''scienta'' dari bentuk kata kerja ''scire'', yang berarti mempelajari dan memberikan pengetahuan. Ilmu dihasilkan melalui proses [[ilmiah]] yang berangkat dari proses berpikir deduktif ([[rasional]]) dan induktif ([[empiris]]). Jadi landasan berpikir inilah yang disebut dengan hakikat. Adapun pengertian keolahragaan itu sendiri ialah hal-hal yang berkaitan dengan [[olahraga]]. [[Olahraga]] adalah aktivitas fisik manusia yang terstruktur dan sistematis untuk tujuan kebugaran jasmaninya. Dari pengertian ini, terlihat hakikat dari ilmu keolahragaan.<ref name=":5">Sumaryanto (2014). Olahraga dalam Perspektif Mewujudkan Kehidupan yang Humanis. Makalah Ilmu Keolahragaan Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Yogyakarta. http://staffnew.uny.ac.id/upload/131873957/pendidikan/Olahraga%20dalam%20Perspektif%20Mewujudkan%20Kehidupan%20yang%20Humanis.pdf</ref>
 
Pada hakikatnya, ilmu keolahragaan berakar pada pengetahuan yang mencakup [[hidup]] dan [[kehidupan]] [[manusia]] yang sifatnya multi dimensi.<ref name=":6">Sugiyanto, S. (2012). Dimensi Kajian Ilmu Keolahraga. ''Indonesian Journal of Sports Science'', ''1''(1), 218343. https://eprints.uns.ac.id/1977/1/158-288-1-SM.pdf</ref> Cakupan multi dimensinya, antara lain: dimensi kelahiran, dimensi tumbuh-kembang dan kematian, dimensi jasmani, mental dan emosional, dimensi biologis, pribadi, dan tingkah laku, dimensi individual dan sosial, dimensi ruang dan waktu, dimensi alamiah, kemanusiaan, dan kultural. Ilmu keolahragaan mengkaji dimensi-dimensi tersebut, dan yang menjadi [[subjek]] adalah manusia sehingga dapat dikatakan bahwa bidang ilmu ini memiliki dimensi kajian yang sangat kompleks sejalan dengan kompleksnya keberadaan [[manusia]] itu sendiri. Dengan demikian, hubungan antara ilmu keolahragaan dan ilmu-ilmu terdahulu yang mengkaji tentang [[manusia]] dan dimensinya begitu erat, namun perbedaannya terletak dari fokus kajiannya. Ilmu keolahragaan berfokus pada [[manusia]] yang melakukan aktivitas [[olahraga]], [[olahraga]] yang dilakukan, dan segala seluk-beluk yang terdapat di dalamnya.<ref name=":6" />
 
Ilmu keolahragaan mendasari refleksi [[kehidupan]] suatu [[masyarakat]] dalam sebuah [[bangsa]]. Oleh karena itu, [[olahraga]] sebagai sebuah [[subjek]] dapat dilakukan oleh siapapun, kapanpun, dimanapun, tanpa memandang dan membedakan [[jenis kelamin]], [[suku]], [[ras]], dan hal-hal yang sifatnya primordial. Di dalam ilmu keolahragaan tergambar aspirasi dan nilai-nilai luhur suatu masyarakat yang terpancar melalui hasrat mewujudkan diri untuk memperoleh keahlian di bidangnya. Hal inilah yang membuka ruang profesionalisme dalam ilmu keolahragaan bahwa kajiannya dapat mencetak insan manusia unggul, baik secara [[jasmani]], [[mental]], [[intelektual]], [[sosial]], serta mampu berfokus pada bidangnya.<ref name=":2">Newman, J. I., & Thorpe, H. (2021). Sport, Physical Culture, and New Materialisms. ''Somatechnics'', ''11''(2), 129-138. https://www-euppublishing-com.wikipedialibrary.idm.oclc.org/doi/full/10.3366/soma.2021.0347</ref> Dengan demikian, secara fungsional, ilmu keolahragaan mempengaruhi aspek perkembangan [[intelektual]], [[emosional]] dan [[sosial]] dalam kehidupan.
 
