Subak: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
Tag: kemungkinan perlu dirapikan VisualEditor
Baris 26:
 
== Pengertian ==
Beberapa pakar memiliki pendapat tersendiri mengenai definisi subak yang ada di Bali. Windia menjelaskan bahwa subak merupakan organisasi pengairan tradisional di bidang pertanian yang berlandaskan atas seni dan budaya serta diwariskan secara turun-temurun oleh masyarakat di pulau dewata. Subak biasanya memiliki pura yang dinamakan dengan nama Pura Uluncarik atau Pura Bedugul, yang khusus dibangun oleh para pemilik lahan dan petani yang diperuntukkan bagi Dewi Sri sebagai dewi kemakmuran dan kesuburan. Sistem pengairan ini diatur oleh seorang pemuka adat yang juga seorang petani di Bali, yang disebut dengan ''Pekaseh''.[1]
 
Shusila memberikan beberapa definisi mengenai subak, yaitu (1) subak sebagai lembaga irigasi dan pertanian yang bercorak sosio-religius, terutama bergerak dalam pengelolaan air untuk produksi tanaman setahun (khususnya padi) berdasarkan prinsip ''Tri Hita Karana''; (2) subak sebagai sistem fisik dan sistem sosial. Subak sebagai sistem fisik diartikan sebagai lingkungan fisik yang berkaitan erat dengan irigasi, seperti sumber-sumber air beserta fasilitas irigasi berupa bendungan, dam, dan saluran-saluran air, sedangkan subak sebagai sistem sosial adalah organisasi sosial yang mengelola sistem fisik tersebut; (3) subak sebagai organisasi petani pemakai air yang sawah-sawah para anggotanya memperoleh air dari sumber yang sama dan memiliki satu atau lebih Pura Bedugul serta memiliki otonomi penuh, baik ke dalam (mengurus kepentingan rumah tangganya sendiri) maupun ke luar dalam artian bebas mengadakan hubungan langsung dengan pihak luar secara mandiri.[2]
 
Gambar 1. Tumpang tindih antara batas desa dan subak di Bali.
 
Subak sendiri tidak berada di bawah kendali desa. Batas subak adalah batas hidrologis, bukan batas administratif. Hal inilah yang menyebabkan adanya banyak kasus area kawasan subak saling tumpang tindih dengan area batas desa. Dengan demikian, area kawasan beberapa subak bisa terdapat dalam satu kawasan desa, ataupun dapat juga sebaliknya. Luas kawasan subak sangat tergantung dari kemampuan suatu sumber air untuk mengairi suatu lahan tertentu. Kenyataan ini tentu saja sangat menguntungkan, khususnya untuk mencegah konflik antar desa yang ingin memperebutkan sumber daya air yang tersedia.
 
== Asal-Usul ==
Kemunculan subak tidak dapat dilepaskan dari sistem pertanian yang diterapkan oleh masyarakat Bali sejak berabad-abad silam. Beberapa arkeolog meyakini bahwa masyarakat Bali mengenal pertanian sejak awal abad Masehi. Hal ini didasarkan atas temuan alat-alat pertanian kuno yang digunakan untuk menanam padi di Desa Sembiran (salah satu desa tertua yang ada di Bali). Di sisi lain, para arkeolog belum mampu menjabarkan cara yang digunakan untuk bertani dan irigasi masyarakat pada waktu itu.[3]
 
Keterangan tertulis mengenai praktik bertani masyarakat Bali pertama kali ditemukan dalam Prasasti Sukawarna yang bertitimangsa 882. Di dalam prasasti tersebut terdapat kata ''huma'' yang berarti sawah. Masyarakat Bali sampai sekarang lazim menggunakan kalimat tersebut untuk menyebut sawah dan irigasi. Meskipun demikian, belum ada keterangan tentang pengelolaan irigasi pertanian dalam prasasti tersebut.[4]
'''A.     Asal-Usul Subak'''
 
Kemunculan subak tidak dapat dilepaskan dari sistem pertanian yang diterapkan oleh masyarakat Bali sejak berabad-abad silam. Beberapa arkeolog meyakini bahwa masyarakat Bali mengenal pertanian sejak awal abad Masehi. Hal ini didasarkan atas temuan alat-alat pertanian kuno yang digunakan untuk menanam padi di Desa Sembiran (salah satu desa tertua yang ada di Bali). Di sisi lain, para arkeolog belum mampu menjabarkan cara yang digunakan untuk bertani dan irigasi masyarakat pada waktu itu.[3]
 
Keterangan tertulis mengenai praktik bertani masyarakat Bali pertama kali ditemukan dalam Prasasti Sukawarna yang bertitimangsa 882. Di dalam prasasti tersebut terdapat kata ''huma'' yang berarti sawah. Masyarakat Bali sampai sekarang lazim menggunakan kalimat tersebut untuk menyebut sawah dan irigasi. Meskipun demikian, belum ada keterangan tentang pengelolaan irigasi pertanian dalam prasasti tersebut.[4]
 
Keterangan lebih jelas mengenai pengelolaan irigasi termuat dalam Prasasti Trunyan yang berangka tahun 891. Dalam prasasti tersebut tersua kata ''serdanu'' yang berarti kepala urusan air danau. Hal tersebut menunjukkan bahwa masyarakat Bali telah mengenal cara pengelolaan irigasi pada akhir abad ke-9. Masa ini dianggap sebagai awal kemunculan subak, meskipun kata tersebut belum dikenal pada waktu itu.
 
