Daerah Khusus Ibukota Jakarta: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Javier1406 (bicara | kontrib)
Tag: Dikembalikan VisualEditor
Javier1406 (bicara | kontrib)
Tag: Dikembalikan VisualEditor
Baris 105:
{{Spoken Wikipedia|Jakarta-wikipedia.ogg|2012-05-30}}
 
[[Belanda]] datang ke Jayakarta sekitar akhir abad ke-16, setelah singgah di Banten pada tahun [[1596]]. Jayakarta pada awal abad ke-17 diperintah oleh [[Pangeran Jayakarta]], salah seorang kerabat [[Kesultanan Banten]]. Pada [[1619]], [[VOC]] dipimpin oleh [[Jan Pieterszoon Coen]] menduduki [[Jayakarta]] setelah mengalahkan pasukan [[Kesultanan Banten]] dan kemudian mengubah namanya menjadi '''Batavia'''. Selama kolonialisasi Belanda, Batavia berkembang menjadi kota yang besar dan penting. (''Lihat [[Batavia]]''). Untuk pembangunan kota, Belanda banyak mengimpor budak-budak sebagai pekerja. Kebanyakan dari mereka berasal dari [[Bali]], [[Sulawesi]], [[Maluku]], [[Republik Rakyat Tiongkok|Tiongkok]], dan [[India|pesisir Malabar, India]]. Sebagian berpendapat bahwa mereka inilah yang kemudian membentuk komunitas yang dikenal dengan nama [[suku Betawi]].
 
Saat itu luas Batavia hanya mencakup daerah yang saat ini dikenal sebagai [[Kota Tua Jakarta|Kota Tua]] di Jakarta Utara. Sebelum kedatangan para budak tersebut, sudah ada masyarakat Sunda yang tinggal di wilayah Jayakarta seperti masyarakat [[Jatinegara Kaum, Pulo Gadung, Jakarta Timur|Jatinegara Kaum]]. Sedangkan suku-suku dari etnis pendatang, pada zaman kolonialisme Belanda, membentuk wilayah komunitasnya masing-masing. Maka di Jakarta ada wilayah-wilayah bekas komunitas itu seperti Pecinan, [[Pekojan, Tambora, Jakarta Barat|Pekojan]], [[Kampung Melayu, Jatinegara, Jakarta Timur|Kampung Melayu]], Kampung Bandan, Kampung Ambon, [[Kampung Bali, Tanah Abang, Jakarta Pusat|Kampung Bali]], dan [[Manggarai, Tebet, Jakarta Selatan|Manggarai]].
 
Pada tanggal [[9 Oktober]] [[1740]], terjadi kerusuhan di Batavia dengan terbunuhnya 5.000 orang Tionghoa. Dengan terjadinya kerusuhan ini, banyak orang Tionghoa yang lari ke luar kota dan melakukan perlawanan terhadap Belanda.<ref>{{cite book|last =Wijayakusuma|first =H.M. Hembing|authorlink =|coauthors =|title =Pembantaian Massal 1740, Tragedi Berdarah Angke|publisher =Pustaka Populer Obor|date =|location =|url =|doi =|isbn =|page = }}</ref> Dengan selesainya ''Koningsplein'' ([[Gambir]]) pada tahun 1818, Batavia berkembang ke arah selatan. Tanggal 1 April 1905 di Ibukota Batavia dibentuk dua kotapraja atau ''gemeente'', yakni Gemeente Batavia dan Meester Cornelis. Tahun 1920, Belanda membangun kota taman Menteng, dan wilayah ini menjadi tempat baru bagi petinggi Belanda menggantikan ''[[Molenvliet]]'' di utara. Pada tahun 1935, [[Batavia]] dan [[Meester Cornelis]] ([[Jatinegara]]) telah terintegrasi menjadi sebuah wilayah [[Jabodetabekpunjur|Jakarta Raya]].<ref>Alwi Shahab, Koran Republika, 1 Desember 2007</ref>
 
Pada 1 Januari 1926 pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan peraturan untuk pembaharuan sistem desentralisasi dan dekonsentrasi yang lebih luas. Di Pulau Jawa dibentuk pemerintahan otonom provinsi. ''[[Jawa Barat|Provincie West Java]]'' adalah provinsi pertama yang dibentuk di wilayah Jawa yang diresmikan dengan surat keputusan tanggal 1 Januari 1926, dan diundangkan dalam Staatsblad (Lembaran Negara) 1926 No. 326, 1928 No. 27 jo No. 28, 1928 No. 438, dan 1932 No. 507. Batavia menjadi salah satu keresidenan dalam ''Provincie West Java'' di samping Banten, Buitenzorg (Bogor), Priangan, dan Cirebon.
Baris 120:
[[Berkas:Prov. DKI Jakarta.jpg|jmpl|200px|ka|Peta Administrasi Provinsi Daerah Khusus Ibukota (DKI Jakarta)]]
 