Ilmu keolahragaan juga mendasari refleksi kesehatan [[jasmani]] dalam diri seseorang. Refleksi yang muncul ialah bahwa dengan berolahraga atau melakukan aktivitas fisik yang [[sistematis]], seseorang dapat mengurangi risiko-risiko penyakit kronis, stres dan depresi, meningkatkan emosional, energi, kepercayaan diri dan kepuasan secara sosial.<ref name=":3">Sutisna, Entis (2019). Tugas Kajian Ilmu Keolahragaan. Mata Kuliah Ilmu Keolahragaan Program Sarjana Universitas Negeri Yogyakarta. https://www.scribd.com/embeds/451390195/content?start_page=1&view_mode=scroll&access_key=key-fFexxf7r1bzEfWu3HKwf</ref> Jadi, ada aspek partisipatif di dalam [[olahraga]]. Tidak hanya aspek [[jasmani]] tetapi juga [[sosial]]. [[Olahraga]] menyatukan [[individu]] dan [[komunitas]], menyoroti kesamaan dan menjembatani perbedaan budaya atau etnis. Ilmu keolahragaan tidak hanya diolah secara teoretis tetapi juga praktis. Bahkan, menjadi sarana meningkatkan kedisiplinan, kepercayaan diri, kepemimpinan, dan mengajarkan prinsip-prinsip inti seperti [[toleransi]], [[kerja sama]], dan sikap tenggang rasa. Dalam pada itu, hakikat olahraga menjadi diperluas ke arah relasionalitas antar [[manusia]].
 
Dari perspektif positivistik, ilmu keolahragaan menumbuhkan kepekaan [[sosial]] [[manusia]] dengan sesamanya. Benar bahwa sasaran dari pada [[olahraga]] adalah hal-hal yang bersifat [[jasmani]]. Akan tetapi, aspek positif dari [[olahraga]] membuat unsur-unsur [[permainan]], perjuangan, ketekunan diri selalu terhubung dengan [[interaksi]] terhadap lingkungannya serta manusianya sesuai dampak yang dihasilkan dari [[proses]] yang berlangsung di dalamnya. Hal ini menunjukkan bahwa secara [[teori]], [[olahraga]] membentuk sikap seseorang dan pemaknaannya terhadap sesama. Dengan cara itu, karakteristik dari [[olahraga]] sebagai sebuah ilmu pun tidak tertutup pada [[perubahan]] dan semakin kompleks karena [[motif]] yang ingin dicapai tidak hanya kekuatan [[jasmani]] tetapi juga lingkungan sosial budaya tempat pelaksanaannya.<ref name=":7" />
 
Secara sosiologis, ilmu keolahragaan dipandang sebagai bagian dari [[budaya]], dan karena itu masyarakatlah dapat membentuk olahraga macam apa yang menjadi bagian dari hidupnya. Itulah sebabnya dari waktu ke waktu pengertian [[olahraga]] berubah sesuai dengan pemaknaan sekelompok masyarakat.<ref>Newman, J. I., & Thorpe, H. (2021). Sport, Physical Culture, and New Materialisms: Part 2. ''Somatechnics'', ''11''(3), 317-321. https://www-euppublishing-com.wikipedialibrary.idm.oclc.org/doi/full/10.3366/soma.2021.0362</ref> Misalnya, dalam rentang sejarah tahun [[1960]]-an olahraga cenderung dimaknai sebagai perjuangan yang sifatnya pribadi. Lalu, sekitar tahun [[1972]] dimaknai bahwa [[olahraga]] adalah perjuangan yang sifatnya [[inklusif]]. Sifat dari [[olahraga]] menjadi [[spontan]], [[bebas]], dan tidak terbatas waktu. Dengan perhatian terhadap aspek [[sosial]], maka [[olahraga]] bukanlah semata-mata [[kompetisi]] yang berisi kegiatan perlombaan atau pertandingan untuk memperagakan prestasi yang optimal, bukan juga hanya kegiatan [[Tubuh|jasmani]] pada waktu senggang untuk membangun kebugaran [[jasmani]], melainkan suatu kajian yang berkorelasi dengan pemaknaan kemasyarakatan atau lingkungan sosial.
 
