Kradenan, Purwoharjo, Banyuwangi: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Wadya Bala (bicara | kontrib)
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
Wadya Bala (bicara | kontrib)
Tag: menambah kata-kata yang berlebihan atau hiperbolis kemungkinan perlu pemeriksaan terjemahan Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
Baris 27:
 
== Sejarah ==
 
Sejarah singkat desa Kradenan dimulai sejak...
Desa Keradenan, sekarang berubah penyebutan menjadi Kradenan adalah sebuah desa tua yang dihuni penduduk asli Balambangan di daerah paling selatan.
 
Dalam Babad Tawangalun, diceritakan bahwa Susuhunan Prabu Agung Tawangalun II (1655-1691) memiliki beberapa anak, diantaranya adalah; Mas Sasranegara (raja 1691), Mas Macanapura (raja 1691-1697), dan si bungsu Mas Arya Gajah Binarong/Ki Ajar Gunung Srawet.
 
Arya Gajah Binarong memiliki putera-puteri diantaranya adalah; Bagus Dalem Prabayeksa/Ki Tulup Watangan dan Ki Gajah Anguli penguasa desa Jajar. Selanjutnya dalam Babad Bayu disebut bahwa Ki Tulup Watangan menjadi penguasa wilayah Pruwa, dan dalam Suluk Balumbung disebutkan bahwa Ki Tulup Watangan memiliki anak diantaranya;
(1) Raden Mas Purawijaya penguasa di Keradenan dan ayah dari Ki Jalasutra,
(2) Sayu Sukesih isteri Agung Wilis,
(3) Bagus Dalem Jayaningrat/Buyut Jati penguasa di Gumukjati dan ayah dari Sayuwiwit.
 
Di Babad Bayu disebutkan juga bahwa Bekel desa Keradenan yang terlibat bersama Mas Rempeg melawan VOC dalam Perang Bayu (1771-1772) adalah Ki Jalasutra.
 
Dari sumber-sumber itu dapat diketahui bahwa; Ki Jalasutra (pahlawan Keradenan dalam Perang Bayu) adalah putera dari Raden Purawijaya (penguasa Keradenan), putera dari Bagus Dalem Prabayeksa/Ki Tulup Watangan (penguasa daerah Pruwa), putera dari Mas Arya Gajah Binarong (Ki Ajar Gunung Srawet), putera dari Susuhunan Prabu Agung Tawangalun II.
 
Desa Keradenan adalah pengembangan dari Kemantren Benculuk yang dipimpin oleh Raden Purawijaya, dan setelah Raden Purawijaya meninggal, kepemimpinan disana diteruskan oleh puteranya Ki Jalasutra.
 
*RADEN PURAWIJAYA*
Kerajaan Balambangan memiliki wilayah yang membentang dari Demong/Besuki dan Puger di barat hingga ke Selat Balambangan di timur. Tahun 1760an, di bawah kepemimpinan Prabu Jingga Danuningrat (1736-1763) kerajaan Balambangan terpecah dalam tiga faksi politik. Faksi Balambangan dipimpin Patih Sutanagara, Faksi Mengwi dipimpin oleh Patih Agung Wilis, dan Faksi Banger-VOC dipimpin Wedanagung Mas Bagus Tepasana.
 
Mas Bagus Tepasana mempengaruhi Putera Mahkota Mas Anom Sutajiwa sehingga kebijakan raja lebih memihak pada VOC, sedangkan faksi Mengwi sangat anti VOC.
 
Dari Babad Blambangan karya Winarsih, Nagari Tawon Madu karya I Made Sudjana, Sejarah Kerajaan Blambangan karya Samsubur, dan dari Perebutan Hegemoni Blambangan karya Sri Margana dapat kita simpulkan bahwa Mas Bagus Tepasana adalah menantu dari Tumenggung Jayalelana II Bupati Banger dan sekutu Panembahan Cakraningrat V dari Madura. Sang Panembahan sendiri adalah orang kepercayaan Gezaghebber Hendrik Breton.
 
VOC yang yang sudah lama ingin menguasai Balambangan segera memanfatkan Mas Bagus Tepasana dan Mas Anom Sutajiwa untuk bisa ikut campur dalam konflik politik di Balambangan tersebut.
 
Saat itu memang seluruh kerajaan-kerajaan di Jawa telah takluk pada kompeni Belanda, kecuali Balambangan. Karena itu, Gubernur Jenderal Hindia-Belanda, Petrus Albertus van der Parra memerintahkan agar sesegera mungkin Balambangan ditaklukkan.
 
Babad Besuki menyebutkan kedatangan Ki Abdurrahman Abbas membuka Hutan Besuki dan penolakan dari Bupati Balambangan di Sentong, Tumenggung Wiabrata. Belakangan Ki Abdurrahman Abbas menyerahkan tanah itu pada Tumenggung Jayalelana II di Banger. Sejak itu Balambangan kehilangan Demong/Besuki, Agung Wilis sangat mengecam keras lemahnya pemerintahan sang kakak.
 
VOC bekerjasama dengan Mas Bagus Tepasana dan Mas Anom Sutajiwa untuk menghasut Prabu Jingga Danuningrat agar memecat Patih Agung Wilis dan mengangkat patih baru, yakni; (1) Mas Anom Sutajiwa sebagai Patih Kiwa dan (2) Mas Sutanegara, sebagai Patih Tengen, untuk memudahkan usaha VOC menguasai Balambangan.
 
Dan sejak itulah pemerintahan Prabu Jingga Danuningrat menghadapi ketidakpercayaan dari rakyatnya sendiri karena Sang Raja mulai bekerjasama dengan VOC.
 