Sejak kemerdekaan sampai sebelum tahun 1959, '''Djakarta''' merupakan bagian dari Provinsi Jawa Barat. Pada tahun 1959, status Kota Djakarta mengalami perubahan dari sebuah kotapraja di bawah wali kota ditingkatkan menjadi daerah tingkat satu (Dati I) yang dipimpin oleh gubernur. Yang menjadi gubernur pertama ialah [[Soemarno Sosroatmodjo]], seorang dokter tentara. Pengangkatan Gubernur DKI waktu itu dilakukan langsung oleh Presiden Sukarno. Pada tahun 1961, status Djakarta diubah dari Daerah Tingkat Satu menjadi Daerah Chusus Ibukota (DCI, sekarang dieja Daerah Khusus Ibukota/DKI) dan gubernurnya tetap dijabat oleh [[Soemarno Sosroatmodjo|Sumarno]].<ref>Jakarta 1960-an: Kenangan Semasa Mahasiswa, Firman Lubis, Masuo Jakarta, 2008 ISBN 979-3731-46-X</ref>
 
Semenjak dinyatakan sebagai ibu kota, penduduk Jakarta melonjak sangat pesat akibat kebutuhan tenaga kerja kepemerintahan yang hampir semua terpusat di Jakarta. Dalam waktu 5 tahun penduduknya berlipat lebih dari dua kali. Berbagai kantung permukiman kelas menengah baru kemudian berkembang, seperti [[Kebayoran Baru]], [[Cempaka Putih]], [[Kayu Putih, Pulo Gadung, Jakarta Timur|Pulo Mas]], [[Tebet, Jakarta Selatan|Tebet]], dan [[Pejompongan]]. Pusat-pusat permukiman juga banyak dibangun secara mandiri oleh berbagai kementerian dan institusi milik negara seperti [[Perum Perumnas]].
 
Pada masa pemerintahan Soekarno, Jakarta melakukan pembangunan proyek besar, antara lain [[Gelora Bung Karno]], [[Masjid Istiqlal]], dan [[Monumen Nasional]]. Pada masa ini pula [[Poros Medan Merdeka-Thamrin-Sudirman]] mulai dikembangkan sebagai pusat bisnis kota, menggantikan poros Medan Merdeka-Senen-Salemba-Jatinegara. Pusat permukiman besar pertama yang dibuat oleh pihak pengembang swasta adalah [[Pondok Indah]] (oleh PT Pembangunan Jaya) pada akhir dekade 1970-an di wilayah [[Kota Administrasi Jakarta Selatan|Jakarta Selatan]].
 
Laju perkembangan penduduk ini pernah coba ditekan oleh gubernur [[Ali Sadikin]] pada awal 1970-an dengan menyatakan Jakarta sebagai "kota tertutup" bagi pendatang. Kebijakan ini tidak bisa berjalan dan dilupakan pada masa-masa kepemimpinan gubernur selanjutnya. Hingga saat ini, Jakarta masih harus bergelut dengan masalah-masalah yang terjadi akibat kepadatan penduduk, seperti [[banjir]], [[kemacetan]], serta kekurangan alat transportasi umum yang memadai.
Baris 144:
Untuk melayani mobilitas penduduk Jakarta, pemerintah menyediakan sarana bus [[PPD]]. Selain itu terdapat pula bus kota yang dikelola oleh pihak swasta, seperti Mayasari Bakti, MetroMini, Kopaja, dan Bianglala Metropolitan. Bus-bus ini melayani rute yang menghubungkan terminal-terminal dalam kota, antara lain Pulogadung, Kampung Rambutan, Blok M, Kalideres, Grogol, Tanjung Priok, Lebak Bulus, Rawamangun, dan Kampung Melayu. Untuk angkutan lingkungan, terdapat angkutan kota seperti Mikrolet dan KWK, dengan rute dari terminal ke lingkungan sekitar terminal. Selain itu ada pula [[ojek]], [[bajaj]], dan [[bemo]] untuk angkutan jarak pendek. Tidak seperti wilayah lainnya di Jakarta yang menggunakan sepeda motor, di kawasan Tanjung Priok dan Jakarta Kota, pengendara ojek menggunakan sepeda ontel. Angkutan [[becak]] masih banyak dijumpai di wilayah pinggiran Jakarta seperti di [[Bekasi]], [[Tangerang]], dan [[Depok]].<ref>{{Cite web|url=https://www.liputan6.com/bisnis/read/4152824/menhub-jakarta-jadi-kiblat-pengelolaan-transportasi-di-kota-lain|title=Menhub: Jakarta jadi Kiblat Pengelolaan Transportasi di Kota Lain|last=Liputan6.com|date=2020-01-10|website=liputan6.com|language=id|access-date=2020-02-01}}</ref>
 
