Teologi pembebasan dalam Islam: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Baris 75:
Al-Qur’an memerintahkan orang-orang yang beriman agar berkeyakinan, berjuang melawan ketidakadilan dan agar tidak berputus asa serta menyerah pasrah. Hal ini merupakan bagian yang paling mendasar dalam teologi pembebasan.
Kita telah banyak mengupas masalah “perjuangan” yang ditekankan oleh Kitab Suci Al-Qur’an. Seluruh usaha ini didasarkan pada jihad guna melakukan pembebasan, bukannya jihad untuk melakukan perang, sebagaimana sering dimaknai oleh orang yang tidak hati-hati dalam menangkap semangat teks suci tersebut. Kita telah mengutip sejumlah ayat Al-Qur’an untuk menjelaskan substansi tesis dalam teologi pembebasan ini. Selanjutnya kita akan membahas banyak aspek teologi yang penting yang sangat relevan dengan teologi pembebasan dalam Islam. Aspek ini bersifat sosial dan juga filosofis. Untuk memulainya, akan diajukan sebuah pertanyaan, apakah manusia dalam berbuat memiliki kehendak bebas atau tidak ? Selain itu, kita juga akan mebahas masalah hak milik, secara sosial dan personal.
Masa awal perkembangan Islam, yakni selama pemerintahan empat khalifah pertama, umat disibukkan dengan perjuangan untuk mempertahankan Islam dan juga menyebarluaskannya ke jazirah Arab. Selama periode tersebut, kajian, perdebatan dan pertanyaan-pertanyaan yang tajam dan cerdas tentang filsafat seperti yang telah disebutkan di atas tidak pernah muncul. Manusia dalam bekerja merasa yakin dapat meraih tujuan hidup dan menggapai masa depannya, manusia memahami dirinya bukan sebagai orang yang tidak berdaya dan ditentukan oleh pihak di luar dirinya. Kehendak Allah dimengerti sebagai puncak inspirasinya, kehadirannya (''innate'') dan kedalamannya (''interiorised''). Tema-tema ketidakberdayaan manusia, determinasi dan ketergantungan manusia hanya muncul ketika manusia dimanjakan oleh kekuasaan yang mapan, yang menguatkan ''status quo''.
Teologi Islam mulai bergulat dengan masalah kehendak bebas ''vis a vis'' ketundukan pada takdir (''pre-determinasi''), dimulai setelah munculnya pemerintahan Umayyah yang kuat dan mapan yang dipegang oleh Amir Mu’awiyah, musuh khalifah Ali. Amir Mu’awiyah dan pengikutnya menetapkan dan memperkokoh aturan yang bersifat dinastik yang sangat mereduksi semangat Islam, yakni semangat berdemokrsi. Orang-orang yang berseberangan dengan dinasti Umayyah, yakni kaum Syiah (pengikut Ali), dibunuh dengan cara-cara di luar batas perikemanusiaan. Jihad diserukan untuk melawan ''mustakbirin'' (orang yang sombong dan sangat kuat) untuk membebaskan kaum yang tertindas dan lemah (“Mengapa kamu tidak berperang di jalan Allah dan membela orang yang tertindas, laki-laki dan perempuan dan anak-anak yang berkata, “Tuhan kami! Keluarkan kami dari kota ini yang penduduknya berbuat dzalim. Berilah kami perlindungan dan pertolongan dari-Mu. “ 4:75), namun pada saat itu, jihad dikumandangkanuntuk melawan musuh-musuh Umayyah, dan untuk mengkonsolidasikan kekuasaan Amir.
Kekuasaan Umayyah yang dimulai dari Amir Mu’awiyah sebagai pendidinya mulai menyebarkan dogma pre-determinasi sebagai lawan dari kehendak bebas, dalam rangka untuk mempertahankan ''status quo'' yang mereka ciptakan. Sejak saat itu peham kehendak bebas dan pre-determinasi menjadi bahan diskusi yang intensif dalam teologi Islam, orang-orang yang beroposan dengan penguasa mendukung paham kehendak bebas, sedangkan yang sejalan dengan penguasa mendukung paham pre-determinasi. Dalam teologi Islam yang digunakan para teolog untuk menyebut paham kehendak bebas adalah ''ikhtiyar,'' dan untuk paham pre-determinasi adalah ''jabr,'' Menarik untuk dicatat bahwa istilah-istilah ini diciptakan oleh para teolog Mu’tazilah yang mendirikan sebuah kelompok intelektual Islam. Mereka juga dikenal sebagai ''al’adl wa al-tawhid.''