Setelah tersingkir, Pangeran Agung Wilis menyepi di Pasisir Manis (Lampon) yang terletak di pantai selatan dan mendirikan desa Prawingan sebagai Pesanggrahan nya. Keluarga raja dan rakyat mulai mendukung Patih Agung Wilis dan berbondong-bondong untuk bersatu dengan pemimpin yang sangat mereka cintai di tempat menyepi tersebut.
 
Dalam Babad Wilis dan Babad Tawangalun kita ketahui bahwa setelah melihat kekuatan Agung Wilis semakin besar, pendukungnya disingkirkan satu-persatu. Dan yang pertama disingkirkan adalah Ranggasatata, keponakan raja Mengwi I Gusti Made Munggu. Setelah itu pasukan Mas Bagus Tepasana dikerahkan untuk menggempur desa Pesanggrahan dengan bantuan senjata dari VOC.
 
Dalam Suluk Balumbung, Pasukan Agung Wilis yang dipimpin oleh Raden Purawijaya (kakak ipar Agung Wilis) bersama; Ki Singagarit dan Ki Balengker, dan ditambah 800 orang prajurit perang tandang (gerak cepat) dari Mengwi yang dipimpin Ki Perangalas dan Wayahan Kotang.
 
Pasukan Agung Wilis mendapat kabar bahwa desa Bakeradanan telah dibakar oleh pasukan Mas Bagus Tepasana dan VOC, karena itu mereka segera menghadapi musuh. Baru saja pasukan Raden Purawijaya bersama Ki Singagarit dan Ki Balengker menyeberangi Kali Setail, pasukan ini bertemu dengan pasukan musuh.
 
Disanalah kemudian terjadi peperangan besar dan pasukan Agung Wilis berhasil memenangkannya. Namun kemenangan tersebut harus dibayar mahal dengan gugurnya Raden Purawijaya. Jenazahnya dikebumikan di Dukuh Bakeradanan tersebut. Benarlah makna Purawijaya adalah Kota Kemenangan, menang walau harus dengan pengorbanan nyawa pemilik nama itu sendiri.
 
Selanjutnya, pasukan bergerak ke Kutharaja Balambangan Hamuncar, Prabu Danuningrat, Mas Anom Sutajiwa, dan keluarga mereka berhasil kabur ke Besuki. Setelah pasukan Agung Wilis menduduki Kutharaja Balambangan, dia mengangkat para pejabat baru. Diantaranya adalah Ki Jalasutra, putera Raden Bagus Purawijaya, sebagai Bekel atau kepala desa Bakeradanan.
 
Sejak itu Mas Jalasutra dan keluarganya menetap disana untuk menjaga makam/persemayaman (Para-hyang-an) sang ayah. Dukuh Bakeradanan kemudian berkembang menjadi Desa Ke-Raden-an, sebagai pengingat dimana Raden Purawijaya dikebumikan dan tempat keluarganya menetap.
 
*SATRYA PERANG BAYU DARI KRADENAN*
Buah jatuh tak akan jauh dari pohonnya, demikianlah kata pepatah yang layak dijadikan teladan ketika membaca sejarah Raden Bagus Purawijaya dan puteranya Ki Jalasutra. Jika sang ayah gugur dalam membela negara di pihak Agung Wilis, maka sang anak, Ki Jalasutra juga memiliki karakter yang sama.
 
Hal ini dapat dilihat dalam Perang di Bayu tahun 1771-1772, Ki Jalasutra menorehkan namanya dalam Babad Bayu untuk membela kemerdekaan Kerajaan Balambangan dari penjajahan VOC.
 
Dalam Perang yang dipimpin Mas Surawijaya, Sayuwiwit, dan Mas Rempeg Jagapati tersebut Ki Jalasutra terlibat penuh bersama para Bekel yang lain menggerakkan rakyat Kradenan untuk menghadapi pasukan VOC yang dipimpin oleh Residen Letnan CVD. Biesheuvel, Lettu Van Schopoff (wakil Residen), dan Komandan Mayor van Colmond.
 
Selanjutnya banyak penduduk Balambangan datang ke Bayu memenuhi panggilan Mas Rempeg dengan membawa senjata masing-masing. Dengan dukungan tersebut, Gunung Bayu berkembang menjadi suatu kekuatan yang tangguh dan kokoh. Mas Rempeg dapat menguasai daerah penghasil beras di seluruh Balambangan.
 
Perang Semesta Balambangan III terjadi sebanyak delapan kali di; Tegalperangan/Songgon, Tambong, Bayu, Gagenting, Temogoro dan Pagambiran, Lateng, di Bayu lagi (saat terjadi perang tanding antara Mas Rempeg vs Kapten Alap-alap), dan terakhir di Purwo dan Grajagan.
 
Diantara perang-perang itu, Residen Balambangan II Hendrik Schophoff (1771-1772) mengeluarkan surat-surat pengampunan bagi penduduk yang mau memihak VOC, delapan orang penduduk Bayu dipimpin oleh Bekel Korok dan Si Lakar berhianat.
 
Bagaimana nasib Ki Jala Sutra selanjutnya tidak dijelaskan, karena makamnya tidak ada di daerah kekuasaannya di Keradenan, kemungkinan besar beliau ikut gugur bersama para pemimpin perang Bayu lainnya, seperti Mas Rempeg Jagapati yang gugur pada tanggal 18 Desember 1771.
 
Perang bersejarah yang dalam buku Belanda di Bumi Blambangan disebutkan menelan kerugian setara 8 ton emas tersebut kini diabadikan sebagai Hari Lahir Kabupaten Banyuwangi.
 
______________________________
Tulisan ini pernah dibagikan saat Peringatan Hari Sumpah Pemuda 28 Oktober 2018 di Desa Kradenan.
 
== Geografi ==