Sekalipun begitu, ilmu keolahragaan tidak dapat dilepaskan dari fakta bahwa dasarnya adalah kegiatan [[Tubuh|jasmani]], baik formal maupun non formal. Hal inilah yang membentuk persepsi bahwa kajian keolahragaan sangat kompleks sehingga pemahaman fundamental yang menyatakan bahwa olahraga adalah sebuah proses pembinaan kebugaran [[jasmani]] tidak dapat dipertahankan. [[Olahraga]] juga memiliki aspek [[intelektual]], [[hiburan]], dan [[kompetisi]] sehingga digolongkan ke dalam tiga ciri, yakni olahraga pendidikan (yang menekankan aspek kependidikan), olahraga rekreasi (yang menekankan sifatnya yang rekreatif), olahraga kompetitif (yang menekankan prestasi). Oleh karena itu, kegiatan jasmani yang kompleks ini sangat mungkin ditentukan perkembangannya sesuai dengan [[motif]] kelompok masyarakat tertentu sebagai pelakunya.<ref name=":1" />
 
Itulah sebabnya, jika ditelisik ke bagian dalam ilmu keolahragaan, terdapat wajahnya yang bersifat formal dan non formal. Sisi formal terlihat ketika olahraga ini menjadi kajian berpikir sedangkan sisi informal terlihat ketika olahraga menjadi aktivitas [[permainan]]. Dalam konteks ini, kriteria penilaian tertuju pada adanya faktor kebebasan dan kesadaran untuk melakukannya baik formal maupun non formal. Dengan kata lain, proses keilmuan dan kepraktisan [[olahraga]] didasarkan pada kesadaran [[manusia]] untuk melakukannya. Dalam kaitannya dengan [[proses]] tersebut, maka hakikat lainnya dari keolahragaan ialah perilaku yang mengeksplorasi kedalaman berpikir dan bertindak manusia. Wajahnya yang bersifat formal dan non formal menunjukkan bahwa secara keilmuan, [[olahraga]] merupakan sesuatu yang utuh. Tidak dapat dipisahkan karena hubungannya yang erat itu.<ref name=":2" />
 
Tidak dapat dipungkiri bahwa secara spesifik hakikat [[olahraga]] adalah juga performa. Gambaran yang lebih spesifik pada [[olahraga]] menekankan aspek gerak manusia sebagai unsur utama dalam kegiatan yang cenderung fisik tersebut. Orientasi fisik atau jasmani dalam olahraga merupakan ciri yang utama, sehingga di dalamnya terdapat unsur gerak yang melibatkan daya tahan, kecepatan, kekuatan, kekuasaan, dan keterampilan itu sendiri. Orientasi fisik inilah yang kemudian menimbulkan kenyataan bahwa dibutuhkan alat-alat, seperti [[bola]], [[raket]] dan yang menunjang [[olahraga]] sebagai aktivitas fisik atau jasmani tersebut. Meskipun begitu, hal ini tidak melepaskannya dengan aspek dorongan dalam diri manusia yang terkait dengan faktor [[sosial]] dan [[budaya]], pengaruh suasana kejiwaan, dan motif kompetisinya.<ref name=":2" />
 
Ilmu keolahragaan juga berorientasi pada aspek pelaksanaan [[olahraga]] karena tanpa pelaksanaan [[olahraga]] hanyalah sebuah kegiatan imajiner. Di dalam pelaksanaannya, aspek pedagogis dan sosial menjadi sangat kuat. Itulah sebabnya selalu ada pelatihan sebelum keolahragaan dipraktikkan. Dalam proses itu ada unsur pendidik dan peserta didik bahkan juga ada unsur persaingan untuk menunjukkan ketangkasan atau kelebihan [[individu]] yang terlibat di dalamnya. Perilaku [[olahraga]] itu juga sering digambarkan sebagai sesuatu yang riil, bukan bersifat entertain. Pelaksanaan olahraga menciptakan jati diri seorang olahragawan atau atlet. Jati diri yang tidak semata-mata terpaku pada pokok peranan yang telah ditetapkan dalam pelaksanaan tugas gerak berupa teknik-teknik dasar tetapi juga kesadaran untuk melakukannya secara nyata tanpa berpura-pura. Dengan demikian, pada aspek pelaksanaan masalah-masalah kecurangan itu diantisipasi. Tidak ada praktik “main sabun” dalam olahraga. Misalnya, [[sepakbola]] yang skornya sudah ditentukan.<ref name=":5" />
 