Kesimpulan ini diperkuat oleh Prasasti Bebetin (896) dan Prasasti Batuan (1022) yang ditemukan di Buleleng. Kedua prasasti tersebut menjelaskan bahwa terdapat tiga kelompok pekerja khusus sawah, yang salah satunya merupakan ahli pembuat terowongan air yang disebut dengan ''undagi pangarung''.[5] Pekerja ini biasa dipakai dalam subak di masa modern.
 
Adapun kata ''subak'' sendiri dinilai sebagai bentuk modern dari kata ''suwak. Suwak'' ditemukan di dalam Prasasti Pandak Badung (1071) dan Prasasti Klungkung (1072). ''Suwak'' berasal dari dua kata, yaitu ''su'' yang berarti baik dan ''wak'' yang berarti pengairan. Dengan demikian, ''suwak'' dapat diartikan sebagai sistem pengairan yang baik. Wilayah yang mendapatkan pengairan yang baik disebut ''kasuwakan rawas.'' Penamaan tersebut tergantung pada nama desa terdekat, sumber air, atau bangunan keagamaan setempat.[6]
 
Pembentukan ''kasuwakan'' tidak dapat dilepaskan dari pengaruh agama Hindu yang mayoritas dianut oleh masyarakat setempat. Agama Hindu pada waktu itu mengenal konsep ''Tri Hita Karana'' yang merumuskan kebahagiaan manusia.[7] Pencapaian kebahagiaan hanya bisa dilakukan melalui harmonisasi tiga unsur, yaitu ''parhyangan'' (hubungan yang harmonis antara manusia dengan Tuhan), ''pawongan'' (hubungan yang harmonis antara manusia dengan manusia), dan ''palemahan'' (hubungan yang harmonis antara manusia dengan alam).[8] Masyarakat Bali mempercayai bahwa mereka harus bekerja mengolah tanah dan air, namun kepemilikan kedua unsur tersebut sejatinya berada di tangan dewa-dewi.[9]
 
Konsep ''Tri Hita Karana'' lantas mewujud dalam ''kasuwakan.'' Sebagai ungkapan rasa syukur atas keberlimpahan air dan tanah, masyarakat kemudian mendirikan beberapa bangunan keagamaan di dekat sawah. Bangunan tersebut dipersembahkan kepada Dewi Sri (dewi pertanian dan kesuburan). Hal inilah yang menyebabkan beberapa pura di Bali bertitimangsa abad ke-9 ditemukan di beberapa sawah yang ada di Bali.
 
'''B.==      Karakteristik Subak'''==
 
'''B.      Karakteristik Subak'''
 
Ada beberapa karakteristis dari subak yang merupakan sistem irigasi tradisional, yaitu:
 
Baris 66 ⟶ 60:
e.      Setiap sistem irigasi subak memiliki ciri-ciri tersendiri, yaitu setiap hamparan sawah garapan dari anggota subak memiliki ''tembuku pengalapan'' (tempat masuknya air) dan ''pengutangan'' (tempat keluarnya air atau tempat pembuangan air yang berlebihan) tersendiri.
 
f.      Pengambilan keputusan di subak dalam pengelolaan sistem irigasi dilakukan dengan demokratis, berkeadilan, transparan, dan akuntabilitas.[10]
----[1] I Wayan Windia, ''op.cit''., hlm. 36-38.
 
[2] J. Shusila, ''Mandala Mathika Subak: Suatu Usaha Konservasi dalam Subak, Sistem Irigasi Tradisional di Bali,'' (Denpasar: Upada Sastra, 1992), hlm. 64-67.
 
[3]     Hendaru Tri, “Menyibak Subak”, dalam ''<nowiki>https://historia.id/kuno/articles/menyibak-subak</nowiki>''. Diakses tanggal 4 Januari 2019.
 
[4]     I Wayan Windia, dkk., ''Sistem Subak di Bali: Kajian Sosiologis,'' (Denpasar: Udayana Press, 2015), hlm. 27.
 
[5]     ''Ibid.''
 
[6]     ''Ibid''., hlm. 29.
 
[7]     Niswatin dan Mahdalena, “Nilai Kearifan Lokal Subak Sebagai Modal Sosial Transmigran Etnis Bali”, dalam ''Jurnal Akuntansi Multiparadigma Jamal'' (Vol. 7, No. 2, Agustus 2016), hlm. 172-173.
 
[8]     Haryono, ''op.cit''., hlm. 94.
 
[9]     Nyoman Sirtha, ''Subak Konsep Pertanian Religius: Perspektif Hukum, Budaya, dan Agama Hindu,'' (Surabaya: Paramita, 2000), hlm. 14.
 
[10]   J. Shusila, ''op.cit''., hlm. 70.
 
== Galeri ==
<center>{{wide image|Jatiluwih rice terraces.jpg|800px|Terasering [[Kabupaten Tabanan|Jatiluwih]]}}<gallery widths="175">