Di sini perlu diperjelas tentang pengertian dua istilah yang diperdebatkan itu. ''Jabr'' berkonotasi bahwa individu dan masyarakat itu tidak mempunyai kebebasan untuk berkehendak, sedangkan ''ikhtiyar'' bermakna pilihan untuk melakukan sesuatu. Orang yang mengikuti pendapat pertama disebut ''jabariyah'' dan yang ke dua disebut ''qadariyah.''
Berbedea dengan Mu’tazilah, Khawarij (orang-orang yang melepaskan diri) juga cenderung pada paham kehendak bebas dan revolusi. Mereka sangat menentang Imam ''al-jaur'' (penguasa tiran) dan manjadi oposisi bagi penguasa yang seperti itu dan melakukan perlawanan terhadapnya merupaka bagian integrasi dari teologi mereka. Mereka juga menentang aturan-aturan yang bersifat dinastik (''dynastic rule'') dan menyakini kesamaan hak diantara umat Islam, serta menegaskan bahwa syarat untuk menjadi pegawai pemerintahan tidak didasarkan pada kesukuan atau daerah asal. Sedangkan kaum Syiah yang juga dikenal dengan nama Zaidiyah juga mempunyai pendapat sendiri tentang kriteria imamah, yakni penguasa itu harus menyerukan jihad untuk melawan pihak yang besikap tirani atau kemapanan yang menindas. Keduanya, Khawarij dan Zaidiyah, banyak melakukan pemberontakan malawan dinasti Umayyah dan bahkan beberapa di antara mereka dibunuh. Zaidiyah ini, menarik untuk dicatat, berada di bawah pengaruh pendiri Mu’tazilah (kelompok para pemikir), Wasil bin Ata.
Imam Hasan, puta Ali tertua yang termasyhur, yang mana pemerintahan ayahnya diambilalih oleh Amir Mu’awiyah, terlibat secara aktif dalam pemberontakan melawan Amir dan dia menekankan pentingnya ikhtiyar. Dalam salah satu suratnya yang ditujukan kepada masyarakat Basrah, sebuah kota di Irak, dia mengatakan bahwa manusia itu berbuat menurut kehendaknya (''sani’i af alihi''), baik perbuatan buruk atau baik. Menurutnya, Allah tidak bertanggungjawab atas perbuatan manusia, Allah tidak memaksa manusia untuk berbuat sesuatu; jika Allah memaksakan kehendak-Nya pada manusia, maka pahala dan dosa tidaklah berlaku.
Ali, khalifah Islam keempat dan pemikir pada permulaan Islam, juga menganut paham kehendak bebas. Namun demikian, pandangan Ali ini lebh seimbang. Ketika dia ditanya apakah manusia itu mempunyai kehendak bebas atau tidak, Ali lantas meminta orang yang bertanya tersebut untuk mengangkat salah satu kakinya, dan kemudian mengangkat kedua kakinya, dan tentu saja orang tadi tidak bisa melakukannya. Kemudian Ali berkata bahwa manusia itu sebenarnya mempunyai kebebasan yang terbatas. Manusia memiliki kebebasan sampai batas tertentu dan juga ketergantungan pada kekuatan di mluar dirinya. Amun demikian, ketika ada seorang Arab bertanya Ali tentang ''qada'' dan ''qadar'' dalam kaitannya dengan pemberontakan yang dilakukan oleh musuhnya, Mu’awiyah, dia mengatakan bahwa manusia itu bertanggungjawab atas perbuatannya dan bhahwa nasib itu tidak ada, dan t6akdir bukanlah ketentuan final. Jika tidak demikian, maka konsep pahala dan dosa tidak berlaku karena Allah telah menentukan manusia untuk berbuat baik dan mecegahnya dari perbuatan buruk. Akan tetapi sesungguhnya, manusia itu mempunyai pilihan. (Lihat ''Nahj al-Balaghah,''Cairo, 1968:375).