Sekalipun demikian, unsur jiwa dan raga yang merupakan potensi dari dalam pelaku [[olahraga]] membuat [[olahraga]] cenderung berkembang dengan mudah. Proses pengembangan potensi mengandung makna [[sosial]], artinya [[manusia]] tidak lagi memandang dirinya sebagai makhluk yang dapat berdiri sendiri, melainkan memerlukan manusia lain. Apabila proses tersebut dapat berjalan serasi dan [[optimal]], baik jasmani maupun rohaninya (cipta, rasa, dan karsa), pada gilirannya [[olahraga]] akan berkembang dengan sendirinya. Oleh karena itu, [[olahraga]] merupakan kebutuhan hidup [[manusia]]. Apabila seseorang melakukan [[olahraga]] dengan teratur, hal itu akan membawa pengaruh yang baik terhadap perkembangan jasmaninya. [[Olahraga]] dapat memberikan efisiensi kerja terhadap organ-organ tubuh sehingga peredaran [[darah]], [[pernafasan]], dan [[pencernaan]] menjadi teratur.<ref name=":8" />
 
Terkait dengan persoalan [[tubuh]] atau [[badan]] [[manusia]] yang menjadi landasan ilmu keolahragaan adalah bagaimana tubuh itu digerakkan. [[Gerak]] tubuh itu bukanlah sembarang [[gerak]], tetapi gerak yang ditentukan sedemikian rupa untuk maksud-maksud yang lebih manusiawi, sehingga secara hakiki objek studi keolahragaan adalah fenomena ”gerak manusia”. [[Olahraga]] adalah bentuk perilaku gerak manusia yang spesifik, dengan arah, tujuan, waktu, dan dilaksanakan sedemikian beragam. [[Gerak]] mencerminkan eskalasi kreativitas manusia karena dilakukan secara sadar dan untuk memenuhi motif-motif tertentu. Oleh karena itu, munculah pemahaman bahwa [[manusia]] harus menggerakkan dirinya secara sadar melalui pengalaman jasmani sebagai sarana untuk mencapai tujuan tertentu. Realisasi keterampilan [[gerak]] tidak dapat dicapai dan dipisahkan dari konteks lingkungan sehingga terbentuk aneka respon yang dapat dihayati dengan berbagai macam makna.<ref name=":9" />
 
Dari hakikatnya, terlihat bahwa ilmu [[olahraga]] menekankan prinsip [[logis]], [[sistematis]], novelitas, praktis, [[ilmiah]] dan kejujuran.<ref>Novelties in Sport Sciences: Novi Sad, Serbia. 11 September 2021. ''BMC Proceedings''. 2021;15(14):1-17. doi:10.1186/s12919-021-00227-2</ref> Prinsip-prinsip yang saling berkaitan satu dengan yang lain. Prinsip-prinsip yang menjauhkan keilmuan ini dari ketegangan-ketegangan yang membuatnya menjadi mudah disanggah kebenarannya. Dalam [[konteks]] ini, keilmuan olahraga menjadi bidang kajian yang kompleks dan multi dimensi sehingga pada dasarnya melibatkan diri manusia secara utuh dan membuka ruang kebersamaan yang [[dinamis]] terhadap perubahan sosial.
Baris 58:
Orientasinya dapat dikenali melalui [[motif]] sistem kerja ilmu keolahragaan yang bertujuan (1) [[Intelektual]], yaitu memelihara dan meningkatkan kesehatan, kebugaran, prestasi, kualitas manusia; (2) [[Emosional]], yaitu menanamkan nilai moral dan akhlak mulia, sportif dan disiplin; (3) [[Sosial]], mempererat dan membina persatuan dan kesatuan, memperkokoh nasionalisme, dan meningkatkan prestasi bangsa. Oleh karena itu, ruang lingkup ilmu keolahragaan ditentukan dari ketiga [[motif]] tersebut sehingga tampak kepermukaan tiga pilar keolahragaan sebagai bidang ilmu, yakni olahraga pendidikan, olahraga prestasi, dan olahraga rekreasi.<ref>Marwan, I. (2008). Prosedur Penelitian Keolahragaan (Pendekatan Praktik Eksperimen). ''Hasil Reviewer'', 1-198. http://repositori.unsil.ac.id/1366/1/Prosedur%20Penelitian%20Keolahragaan.pdf</ref> Ketiga [[pilar]] tersebut diinterpretasikan ke dalam pembinaan dan pengembangan olahraga secara sistematis, terstruktur dan berkelanjutan. Prosesnya dimulai dari pengenalan, pemahaman, penelusuran bakat, pengaderan, pemberdayaan, peningkatan prestasi, dan pencapaian prestasi.
 
