Dyah Pitaloka Citraresmi: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Syusuf2016 (bicara | kontrib) bismillah tambah.nama ayahnya Prabu Maharaja linggabuana |
k -iw |
||
Baris 21:
Menurut tradisi, kematian Dyah Pitaloka diratapi oleh Hayam Wuruk serta segenap rakyat Kerajaan Sunda yang kehilangan sebagian besar keluarga kerajaannya. Oleh masyarakat Sunda kematian Sang Putri dan Raja Sunda dihormati dan dipandang sebagai suatu keberanian dan tindakan mulia untuk membela kehormatan bangsa dan negaranya. Ayah Sang Putri, Prabu Maharaja Lingga Buana disanjung dan dihormati oleh masyarakat Sunda dengan gelar "Prabu Wangi" ([[Bahasa Sunda]]: Raja yang memiliki nama yang harum) karena tindakan heroiknya membela kehormatan negaranya melawan Majapahit. Keturunannya, raja-raja Sunda yang kemudian, diberi gelar "[[Siliwangi]]" (dari kata Silih Wangi dalam bahasa Sunda berarti: Penerus Prabu Wangi). Tragedi ini sangat merusak hubungan antara kedua kerajaan ini yang berakibat permusuhan hingga bertahun-tahun kemudian. Hubungan kedua negara ini tidak pernah pulih kembali seperti sediakala.<ref name="end"/> Sementara itu di kraton Majapahit, Gajah Mada menghadapi permusuhan dan ketidakpercayaan, karena tindakannya atas dasar fakta kedekatan kekerabatan Dyah Pitaloka dan menjalankan keinginan Ayahanda Hayam Wuruk (Krtawarddhana) tersebut, namun berakibat kurang baik kepada terlukainya perasaan Raja Hayam Wuruk.
Kisah Putri Dyah Pitaloka dan Perang Bubat menjadi tema utama dalam [[Kidung Sunda]]. Catatan sejarah mengenai peristiwa Pasunda Bubat disebutkan dalam [[Pararaton]], akan tetapi sama sekali tidak disinggung dalam naskah [[Nagarakretagama]] yang merupakan sumber primer [[
== Referensi ==
|