Imam Hasan al-Bisri, seorang teolog yang tersohor pada zaman Umayyah, juga berpendapat, dalam suratnya kepada penguasa Umayyah, ‘Abd al-Malik ibn Marwan (685-728), bahwa seluruh umat Islam zaman dahulu (berarti temasuk semua sahabat Nabi dan orang-orang sebelum dinasti Umayyah berkuasa) menganut konsep ikhtiyar dan ''mas’uliyah'' (pertanggungjawaban atas perbuatannya). Dia juga menyebutkan secara jelas dalam surat tersebut bahwa konsep ''jabr'' berasal dari dan disebarluaskan oleh Umayyah. (Lihat ''Rasa’i al-Adl wa al-Tauhid.'' Vol. I, Cairo, 1971:83-84).
Kita lihat bahwa ajaran kehendak bebas dan pre-determinasi mendapat tempat yang sangat besar dai dalam teologi Islam. Mereka yang berjuang melawan penindasan dan eksploitasi mendukung ajaran kehendak bebas, sedangkan mereka yang menginginkan kemapanan memilih ajaran pre-determinasi dan percaya pada nasib dan takdir. Golongan Syi’ah, Khawarij dan Mu’tazilah, seluruhnya merupakan oposan dari pemerintahan Umayyah yang menindas dan eksploitatif, menganut ajaran kehendak bebas. Manusia bukan hanya sebuah mainan yang berada di tangan sang takdir, nasibnya tidak sepenuhnya ditentukan oleh Allah. Dan sejauh ini, menurut teologi pembebasan, manusia itu bebas dan bertanggungjawab atas perbuatannya. Manusia diciptakan Allah untuk menentukan nasibnya sendiri di dalam batas-batas (''hudud'') yant ditetapkan Allah atau untuk melewati batas-batas ini, dan dalam hal tanggung jawab, manusia adalah makhluk yang memiliki kehendak bebas. Jika konsep ''qada'' dan ''qadar'' diterima, maka manusia ditakdirkan untuk menerima sesuatu yang betentangan dengan yang seharusnya. Kebanyakan teolog yang pro kemapanan menolak konsep kehendak bebas dan mengnggap manusia sebagai sebuah wayang yang berada di tangan sang nasib.
Di balik semua perdebatan yang melibatkan para teolog dan intelektual pada saat itu, ada sebuah ''joke'' yang menarik. Ceritanya ada seorang jabariyah yang berasal dari Bagdad datang ke Basra yangt merupakan pusat golongan Mu’tazilah. Dia mengunjungi salah seorang tokoh Mu’tazilah yang terkenal, yaitu Abul Hudhail al-‘Allaf, dan bertanya kepdanya tentang nasib (dia mengira pertanyaannya itu tidak akan bisa dijawab oleh ‘Allaf). Katanya, “Siapakah yang menyebabkan dua orang berbuat zina ?”segera ‘Allaf menjawab, “Saudaraku, di Basrah mereka yang berzinah mengatakan bahwa yang menyebabkannya sehingga melakukan hal itu adalah mucikari, dan saya harap masyarakat Baghdad dapat menerima jawaban ini. “Mendengar jawaban ini, orang dari Baghdad itu merasa sangat malu dan hanya bisa terdiam.
Secara umum kaum Sufi menolak penguasa tiram yang sangat bersimpati pada orang-orang yang tertindas dan tersisih meskipun kaum Sufi itu tidak percaya pada usaha aktif untuk membebaskan mereka dan cenderung manarik diri dari keberusahaan serta menceburkan diri pada takdir. Namun demikian, rasa simpatinya pada kelompok yang tertindas itu telah menempatkannya di pihak yang menganut ajaran kehendak bebas. Sufi besar Muhiuddin Ibn ‘Arabi, pencetus ajaran ''Wahdat al-Wujud'' (Kesatuan Wujud), juga percaya pada kehendak bebas manusia. Dia membicarakan masalah ini secara panjang lebar dalam bukunya yang terkenal ''Fushush al-Hikam.''
