Bahasa Indonesia: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
InternetArchiveBot (bicara | kontrib)
Rescuing 1 sources and tagging 0 as dead.) #IABot (v2.0.8.6
Zeochristoph (bicara | kontrib)
Tag: kemungkinan perlu pemeriksaan terjemahan Suntingan perangkat seluler Suntingan aplikasi seluler Suntingan aplikasi Android pranala ke halaman disambiguasi
Baris 50:
=== Zaman kerajaan Hindu-Buddha ===
{{Terlampau panjang}}
Sejumlah prasasti berbahasa [[Bahasa Melayu Kuno|Melayu Kuno]] dari [[Sriwijaya]] ditemukan di pesisir tenggara Pulau Sumatra. Hal ini menunjukkan bahwa bahasa Melayu menyebar ke berbagai tempat di Nusantara dari wilayah yang strategis untuk pelayaran dan perdagangan. Istilah ''Melayu'' adalah sebutan untuk [[Kerajaan Melayu]], sebuah kerajaan Hindu-Buddha yang bertempat di hulu sungai [[Batang Hari]].
 
Bahasa Melayu kuno yang digunakan pada saat itu menunjukkan penggunaan awalan ''ni-'' dan ''mer-'', bukan ''di-'' dan ''ber-''. Contohnya ''merwuat'' "berbuat", "melakukan" dan ''nimakan'' "dimakan". Ini menunjukkan kemiripan dan relasi dengan bahasa Proto-Melayu-Polinesia dan Proto-Austronesia. Kedua awalan ini muncul di prasasti-prasasti tersebut.
 
Huruf "h" di awal kata masih dijaga, mencerminkan asalnya utamanya dari bahasa Proto-Austronesia *q. Contohnya pada kata ''hujung'' "ujung" dan ''mahu'' "mau", "bermaksud". Di beberapa dialek dan bahasa Melayu modern, "h" di awal kata masih dijaga, sementara di yang lain hilang atau dianggap tidak baku. Misalnya, ''item'' "hitam" dan ''hutang'' "utang". Namun, beberapa kata seperti ''hati'' tidak berubah menjadi ''*ati'' dalam bahasa Indonesia. Hilangnya huruf "h" ini dapat didorong oleh pengucapan "r" yang cenderung uvular ([ʀ], [ʁ]), lokasi yang hampir sama dengan "h".
 
Sementara itu, istilah ''Melayu'' adalah sebutan untuk [[Kerajaan Melayu]], sebuah kerajaan Hindu-Buddha yang bertempat di hulu sungai [[Batang Hari]].
 
Pada awalnya, istilah tersebut merujuk pada wilayah kerajaan Melayu yang yang merupakan bagian wilayah pulau Sumatra. Namun, seiring berkembangnya zaman, istilah ''Melayu'' mencakup wilayah geografis tidak hanya merujuk pada Kerajaan Melayu, melainkan negeri-negeri di pulau Sumatra. Karena itu, Sumatra dijuluki sebagai Bumi Melayu ({{lang-id|Tanah Melayu}}), yang disebutkan dalam [[Kakawin Nagarakretagama]].
Baris 62 ⟶ 68:
Dalam perkembangannya, istilah Melayu kemudian mengalami perluasan makna, sehingga muncul istilah Kepulauan Melayu untuk menamakan kepulauan Nusantara.
 
Secara sudut pandang historis, istilah Melayu juga dipakai sebagai nama bangsa yang menjadi nenek moyang penduduk kepulauan Nusantara, yangterutama dikenaldalam sebagai rumpun Indo-Melayu terdirikonsep [[Proto Melayu]] (Melayu Tua/Melayu-Polinesia) dan [[Deutero -Melayu]], migrasi bangsa (Melayu Muda).yang Setelahdibagi mengalamidalam kurundua masagelombang. yangSaat panjangini sampaikonsep dengandua kedatangangelombang danmigrasi perkembangannyatersebut agamasudah Islamdianggap usang, sukukarena Melayusekarang sebagaidipahami etnikbahwa mengalaminenek penyempitanmoyang maknapenduduk menjadikepulauan sebuahNusantara etnoreligiusdikenal (Muslim)sebagai yangrumpun sebenarnya[[Melayu-Polinesia]], disalah dalamnyasatu jugadari telahdua mengalamicabang amalgamasiutama darisuku beberapabangsa unsurAustronesia etnik(lainnya adalah [[Formosa]]).
 
Selanjutnya setelah sampai pada kedatangan dan perkembangan agama Islam, suku Melayu sebagai etnik mengalami penyempitan makna menjadi etnoreligius (Muslim) yang sebenarnya di dalamnya juga telah mengalami amalgamasi dari beberapa unsur etnik.
 
M. Muhar Omtatok, seorang seniman, budayawan dan sejarawan menjelaskan sebagai berikut: "Melayu secara puak (etnik, suku), bukan dilihat dari faktor genekologi seperti kebanyakan puak-puak lain. Di Malaysia, tetap mengaku berpuak Melayu walau moyang mereka berpuak Jawa, Mandailing, Bugis, Keling dan lainnya". Beberapa tempat di Sumatra Utara, ada beberapa komunitas berdarah Batak yang mengaku sebagai Orang Kampong–Puak Melayu".