Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Kanzcech (bicara | kontrib)
kTidak ada ringkasan suntingan
Kanzcech (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 171:
Sumber ekonomi utama yang tersedia bagi Kesultanan Yogyakarta adalah tanah, hutan kayu keras, perkebunan, pajak, dan uang sewa. Oleh karena itu sistem ekonomi tidak bisa lepas dari sistem [[agraria]]. Sultan menguasai seluruh tanah di Kesultanan Yogyakarta. Dalam birokrasi kerajaan, pertanahan diurus oleh Kementerian Pertanahan, Kanayakan Siti Sewu. Urusan tanah di Kesultanan Yogyakarta dibagi menjadi dua bentuk yaitu tanah yang diberikan Sultan kepada anggota keluarga kerajaan dan tanah yang diberikan kepada pegawai kerajaan. Tanah tersebut berlokasi teritori Nagara Agung, khususnya daerah Mataram, dan disebut sebagai [[Tanah bengkok#tanah lungguh|tanah lungguh]] (''apanage land''/tanah jabatan). Tanah yang berada dalam pemeliharaan para keluarga kerajaan dan pegawai kerajaan tersebut juga digunakan oleh masyarakat umum sebagai tempat tinggal dan pertanian dari generasi ke generasi. Sebagai imbalannya mereka menyetor sebagian hasil panen sebagai bentuk pajak. Sekalipun kaum ningrat dan rakyat umum memiliki kebebasan dalam mengatur, mengolah, dan mendiami tanah tersebut mereka tidak diijinkan untuk menjualnya.
 
Selain itu kerajaan juga menerima penerimaan yang besar dari penebangan hutan kayu keras dalam skala besar sejak Sultan [[Hamengkubuwana I|HB I]]. Pada [[1821]] pemerintahan [[Hindia Belanda]] memperoleh hak atas hasil penebangan dari hutan kayu keras dan istana bertanggung jawab atas manajemen dan eksploitasinya. Pada [[1848]] sebuah peraturan mengharuskan Sultan memenuhi kebutuhan kayu keras pemerintah jajahan dan dalam ganti rugi Sultan memperoleh biaya penebangan dan pengangkutan kayu. Pada [[1904]] di masa pemerintahan Sultan HB VII, manajemen hutan kayu keras di Gunung Kidul diambil alih oleh pemerintah Hindia Belanda. Sebagai kompensasi atas persetujuan itu, istana memperoleh kayu keras gratis untuk konstruksi istana ''Ambar Rukmo'' dan ''Ambar Winangun''.
 
Perkebunan yang dikembangkan di Yogyakarta, terutama setelah [[1830]], adalah kopi, tebu, nila, dan tembakau. Kebanyakan perkebunan ditangani oleh perkebunan swasta asing. Jumlah perkebunan yang semula ada 20 buah pada tahun 1839 meningkat menjadi 53 pada tahun [[1880]], seiring pertumbuhan ekonomi, sistem penyewaan tanah, dan pembangunan infrastruktur.
 
Restrukturisasi pada zaman Sultan [[Hamengkubuwana IX|HB IX]] karena dihadapkan pada beban ekonomi dan sumber yang terbatas. Pada [[1942]], Sultan tidak melaporkan secara akurat jumlah produksi beras, ternak, dan produk lain untuk melindungi rakyat dari Jepang. Sultan juga membangun kanal guna meningkatkan produksi beras dan untuk mencegah rakyat Yogyakarta dijadikan [[romusa]] oleh Jepang.
 
== Kebudayaan, pendidikan, dan kepercayaan ==
[[Berkas:Donopratopo1.gif|200px|jmpl|ka|Gerbang Danapratapa, Keraton Yogyakarta, antara seni, filsafat, kosmologi, kebiasaan umum (adat istiadat), sistem kepercayaan, pandangan hidup, dan pendidikan yang tak terpisahkan dalam kebudayaan Jawa.]]
 