Jika diuraikan secara terperinci, maka ruang lingkup dari ketiga [[pilar]] [[olahraga]] ditinjau berdasarkan motifnya ialah sebagai berikut:<ref name=":4">{{Cite web|title=Makalah Olahraga {{!}} PDF|url=https://id.scribd.com/document/527822418/makalah-olahraga|website=Scribd|language=id|access-date=2022-02-24}}</ref>
 
# Olahraga pendidikan (motif intelektual). Olahraga pendidikan menempatkan aktivitas [[olahraga]] dilaksanakan sebagai proses [[pendidikan]] yang teratur dan berkelanjutan untuk memperoleh pengetahuan mulai dari kepribadian, keterampilan, kesehatan, dan kebugaran fisik. Ketika seseorang atau sekelompok melakukan [[olahraga]] dengan tujuan untuk [[pendidikan]], maka semua aktivitas gerak diarahkan untuk memenuhi tuntutan tujuan pendidikan. Maka olahraga yang bertujuan untuk pendidikan identik dengan aktivitas dalam [[pendidikan]] [[jasmani]]. Ada tiga aspek pada olahraga pendidikan, yaitu aspek [[kognitif]], afektif dan psikomotorik. Ciri olahraga pendidikan antara lain memberikan kesempatan yang sama diselenggarakan oleh lembaga pendidikan, memberikan gerak kepada peserta didik sebesar-besarnya agar yang tidak bisa menjadi bisa, yang tidak tahu menjadi tahu dan dalam pembelajaran tidak membedakan antara peserta didik yang bisa dan yang belum bisa. Oleh karena itu, olahraga pendidikan dilaksanakan oleh satuan [[pendidikan]] baik satuan pendidikan formal maupun non formal, biasanya dilakukan oleh satuan pendidikan pada setiap jenjang [[pendidikan]] yang menekankan [[keadilan]]. Tentunya, pelaksana [[pendidikan]] tersebut ialah [[guru]] yang membidangi pendidikan jasmani dengan dibantu oleh tenaga [[olahraga]] untuk mewujudkan korelasinya dengan kurikulum keolahragaan. Di dalam konteks ini, sekolah dan juga sistem pendidikan menentukan arah daripada motif intelektual dari olahraga pendidikan. Artinya, kecenderungan untuk menjadikan olahraga sebagai sebuah aktivitas harian diantisipasi dengan realisasi dari struktur pendidikan yang sistematis.
Baris 66:
== Struktur ==
[[Berkas:7 Bidang teori ilmu keolahragaan.jpg|jmpl|7 Bidang teori ilmu keolahragaan]]
Ilmu keolahragaan sama seperti disiplin keilmuan lainnya bahwa ia memiliki bangunan [[struktur]]. Jika ilmu diibaratkan sebagai sebuah bangunan yang tersusun dari batu atau unsur dasar dalam kehidupan manusia, maka untuk mengumpulkan batu itu diperlukan proses yang panjang mulai dari [[pengamatan]], [[penelitian]] dan pengaplikasian batu tersebut ke dalam bangunan yang ada. Demikian halnya dengan ilmu keolahragaan, ada struktur yang membuatnya menjadi kajian [[ilmiah]]. Sehubungan dengan struktur tersebut, dalam kajian ilmu keolahragaan terdapat tujuh bidang [[teori]]. Ketujuh bidang [[teori]] yang dimaksud adalah sebagai berikut<ref name=":8">Williams, S. J., & Kendall, L. R. (2007). A profile of sports science research (1983–2003). ''Journal of science and medicine in sport'', ''10''(4), 193-200. https://www.sciencedirect.com/science/article/abs/pii/S1440244006001873</ref>:
 
