Terorisme: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
InternetArchiveBot (bicara | kontrib)
Rescuing 1 sources and tagging 0 as dead.) #IABot (v2.0.8.5
Erikas47 (bicara | kontrib)
Tag: kemungkinan spam pranala VisualEditor Tugas pengguna baru
Baris 64:
Oleh karena itu, untuk mencegah kesewenang-wenangan dan ketidakpastian hukum, diperlukan adanya ketentuan yang pasti mengenai pengertian Bukti Permulaan dan batasan mengenai Laporan Intelijen, apa saja yang dapat dimasukkan ke dalam kategori Laporan Intelijen, serta bagaimana sebenarnya hakikat Laporan Intelijen, sehingga dapat digunakan sebagai Bukti Permulaan. Terutama karena ketentuan pasal 26 ayat (1) tersebut memberikan wewenang yang begitu luas kepada penyidik untuk melakukan perampasan kemerdekaan yaitu penangkapan, terhadap orang yang dicurigai telah melakukan Tindak Pidana Terorisme, maka kejelasan mengenai hal tersebut sangatlah diperlukan agar tidak terjadi pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia dengan dilakukannya penangkapan secara sewenang-wenang oleh aparat, dalam hal ini penyidik.
 
Demikian pula perlu dirumuskan tentang pengaturan, cara mengajukan tuntutan terhadap petugas yang telah salah dalam melakukan tugasnya, oleh orang-orang yang menderita akibat kesalahan itu dan hak asasinya telah terlanggar, karena banyak Pemerintah suatu negara dalam melakukan pencegahan maupun penindakan terhadap perbuatan [[https://stay4d.id teror]] melalui suatu pengaturan khusus yang bersifat darurat, [[di mana]] aturan darurat itu dianggap telah jauh melanggar bukan saja hak seseorang terdakwa, akan tetapi juga terhadap Hak Asasi Manusia. Aturan darurat sedemikian itu telah memberikan wewenang yang berlebih kepada penguasa di dalam melakukan penindakan terhadap perbuatan teror.<ref>Loebby Loqman, Op. cit., hal. 11.</ref>
 
Telah banyak negara-negara didunia yang mengorbankan Hak Asasi Manusia demi pemberlakuan Undang-Undang Antiterorisme, termasuk hak-hak yang digolongkan kedalam ''non-derogable rights'', yakni hak-hak yang tidak boleh dikurangi pemenuhannya dalam keadaan apapun.<ref>Todung Mulya Lubis, “Masyarakat Sipil dan Kebijakan Negara Kasus Perppu/RUU Tindak Pidana Terorisme” dalam Mengenang Perppu Antiterorisme, (Jakarta: Suara Muhammadiyah, Agustus 2003), hal 91.</ref> Undang-Undang Antiterorisme kini diberlakukan di banyak negara untuk mensahkan kesewenang-wenangan ''(arbitrary detention)'' pengingkaran terhadap prinsip ''free and fair trial''. Laporan terbaru dari [[Amnesty Internasional]] menyatakan bahwa penggunaan siksaan dalam proses interogasi terhadap orang yang disangka teroris cenderung meningkat.<ref>Todung Mulya Lubis, Ibid., hal 92.</ref> Hal seperti inilah yang harus dihindari, karena Tindak Pidana Terorisme harus diberantas karena alasan Hak Asasi Manusia, sehingga pemberantasannya pun harus dilaksanakan dengan mengindahkan Hak Asasi Manusia.