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah memulai pembangunan kereta bawah tanah (''subway'') atau disebut juga dengan ''MRT Jakarta'' pada Tahun 2013. Subway jalur [[Lebak Bulus]] hingga Bundaran Hotel Indonesia sepanjang 15&nbsp;km ditargetkan beroperasi pada 2019. Jalur kereta monorel juga sedang dipersiapkan melayani jalur Semanggi - Roxy yang dibiayai swasta dan jalur [[Kabupaten Kuningan|Kuningan]] - [[Cawang, Kramat Jati, Jakarta Timur|Cawang]] - [[Bekasi]] - [[Bandar Udara Internasional Soekarno–Hatta|Bandara Soekarno Hatta]] yang dibiayai pemerintah pusat. Untuk lintasan kereta api, pemerintah pusat sedang menyiapkan ''double track'' pada jalur lintasan kereta api Manggarai [[Cikarang]]. Selain itu juga, saat ini sudah dibangun jalur kereta api dari Manggarai menuju Bandara Soekarno-Hatta di [[Cengkareng, Jakarta Barat|Cengkareng]]. Jalur ini sudah siap dioperasikan dan dibuka untuk umum.<ref>{{Cite web|url=https://investor.id/business/mrt-jakarta-proyek-terbaik-kerja-sama-rijepang|title=MRT Jakarta Proyek Terbaik Kerja Sama RI-Jepang|last=investor.id|website=investor.id|language=id|access-date=2020-02-01}}</ref>
 
=== BRT Transjakarta ===
Baris 169:
[[Berkas:KRL Jabotabek 7117 Gambir.jpg|jmpl|200px|KRL [[Jabotabek]].]]
 
Selain bus kota, angkutan kota, becak dan bus [[Transjakarta]], sarana transportasi andalan masyarakat [[Jakarta]] adalah [[kereta api komuter]] atau yang biasa dikenal dengan [[KAI Commuter Jabodetabek]]. Kereta listrik ini beroperasi dari pagi hari hingga malam hari, melayani masyarakat penglaju yang bertempat tinggal di seputaran [[Jabodetabekpunjur|Jabodetabek]]. Ada beberapa jalur [[kereta rel listrik]], yakni ;<ref>{{Cite web|url=https://megapolitan.kompas.com/read/2020/01/10/12352141/krl-mrt-dan-transjakarta-terintegrasi-penumpang-ditargetkan-naik-2-kali|title=KRL, MRT, dan Transjakarta Terintegrasi, Penumpang Ditargetkan Naik 2 Kali Lipat|last=Media|first=Kompas Cyber|website=KOMPAS.com|language=id|access-date=2020-02-01}}</ref>
 
* Jalur Merah [[Jakarta Kota]] - [[Bogor]], lewat [[Gambir]], [[Manggarai]], [[Pasar Minggu]], dan [[Depok]].
Baris 175:
* Jalur Biru [[Jakarta Kota]] - [[Cikarang]], lewat [[Gambir]], [[Manggarai]], dan [[Jatinegara]].
* Jalur Hijau [[Tanah Abang]] - Serpong / Maja / Rangkasbitung, lewat [[Kebayoran Lama]] dan [[Serpong]].
* Jalur Coklat [[Stasiun Duri|Duri]] - [[Tangerang]], lewat [[Rawa Buaya (Transjakarta)|Rawa Buaya]].
* Jalur Pink [[Jakarta Kota]] - [[Pelabuhan Tanjung Priok]]. Saat ini sudah bisa dipergunakan untuk jalur Commuter Line dan angkutan Barang.
 
Baris 187:
[[Berkas:Jakarta Car Free Day.jpg|jmpl|200px|ki|Suasana [[Monumen Selamat Datang|Bundaran HI]] ketika ''Car-Free Day'' tiap hari Minggu.]]
[[Berkas:Soekarno-Hatta International Airport Terminal 3 front.JPG|jmpl|200px|Terminal 3 [[Bandar Udara Internasional Soekarno-Hatta]] Tangerang-Banten]]
Sebagai salah satu kota metropolitan dunia, Jakarta telah memiliki infrastruktur penunjang berupa jalan, listrik, telekomunikasi, air bersih, gas, serat optik, bandara, dan pelabuhan. Saat ini rasio jalan di Jakarta mencapai 6,2% dari luas wilayahnya.<ref>sindonews.com [http://metro.sindonews.com/read/2012/09/13/31/672220/rasio-jalan-di-jakarta-baru-6-2-persen Rasio Jalan di Jakarta baru 6,2 persen]{{Pranala mati|date=Maret 2021 |bot=InternetArchiveBot |fix-attempted=yes }}</ref> Selain jalan protokol, jalan ekonomi, dan jalan lingkungan, Jakarta juga didukung oleh jaringan [[Jalan Tol Lingkar Dalam Kota Jakarta|Jalan Tol Lingkar Dalam]], [[Jalan Tol Lingkar Luar Jakarta|Jalan Tol Lingkar Luar]], [[Jalan Tol Jagorawi]], dan [[Jalan Tol Ulujami-Serpong]]. Pemerintah juga berencana akan membangun Tol Lingkar Luar tahap kedua yang mengelilingi kota Jakarta dari [[Bandar Udara Internasional Soekarno–Hatta|Bandara Soekarno Hatta]]-[[Kota Tangerang|Tangerang]]-[[Serpong, Tangerang Selatan|Serpong]]-[[Cinere, Depok|Cinere]]-[[Cimanggis, Depok|Cimanggis]]-[[Cibitung, Bekasi|Cibitung]]-[[Tanjung Priok, Jakarta Utara|Tanjung Priok]].
 