# ''Ilmu kedokteran keolahragaan.'' Ilmu kedokteran keolahragaan merupakan bidang [[teori]] dalam [[olahraga]] yang mengkaji tentang cara mendiagnosa suatu cedera, cara pencegahan cedera, cara penanganan cedera, dan rehabilitasi cedera yang dialami saat berolahraga. Penerapan ilmu kedokteran ke dalam bidang olahraga berkembang pesat, terutama dalam aktivitas olahraga kompetitif. Faktor-faktor yang ada di dalam ilmu kedoteran keolahragaan antara lain: penelaahan kemampuan biologi, pencarian paramerter kemampuan biologi, penggunaan data medis untuk mengukur potensi pelaku olahraga, dan persoalan tentang gizi pelaku olahraga. Bidang [[teori]] ilmu ini memperlihatkan bahwa olahraga membantu pencapaian sehat bugar bagi kalangan masyarakat dalam rangka peningkatan kualitas hidup secara batiniah dan kualitas kinerja jasmaniah, sehingga menjadi pilar keselarasan, keseimbangan hidup sehat dan harmonis.
Baris 74:
# ''Pedagogi keolahragaan.'' Bidang ini mengkaji tentang keolahragaan sebagai sebuah proses [[belajar]] dan mengajar; dari tidak tahu menjadi tahu. Artinya bahwa dipersiapkan pemahaman dan pengertian yang tepat dalam aktivitas [[fisik]] tersebut sesuai dengan perkembangaan peserta didik. Hal-hal seperti strategi yang digunakan untuk menemukan potensi yang ada pada peseta didik dikaji secara holistik dan berkesinambungan. Konsentrasi masalah yang dapat digali dari wilayah ini ialah isu [[olahraga]] yang bersifat kependidikan, termasuk proses belajar-mengajar keterampilan kognitif, afektif, dan psikomotorik. Fokus kajiannya antara lain: [[teori]], praktik, fisik, psikis dan mental sehingga memiliki korelasi dengan peningkatan efektifitas pengajaran, kesiapan tenaga guru olahraga, dan penyelengaraan program minat dan keahlian. Bidang teori ini menunjukkan bahwa [[olahraga]] bertujuan untuk membangun manusia sehingga bisa menjadikan dirinya sebagai penopang bagi berfungsinya domain-domain berupa [[kognitif]], [[motorik]], afektif, dan emosional. Dengan begitu, manusia tumbuh dan berkembang secara wajar.
# ''Sejarah keolahragaan.'' Bidang ini mengkaji tentang [[sejarah]] perkembangan [[olahraga]], sejarah terbentuknya cabang- cabang olahraga yang ada saat ini, dan sejarah permulaan adanya acara pertandingan dan perlombaan di seluruh dunia. Subwilayah ini banyak membahas isu sejarah. Kaitannya memang erat dan yang menjadi [[topik]] utama antara lain asal mulanya, siapa tokohnya, [[teori]] yang dikembangkan dan pengaruhnya dalam ilmu keolahragaan.
# ''Filsafat keolahragaan.'' Bidang yang ketujuh ini merupakan salah satu bidang yang mempelajari tentang [[filsafat]] [[olahraga]]. Fokusnya ialah memberikan pemahaman terhadap hakikat dan [[kebenaran]] dalam [[olahraga]], sehingga para pelaku [[olahraga]] dapat memanfaatkan, mempelajari, mengajarkan dan mengembangkan [[olahraga]] dengan baik dan benar.<ref name=":7">Pramono, M. (2007). Dasar-Dasar Filosofis Ilmu Olahraga. ''Jurnal Filsafat'', ''13''(2). https://jurnal.ugm.ac.id/wisdom/article/view/31307</ref> Filsafat olahraga membahas secara kritis isu [[olahraga]]. Kajiannya antara lain: analisis kritis tentang hakikat olahraga dalam [[konteks]] pendidikan atau pembangunan, apa tujuan yang ingin dicapai, apa makna olahraga itu sedniri, bagaimana kaitan [[jiwa]] dan [[badan]] misalnya merupakan kajian folosofis.
 
