Pemberontakan di Aceh: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
InternetArchiveBot (bicara | kontrib)
Rescuing 1 sources and tagging 0 as dead.) #IABot (v2.0.8.6
InternetArchiveBot (bicara | kontrib)
Rescuing 5 sources and tagging 0 as dead.) #IABot (v2.0.8.6
Baris 140:
Robinson mengatakan bahwa penggunaan teror oleh [[militer Indonesia]] dalam aksi kontra-pemberontakan melawan GAM dalam periode rezim ''Orde Baru'' pertengahan 1990 (dalam tahap kedua pemberontakan) telah menyebabkan meluasnya dukungan dari masyarakat Aceh yang terpengaruh oleh kebijakan militer Indonesia tersebut, dan mendorong mereka untuk menjadi lebih simpatik dan mendukung GAM.<ref name=Robinson_140>{{cite journal|last=Robinson|title=Rawan is as Rawan Does|journal=Indonesia|page=140}}</ref> Ia menilai bahwa metode militer tersebut malah memiliki efek meningkatkan tingkat kekerasan, mengganggu masyarakat Aceh, dan luka yang ditimbulkan terbukti sulit untuk disembuhkan.<ref name=Robinson_140>{{cite book|title=ibid}}</ref> ''[[Amnesty International]]'' mencatat:
 
: Otoritas politik [[ABRI|Angkatan Bersenjata]] (Republik Indonesia), yang besar bahkan dalam kondisi normal, sekarang (telah) menjadi tak tertandingi. Atas nama keamanan nasional, otoritas militer dan polisi dikerahkan di Aceh kemudian bebas untuk menggunakan hampir segala cara yang dipandang perlu untuk menghancurkan [[GPK]] ("Gerakan Pengacauan Keamanan"), yang merupakan nomenklatur (istilah) pemerintah Indonesia untuk GAM.<ref name=AI_1993>{{cite book|title=Document - Indonesia: "Shock Therapy": Restoring Order in Aceh 1989-1993|year=1993|publisher=Amnesty International|url=http://www.amnesty.org/en/library/asset/ASA21/007/1993/en/0428b5b2-ecb7-11dd-85fd-99a1fce0c9ec/asa210071993en.html|access-date=2013-04-24|archive-date=2010-11-14|archive-url=https://web.archive.org/web/20101114082923/http://www.amnesty.org/en/library/asset/ASA21/007/1993/en/0428b5b2-ecb7-11dd-85fd-99a1fce0c9ec/asa210071993en.html|dead-url=yes}}</ref>
 
''Amnesty International'' mendokumentasikan penggunaan penangkapan sewenang-wenang, penahanan di luar legalitas, eksekusi, perkosaan dan pembumi-hangusan sebagai karakter operasi militer Indonesia terhadap GAM sejak tahun 1990. Di antara tindakan yang lebih mengerikan diamati oleh ''Amnesty International'' adalah pembuangan publik mayat-mayat korban eksekusi (atau ''[[Penembakan Misterius]]'') yang dilakukan sebagai peringatan untuk orang Aceh untuk menahan diri dari bergabung atau mendukung GAM. Berikut ini adalah deskripsi tindakan tersebut oleh ''Amnesty International'':
Baris 169:
Akan tetapi, Aspinall mencatat bahwa sebagian besar petinggi GAM yang ia wawancarai, terutama petugas lapangan, bersikeras bahwa mereka mengakui [[MoU Helsinki]] bukan karena militer mereka semakin lemah.<ref name=Aspinall_Islam_231>{{cite book|last=Aspinall|title=Islam and Nation|page=231}}</ref> Mantan pemimpin GAM [[Irwandi Yusuf]], yang kelak menjadi Gubernur Aceh melalui pilkada langsung tanggal [[11 Desember]] [[2006]], mengaku bahwa bukannya bubar, situasi GAM justru membaik sejak anggota yang sakit dan lemah ditangkap militer Indonesia sehingga anggota di lapangan tidak terbebani oleh mereka.<ref name=Aspinall_Islam_231>{{cite book|title=ibid}}</ref> Walaupun pasukan GAM tetap komit melanjutkan perjuangan mereka, para petinggi GAM mungkin sudah putus asa membayangkan mungkinkah mencapai kemenangan militer atas pasukan pemerintah Indonesia.<ref name=Aspinall_Islam_231>{{cite book|title=ibid}}</ref> Kata mantan perdana menteri GAM [[Malik Mahmud]] kepada Aspinall bulan Oktober 2005: "Strategi yang diterapkan oleh kedua pihak berujung pada kebuntuan yang sangat merugikan".<ref>{{cite book|title=ibid|page=232}}</ref> Saat diwawancarai ''[[Jakarta Post]]'' tentang apakah mengakui MoU Helsinki adalah tindakan pencitraan oleh GAM pasca kemunduran militernya, Malik menjawab:
 