Ibn ‘Arabi percaya pada konsep pertanggungjawaban manusia atas perbuatannya. Dalam perdebatan ini, dia mengatakan bahwa Allah mempunyai pengetahuan yang luas, namun tidak berarti pengetahuan-Nya itu membatasi perbuatan manusia. Allah telah memberikan kebebasan kepada manusia dan memberikan petunjuk, bukan menentukan segalanya. Menurut Ibn ‘Arabi, pengetahuan Allah hanya bersifat mengetahui, tidak menakdirkan. Pengetahuan Allah harus dipahami bahwa Dia mengetahui apa yang akan terjadi dengan makhluk-makhluk-Nya ketika mereka melakukan suatu perbuatan, dan adalah pilihan mereka sendiri manakala mereka melakukan perbuatan tersebut. Oleh karena itu, menurut ibn ‘Arabi, pengetahuan yang (telah) dimiliki Allah ntidak melahirkan ketentuan yang membatasi manusia. Dia mengutip ayat Al-Qur’an, “Bukannya kami yang menyengsarakan mereka, namun mereka yang nmenganiaya diri sendiri”. Ibn ‘Arabi menyakatan secara terbuka bahwa manusia itu bebas dan bertanggung jawab atas tindakan-perbuatannya. Dengan pasti ia katakan bahwa manusialah yang mengatur dan melaksanakannya, bukannya yang ''Haqq''. (Lihat ''Fushush al-Hikam,''Cairo, 1964:82).
Teologi pembebasan memandang konsep pre-determinasi dalam perspektif yang proporsional.; biasanya dalam teologi yang tradisional, ketundukan kepada Allah mengimplikasikan penyerahan diri secara pasif kepada kemauan Allah. Namaun demikian, sebenarnya jika dilakukan penelitian yang cermat terhadap teks Al-Qur’an tidak akan menghasilkan kesimpulan yang tegas. Allah itu Maha Kuasa, namun bukan berarti bahwa manusia itu tidak mempunyai kebebasan atau tidak mempunyai inisiatif. Maksudnya kata-kata Allah Maha Kuasa adalah bahwa dia berkuasa membuat hukum alam dan memberikan kebebasan kepada manusia untuk mengikutinya. Hukum Allah itu merupakan kerangka nilai yang bermuara pada kemajuan dan kesehatan sosial, bebas dari struktur sosio-ekonomi yang menindas, meningkatkan harkat kemanusiaan dan tidak memberi tempat kepada para penindas dan eksploitator. Allah menciptakan setiap manusia dengan inisiatif untuk berbuat dengan mengaktualisasikan potensi dirinya. Ketundukan kepada Allah tidak berarti menghilangkan keinginan manusia untuk melakukan perbuatan baik dan mencegahnya dari perbuatan tercela. Sebenarnya, Al-Qur’an memerintahkan manusia untuk melakukan kebaikan dan menghindari keburukan. Jika ketundukan kepada Allah diartika sebagai penyerahan diri dan tiadanya keinginan, mengapa Allah memerintahkan manusia untuk berbuat kebaikan dan melarangnya dari tindakan yang merusak kemanusiaan.
Al-Qur’an justru mendesak manusia untuk terus berusaha meningkatkan harkat kemanusiaan, menghapuskan kejahatan dan mengakhiri penindasan serta eksploitasi. Al-Qur’an tidak menghendaki adanhya kejhatan dan fitnah di muka bumi ini. Dalam rangka memperjuangkan kebenaran ini, manusia bebas berbuat sesuai dengan konteks lingkungannya. Al-Qur’an dan As-Sunnah membimbing manusia ke jalan yang benar. Mengikuti Sunnah Nabi tidak berati, sebagaimana disebutkan dalam teologi tradisional, menirunya secara mekanis. Mengikuti sunnah berarti menggali makna dan menangkap semangatnya dalam rangka menyelesaikan persoalan-persoalan kehidupan yang ruwet dan kompleks sesuai dengan kemampuannya.
== Lihat pula ==
|