Untuk ke kota-kota lain di [[Pulau Jawa]], Jakarta terhubung dengan [[Jalan Tol Jakarta-Cikampek]] yang bersambung dengan [[Jalan Tol Cipularang]] ke [[Bandung]] dan [[Jalan Tol Cipali]] ke [[Cirebon]]. Selain itu juga tersedia layanan kereta api yang berangkat dari enam stasiun pemberangkatan di [[Jakarta]]. Untuk ke [[Pulau Sumatra]], tersedia ruas [[Jalan Tol Jakarta-Merak]] yang kemudian dilanjutkan dengan layanan penyeberangan dari [[Pelabuhan Merak]] ke [[Bakauheni]].
Baris 268:
|}
 
Berdasarkan data [[Badan Pusat Statistik]] DKI Jakarta tahun 2021, jumlah penduduk Jakarta adalah 11.100.929 jiwa ([[2020]]).<ref name="DKI"/> Namun pada siangsetiap hari, angka tersebut dapat bertambah seiring datangnya para pekerja dari [[kota satelit]] seperti [[Bekasi]], [[Tangerang]], [[Bogor]], dan [[Depok]].
 
=== Agama ===
Baris 276:
Agama yang dianut oleh penduduk DKI Jakarta beragam. Menurut data [[Badan Pusat Statistik]] DKI Jakarta tahun 2020, persentasi penduduk berdasarkan agama yang dianut adalah [[Islam]] (83,68%), lalu [[Kristen]] (12,53%) dimana ([[Protestan]] 8,60 % & [[Katolik]] 3,93%), [[Agama Buddha|Buddha]] (3,59%), [[Hindu]] (0,16%), [[Agama Konghucu|Konghucu]] (0,03%), dan agama lainnya (0,01%).<ref name="AGAMA"/>
 
Angka ini tidak jauh berbeda dengan keadaan pada tahun 1980, di mana umat Islam berjumlah 84,4%, diikuti oleh Protestan (6,3%), Katolik (2,9%), Hindu dan Budha (5,7%), serta Tidak beragama (0,3%)<ref>Data Robert Cribb, ''Historical Atlas of Indonesia'' (2000:47-51)</ref> Menurut [[Caribbean Airlines|Cribb]], pada tahun 1971 penganut agama [[Agama Konghucu|Konghucu]] secara relatif adalah 1,7%. Pada tahun 1980 dan 2005, sensus penduduk tidak mencatat agama yang dianut selain keenam [[Agama di Indonesia|agama yang diakui pemerintah]].
 
Berbagai [[Tempat ibadah|tempat peribadatan]] agama-agama dunia dapat dijumpai di Jakarta. Masjid dan mushala, sebagai rumah ibadah umat [[Islam]], tersebar di seluruh penjuru kota, bahkan hampir di setiap lingkungan. Masjid terbesar adalah masjid nasional, [[Masjid Istiqlal]], yang terletak di [[Gambir, Jakarta Pusat|Gambir]]. Sejumlah masjid penting lain adalah [[Masjid Agung Al-Azhar]] di [[Kebayoran Baru, Jakarta Selatan|Kebayoran Baru]], [[Masjid At Tin]] di [[Taman Mini Indonesia Indah|Taman Mini]], dan Masjid Sunda Kelapa di [[Menteng, Jakarta Pusat|Menteng]]. Pada tahun 2017, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta membuka [[Masjid Raya KH Hasyim Asy'ari]] di daerah [[Kalideres, Jakarta Barat|Kalideres]] yang dioperasikan oleh Pemprov.
 
Sedangkan gereja besar yang terdapat di Jakarta antara lain, [[Gereja Katedral Jakarta]], Gereja Santa Theresia di Menteng, dan [[Gereja Santo Yakobus]] di Kelapa Gading untuk umat Katolik.