Alun-alun: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
k Memperbaiki kesalahan penggunaan huruf kapital |
|||
Baris 20:
'''Masa masuknya Islam''', bangunan [[masjid]] dibangun di sekitar alun-alun. Alun-alun juga digunakan sebagai tempat kegiatan-kegiatan hari besar [[Islam]] termasuk Salat [[Idul Fitri]]. Pada saat ini banyak alun-alun yang digunakan sebagai perluasan dari masjid seperti Alun-alun Kota Bandung. Konsep alun-alun menurut Islam adalah sebagai ruang terbuka perluasan halaman masjid untuk menampung luapan jamaah dan merupakan halaman depan dari keraton. Siar Islam telah membawa perubahan dalam perancangan pusat kota, sehingga alun-alun, keraton dan Masjid berada dalam satu kawasan yang di dekatnya terdapat jalur transportasi.<ref>{{cite web |url=http://loenpia.net/blog/semarangan/alun-alun-semarang-tinggal-nama.html |title=Alun-alun |date=13 Juli 2012 |access-date=2012-07-14 |archive-date=2012-12-01 |archive-url=https://web.archive.org/web/20121201131124/http://loenpia.net/blog/semarangan/alun-alun-semarang-tinggal-nama.html |dead-url=yes }}</ref>
'''Pada periode berikutnya kehadiran kekuasaan Belanda di Nusantara''', ikut memberi warna bentuk baru dalam tata lingkungan alun-alun. Hal ini terlihat dengan didirikannya bangunan penjara pada sisi lain alun-alun, termasuk di
'''Periode zaman kemerdekaan''', banyak alun-alun yang berubah bentuk. Salah satunya alun-alun [[Malang]]. Faktor pendorong pertumbuhan ini macam-macam di antaranya kebijakan pemerintah, aktivitas masyarakat, Perdagangan dan Pencapaian (Dadang Ahdiat, 1993).
Baris 35:
Dalam buku Tahta Untuk Rakyat dikatakan, “Adanya cara ber-pepe ini menunjukkan bahwa pada zaman dulu sudah ada forum untuk memperjuangkan hak asasi manusia sehingga jelas itu bukan barang baru atau barang yang diimpor dari negara lain”
=== Alun-
Handinoto, Staf Pengajar Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Jurusan Arsitektur Universitas Kristen Petra, menguraikan bahwa keberadaan Alun-alun telah ada pada zaman Majapahit (Hindu-Budha) dan zaman Mataram (Islam).
Baris 42:
Pola ini dilanjutkan baik dalam pemerintahan Mataram baik Yogyakarta maupun Surakarta yang memiliki dua alun-alun yaitu Alun-alun Lor dan Alun-alun Kidul. Di alun-alun Yogyakarta ditempatkan pohon beringin kembar yang dinamai Kyai Dewa Ndharu dan Kiai Jana Ndharu. Di zaman Mataram Islam ditambahkan keberadaan Masjid sebagai pengganti candi.
=== Alun-
Pada zaman kolonial, alun-alun tidak hanya menjadi bagian dari sebuah keraton yang dikepalai oleh seorang raja melainkan oleh para bupati sebagai bawahan raja.
Pemerintah kolonial Belanda dalam memerintah Nusantara selain menggunakan pejabat resmi seperti Gubernur Jenderal, Residen, Asisten Residen, Kontrolir dan sebagainya, juga menggunakan pejabat Pribumi untuk berhubungan langsung dengan rakyat, seperti Bupati, Patih, Wedana, Camat dan lainnya. Unsur pemerintahan Pribumi ini biasanya disebut sebagai Pangreh Praja (yang berkuasa atas kerajaan - orang Belanda memakai istilah Inlandsch Bestuur).
Dalam sistem pemerintahan Inlandsch Bestuur pejabat Pribumi yang tertinggi adalah Regent atau biasa disebut sebagai Bupati, yang membawahi sebuah Kabupaten. Rumah Bupati di Jawa selalu dibangun untuk menjadi miniatur Kraton di Surakarta dan Yogyakarta. Di depan rumah Bupati juga terdapat pendopo yang berhadapan langsung dengan alun-alun, yang sengaja diciptakan oleh para Bupati untuk bisa menjadi miniatur dari Kraton Surakarta atau Yogyakarta[8].
=== Alun-
Handinoto melihat adanya pergeseran signifikan mengenai eksistensi alun-alun paska kolonialisme, “Pada awal abad ke 20, terjadi ‘westernisasi’ kota-kota di Nusantara. Kebudayaan ‘Indisch’, yang pada abad ke 19 berkembang subur di Nusantara,kelihatan menghilang, disapu oleh kebudayaan Barat modern yang dibawa oleh para pendatang baru pada awal abad ke 20. Sejak awal abad ke 20 inilah mulai kelihatan rusaknya alun-alun sebagai ciri khas kota-kota di Jawa”.
|