Sebagaimana masyarakat [[Jawa]] pada umumnya, kebudayaan di Kesultanan Yogyakarta tidak begitu memiliki batas yang tegas antar aspeknya. Kebiasaan umum (adat istiadat), kepercayaan, seni, pandangan hidup, pendidikan, dan sebagainya saling tumpang tindih, bercampur dan hanya membentuk suatu gradasi yang kabur. Sebagai contoh seni arsitektur bangunan [[keraton]] tidak lepas dari konsep ''“Raja Gung Binathara”'' (raja yang agung yang dihormati bagaikan dewa) yang merupakan pandangan hidup masyarakat yang juga menjadi bagian dari sistem kepercayaan (penghormatan kepada dewa/tuhan).
 
Beberapa tarian tertentu, misalnya ''Bedhaya Ketawang'', selain dianggap sebagai seni pertunjukan juga bersifat sakral sebagai bentuk penghormatan kepada leluhur pendiri kerajaan dan penguasa alam. Begitu pula benda-benda tertentu dianggap memiliki kekuatan magis dan berkaitan dengan dunia roh dalam pandangan hidup masyarakat. Oleh karenanya dalam pergaulan sehari-haripun ada pantangan yang bila dilanggar akan menimbulkan kutuk tertentu bagi pelakunya. Ini pula yang menimbulkan tata kebiasaan yang diberlakukan dengan ketat.
 
Kebudayaan tersebut diwariskan dari generasi ke generasi berdasar cerita dari mulut ke mulut. Pelajaran tentang kehidupan disampaikan melalui cerita-cerita ''[[wayang'']] yang pada akhirnya menumbuhkan kesenian pertunjukkan [[wayang kulit]] maupun wayang jenis lain. Selain itu wejangan dan nasihat tentang pandangan hidup dan sistem kepercayaan juga ditransmisikan dalam bentuk ''[[tembang'']] (lagu) maupun bentuk sastra lainnya. Semua hal itu tidak lepas dari sistem bahasa yang digunakan dan membuatnya berkembang. Dalam masyarakat dipakai tiga jenjang bahasa yaitu ''Ngoko'' (bahasa Jawa rendah), ''Krama Andhap'' (bahasa Jawa tengah), dan ''Krama Inggil'' (bahasa Jawa tinggi). Aturan pemakaian bahasa tersebut sangat rumit, namun tercermin budaya penghormatan dan saling menghargai. Ada satu lagi bahasa yang khusus dan hanya digunakan di lingkungan istana yang disebut dengan Bagongan yang lebih mencerminkan pandangan hidup kesetaraan kedudukan di antara pemakainya.
 
[[Berkas:COLLECTIE TROPENMUSEUM Beksan Entheng dansers aan het hof van de sultan van Jogjakarta TMnr 60027246.jpg|jmpl|Para penari tarian ''Beksan Entheng'', sekitar tahun 1870.]]
Perkembangan budaya sebagaimana dijelaskan di awal tidak lepas pula dari sistem pendidikan. Pada mulanya sistem pendidikan yang digunakan meneruskan sistem yang digunakan zaman Mataram. Pendidikan formal hanya dapat dinikmati oleh keluarga kerajaan. Pendidikan itu meliputi pendidikan agama dan sastra. Pendidikan agama diselenggarakan oleh ''Kawedanan Pengulon''. Pendidikan ini berlokasi di kompleks masjid raya kerajaan. Pendidikan sastra diselenggarakan oleh ''Tepas Kapunjanggan''. Kedua pendidikan ini satu sistem dan tidak terpisah. Para siswa diberi pelajaran agama, [[bahasa Jawa]], budaya, dan literatur (''serat'' dan ''babad'').
 