== Metode penelitian ==
Baris 103:
* [[Guru]] atau [[Dosen]]. Profesi guru atau dosen memungkinkan kemajuan besar bagi keolahragaan sebagai bidang ilmu melalui keputusan untuk memberikan pengajaran. Artinya bahwa ketika seseorang terjun ke dalam [[profesi]] ini maka orientasinya ialah mempengaruhi dan memotivasi siswa untuk menanamkan semangat dan antusiasme terhadap dunia [[olahraga]]. Profesi ini terbuka bagi individu yang memang memiliki ketekutan sejak menggeluti bidang studi ini karena syarat yang dibutuhkan ialah memiliki hasil pendidikan yang bertanggungjawab.
* [[Ahli]] [[nutrisi]] [[olahraga]]. Profesi ahli nutrisi olahraga merupakan salah satu [[profesi]] yang agak khusus karena berfokus pada dunia keatletan, yakni bekejra bersama dengan atlet elit dan tim olahraga profesional atau dengan masyarakat yang menggeluti olahraga untuk membantu mereka mencapai kinerja [[individu]] atau tujuan [[kesehatan]] mereka. Objek dari profesi ini ialah bekerja dengan atlet atau dengan publik. Profesi ini mengurusi mencakup membuat, menyampaikan, dan mengevaluasi program diet, menilai komposisi [[tubuh]] atau melakukan analisis [[nutrisi]] untuk mendorong pelaku olahraga yang menjadi kliennya itu memilih makanan yang lebih sehat untuk memberi manfaat bagi kinerja dan tujuan jangka panjang tujuan mereka berolahraga. Artinya bahwa dibutuhkan semangat untuk memotivasi dan menyesuaikan keterampilan serta pelayanan bagi setiap individu, dan mampu memberikan saran, referensi, dan rencana spesial sehingga tidak membebani para pelaku [[olahraga]].
* [[Terapis]] [[olahraga]]. Profesi terapis olahraga mungkin terdengar asing, karena memang fokusnya kepada [[pengetahuan]] dan [[keterampilan]] [[klinis]] untuk menjadikan para pelaku [[olahraga]] percaya diri dan efektif dalam mencegah, menilai, merawat, dan merehabilitasi cedera mereka masing-masing. Profesi ini berkutat dalam masalah [[cedera]] dan bagaimana pelaku olahraga bisa sembuh secara maksimal dan mengubah akibat cederanya. Seorang terapis olahraga biasanya bekerja di lembaga olahraga profesional, semi-profesional, atau amatir, dan membuka praktik pribadi dalam sebuah klinik cedera olahraga. Misalnya, seorang kiropraktor yang akan mengurusi perawatan atlet atau olahragawan yang mengalami masalah neuromuskuloskeletal tulang belakang dan non-spinal.<ref name=":9">Nelson L, Pollard H, Ames R, Jarosz B, Garbutt P, Da Costa C. A descriptive study of sports chiropractors with an International Chiropractic Sport Science Practitioner qualification: a cross-sectional survey. ''Chiropractic & Manual Therapies''. 2021;29(1):1-6. doi:10.1186/s12998-021-00405-1</ref>
Sebagaimana profesi keahlian pada umumnya, dalam ilmu keolahragaan profesi-profesi tersebut didukung dengan karakteristik seorang yang memiliki semangat profesionalitas. Karakteristiknya adalah sebagai berikut:<ref>{{Cite web|last=Liputan6.com|date=2021-10-13|title=Profesi adalah Bidang Pekerjaan, Kenali Karakteristiknya|url=https://hot.liputan6.com/read/4683331/profesi-adalah-bidang-pekerjaan-kenali-karakteristiknya|website=liputan6.com|language=id|access-date=2022-02-25}}</ref>