:"Kami harus realistis. Kami harus mempertimbangkan kenyataan di lapangan. Jika [perjanjian damai] itu solusi terbaik bagi kedua pihak, tentunya dengan segala kerendahan hati, mengapa tidak! Ini demi perdamaian, demi kemajuan masa depan. Jadi tidak ada yang salah dengan [perjanjian] itu dan saya pikir negara manapun di dunia akan melakukan hal yang sama. Selain itu, ketika kami menghadapi situasi semacam ini kami harus sangat, sangat tegas dan berani menghadapi kenyataan. Inilah yang kami lakukan.<ref>{{cite news|url=http://www.thejakartapost.com/news/2006/05/28/malik-mahmud-we-have-be-realistic.html|newspaper=Jakarta Post|date=28 May 2006|title=Salinan arsip|access-date=2013-04-24|archive-date=2015-06-03|archive-url=https://web.archive.org/web/20150603133054/http://www.thejakartapost.com/news/2006/05/28/malik-mahmud-we-have-be-realistic.html|dead-url=yes}}</ref>
 
=== Tekanan internasional ===
Baris 188:
 
== Laporan ''Time To Face The Past'' ==
Pada April 2013, ''[[Amnesty International]]'' meluncurkan laporan ''Time To Face The Past'' ("Saatnya Menghadapi Masa Lalu") yang isinya pernyataan mereka bahwa "sebagian besar korban dan kerabatnya sudah lama dijauhkan dari kebenaran, keadilan, dan pemulihan, dan Indonesia telah melanggar kewajibannya menurut hukum internasional. Mereka masih menunggu otoritas lokal dan nasional Indonesia untuk mengakui dan memperbaiki apa yang telah mereka dan keluarganya alami pada masa konflik." Dalam perumusan laporannya, ''Amnesty International'' menggunakan hasil penelitiannya saat berkunjung ke Aceh pada Mei 2012. Pada kunjungan tersebut, perwakilan organisasi tersebut mewawancarai [[lembawa swadaya masyarakat]] (LSM), [[organisasi masyarakat]], [[pengacara]], anggota dewan, pejabat pemerintah setempat, [[jurnalis]], dan korban dan perwakilan mereka mengenai situasi di Aceh pada saat wawancara dilaksanakan. Korban menyatakan apresiasi mereka terhadap proses perdamaian dan meningkatnya keamanan di provinsi Aceh, tetapi juga menyatakan frustrasi atas tidak adanya tindakan dari pemerintah Indonesia sesuai [[nota kesepahaman]] 2005 yang mencantumkan rencana pembentukan [[Pengadilan Hak Asasi Manusia]] di Aceh dan [[Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh]].<ref>{{cite web|title=Time To Face The Past|url=http://www.amnesty.org/en/library/asset/ASA21/001/2013/en/5a7956bb-be04-494a-85e2-0c02d555b58e/asa210012013en.pdf|work=Amnesty International|publisher=Amnesty International|accessdate=18 April 2013|format=PDF|year=2013|archive-date=2013-05-25|archive-url=https://web.archive.org/web/20130525200754/http://www.amnesty.org/en/library/asset/ASA21/001/2013/en/5a7956bb-be04-494a-85e2-0c02d555b58e/asa210012013en.pdf|dead-url=yes}}</ref>
 
Selain itu, laporan ''Time To Face The Past'' berisi peringatan potensi munculnya kekerasan baru di Aceh jika pemerintah Indonesia tetap stagnan dalam pelaksanaan komitmennya yang tercantum pada MoU 2005. Wakil direktur [[Asia Pasifik]] ''Amnesty International'' Isabelle Arradon menjelaskan saat peluncuran laporan tersebut: "Situasi yang sedang terjadi adalah munculnya benih-benih ketidakpuasan yang bisa tumbuh menjadi aksi kekerasan baru". Per 19 April 2013, pemerintah Indonesia belum menanggapi laporan ini. Juru bicara presiden SBY memberitahukan [[BBC]] bahwa ia belum bisa memberi komentar karena belum membaca laporan tersebut.<ref name="Graphics">[http://www.bbc.co.uk/news/world-asia-22198860 Amnesty: Indonesia 'failing to uphold' Aceh peace terms]</ref>