Pendidikan barat baru diperkenalkan oleh pemerintah penjajahan pada awal abad 20. Pada pemerintahan Sultan [[Hamengkubuwono VIII|HB VIII]] sistem pedidikanpendidikan dibuka untuk umum. Mula-mula sekolah dasar dibuka di ''Tamanan'' dan kemudian dipindahkan di ''Keputran''. Sekolah ini masih ada hingga sekarang dalamdengan bentuknama SD NNegeri Keputran. Pendidikan lanjut memanfaatkan pendidikan yang dibuka oleh pemerintah penjajahan seperti ''HIS'', ''Mulo'', dan ''AMS B''. Muncul pula sekolah guru dari kalangan Muhammadiyah [[Muallimin|Hogere School Moehammadijah]] pada [[1918]] (kini bernama [[Muallimin]]). Pada [[1946]] kesultanan ikut serta dalam mendirikan Balai Perguruan Kebangsaan Gajah Mada yang pada [[1949]] dijadikan [[UGMUniversitas Gadjah Mada]] (UGM).
 
Sebagai sebuah Kesultanan, [[Islam]] merupakan kepercayaan resmi kerajaan. Sultan memegang kekuasaan tertinggi dalam bidang kepercayaan dengan gelar ''Sayidin Panatagama Khalifatullah''. Walaupun demikian kepercayaan-kepercayaan lokal (baca: [[kejawen]]) masih tetap dianut rakyat disamping merekameski menyatakan diri sebagai orang Islam. Berbagai ritus kepercayaan lokal masih dijalankan namuntetapi doa-doa yang dipanjatkan diganti dengan menggunakan bahasa Arab. Hal ini menujukkan sebuah kepercayaan baru yang merupakan sinkretis[[sinkretisme]] antara kepercayaan Islam dan kepercayaan lokal. Gerakan ''puritan'' untuk membersihkan Islam dari pengaruh kepercayaan lokal dan westernisasi baru muncul pada tahun [[1912]] seiring dengan tumbuh dan berkembangnya organisasi Islam [[Muhammadiyah]] dari kalangan ''Imam Kerajaan''. Pada perkembangan selanjutnya kawasan ''[[Kauman'', Yogyakarta]] yang menjadi tempat tinggal para Imamimam Kerajaankerajaan menjadi pusat gerakan puritan itu.
 
== Pertahanan dan keamanan ==
Pada mulanya sistem birokrasi pemerintahan menganut sistem militer sebagaimana kerajaan Mataram. Seorang pegawai pemerintah juga merupakan seorang serdadu militer. Begitu pula para pimpinan kabinet kerajaan karena jabatannya merupakan komandan militer, bahkan kalau perlu mereka harus ikut bertempur membela kerajaan. Walaupun begitu, untuk urusan pertahanan terdapat tentara kerajaan yang dikenal dengan ''abdi Dalem Prajurit''. Tentara Kesultanan Yogyakarta hanya terdiri dari angkatan darat saja yang dikelompokkan menjadi sekitar 26 kesatuan. Selain itu terdapat pula [[paramiliter]] yang berasal dari rakyat biasa maupun dari pengawal para penguasa di MoncanagaraMancanagara.
 
Pada paruh kedua abad ke-18 sampai awal abad ke-19 tentara kerajaan di Yogyakarta merupakan kekuatan yang patut diperhitungkan. Walaupun Sultan merupakan [[panglima tertinggi]], namun dalam keseharian hanya sebagian saja yang berada di dalam pengawasan langsung oleh Sultan. Sebagian yang lain berada di dalam pengawasan [[putra mahkota|adipati anom]] dan para pangeran, serta pejabat senior yang memimpin kementerian/kantor pemerintahan. Kekuatan pertahanan menyurut sejak diasingkannya Sultan HB II akibat peristiwa [[Geger Sepehi]] pada Juni 1812, dan ditanda tanganinyaditandatanganinya perjanjian antara HB III dengan [[Raffles]] pada [[1812]]. Perjanjian itu mencantumkan Sultan harus melakukan [[demiliterisasi]] birokrasi kesultanan. Sultan, pangeran, dan penguasa daerah tidak boleh memiliki tentara kecuali dengan izin pemerintah Inggris dan itupun hanya untuk menjaga keselamatan pribadi sang pejabat.
 
Kekuatan pertahanan benar-benar lumpuh setelah selesainya [[perangPerang Diponegoro]] pada tahun [[1830]]. Tentara Kesultanan Yogyakarta hanya menjadi pengawal pribadi Sultan, Putra Mahkota, dan Pepatih Dalem. Jumlahnya sangat dibatasi dan persenjataannya tidak lebih dari senjata tajam dan beberapa pucuk senapan tua. Pertahanan menjadi tanggung jawab pemerintah Hindia Belanda. Sebagai pengganti kekuatan militer yang dikebiri, Kesultanan Yogyakarta dapat membentuk polisi untuk menjaga keamanan warganya. Pada [[1942]], untuk mengindari keterlibatan kesultanan dalam [[perangPerang Pasifik]], Sultan membubarkan tentara kesultanan. Keputusan ini kemudian dikukuhkan dalam perintah Pemerintah Militer Angkatan Darat XVI Jepang pada bulan Agustus 1942. Dengan demikian kesultanan tidak memiliki lagi kekuatan militer.
 
=== Prajurit Kraton Yogyakarta ===
Baris 227:
{{Wikisource|Halaman:TDKGM 01.186 Amanat Sri Sultan Hamengku Buwana IX tanggal 5 Puasa Ehe 1876 (5 September 1945).pdf/1}}
 
Pada saatSetelah Proklamasi Kemerdekaan RI, Sultan [[Hamengkubuwana IX]] dan Sri Paduka [[Paku Alam VIII]] mengirim kawat kepada Presiden RI, menyatakan bahwa Daerah Kesultanan Yogyakarta dan Daerah Pakualaman menjadi bagian wilayah Negara Republik Indonesia, serta bergabung menjadi satu, mewujudkan sebuah [[Daerah Istimewa Yogyakarta]] yang bersifat kerajaan. Sultan Hamengkubuwana IX dan Sri Paduka Paku Alam VIII kemudian menjadi Kepala Daerah Istimewa dan Wakil Kepala Daerah Istimewa dan bertanggung jawab langsung kepada [[Presiden Republik Indonesia]].
 
Pada tahun 1950 secara resmi ''Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat'' ini, bersama-sama dengan Kadipaten Pakualaman menjadi [[Daerah Istimewa Yogyakarta]], sebuah daerah berotonomi khusus setingkat provinsi sebagai bagian Negara Kesatuan Indonesia. Dengan demikian status ''Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat'' sebagai sebuah negara (''state'') berakhir dan menjelma menjadi pemerintahan daerah berotonomi khusus. Sedangkan institusi istana kemudian dipisahkan dari "negara" dan diteruskan oleh Keraton Kasultanan Yogyakarta.
 
== Keraton Yogyakarta ==
Baris 248:
 
== Masalah suksesi Kraton ==
Sultan Hamengkubuwana X menghadapi persoalan terkait penerusnya karena tidak memiliki putra. Masalah ini mengemuka ketika terjadi pembahasan Raperda Istimewa tentang Pengisian Jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur sampai Sultan HB X secara mendadak mengeluarkan '''Sabdatama''' pertama<ref>{{cite news|url=http://regional.kompas.com/read/2015/03/06/12440311/Raja.Jogja.Mendadak.Keluarkan.Sabdatama|title=Raja Jogja Mendadak Keluarkan Sabdatama|publisher=Kompas.com|date=6 Maret 2015|accessdate=6 Maret 2015|author=Wijaya Kusuma}}</ref> pada [[6 Maret]] [[2015]]. Dalam [[s:Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2012|UU No. 13 Tahun 2012]] tentang Keistimewaan Yogyakarta Pasal 18 ayat (1) huruf m disebutkan bahwa salah satu syarat menjadi gubernur DIY adalah "''menyerahkan daftar riwayat hidup yang memuat, antara lain riwayat pendidikan, pekerjaan, saudara kandung, istri, dan anak;"'' yang dianggap <u>hanya memberikan kesempatan kepada laki-laki</u> untuk menjadi kandidat Sultan selanjutnya.
 
=== Sabdaraja ===