Ekonomi Indonesia: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Wiz Qyurei (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler Suntingan seluler lanjutan
Wiz Qyurei (bicara | kontrib)
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler Suntingan seluler lanjutan
Baris 489:
 
=== '''Orde lama''' ===
Pada periode 1960-1965, Indonesia mengalami kemunduran ekonomi dengan penurunan [[pendapatan per kapita]] menjadi rata-rata 0,1% serta pertumbuhan ekonomi hanya 2 persen%.<ref>{{Cite book|last=Soeharto|date=1995|url=https://www.worldcat.org/oclc/37405350|title=Indonesia, the first 50 years, 1945-1995|location=Jakarta|publisher=Buku Antar Bangsa|isbn=979-8926-00-5|editor-last=Alatas|editor-first=Ali|editor-link=Ali Alatas|pages=69|others=Buku Antar Bangsa|chapter=Address of state H.E the President of the Republic of Indonesia Soeharto|oclc=37405350|author-link=Soeharto|editor-last2=Moerdiono|editor-link2=Moerdiono|editor-last3=Ave|editor-first3=Joop|editor-link3=Joop Ave|editor-last4=Sutresna|editor-first4=Nana S|editor-link4=Nana Sutresna|editor-last5=Dharmaputra|editor-first5=Garnawan|editor-last6=Sukartiko|editor-first6=Rachmat|editor-last7=Achjadi|editor-first7=A.S|url-status=live}}</ref> Kondisi ini juga diikuti dengan [[hiperinflasi]] dari 250 persen% menjadi 650%.<ref>{{Cite web|date=27 Januari 2008|title=Soeharto, Pernah Naikkan Martabat Indonesia Halaman all|url=https://nasional.kompas.com/read/2008/01/27/15590147/soeharto.pernah.naikkan.martabat.indonesia|website=KOMPAS.com|language=id|access-date=4 November 2021}}</ref>
 
=== Orde Baru (1966-1998) ===
Seiring dengan munculnya berbagai demonstrasi di kalangan masyarakat untuk menuntut Presiden Soekarno untuk mundur dari jabatan yang dipegangnya selama lebih dari 20 tahun akibat gejolak politik dan ekonomi yang berujung pada kemiskinan masyarakat menjadi peringatan keras bagi Soekarno untuk mundur dari tampuk kepemimpinan sebagai Presiden. Soekarno yang terdesak akibat berbagai demonstrasi tersebut, memutuskan untuk memulai transisi kepemimpinan pemerintahan dengan menunjuk [[Soeharto]] melalui [[Surat Perintah Sebelas Maret]] sebagai landasan hukum untuk mengizinkan Soeharto sebagai penjabat Presiden untuk segera menyusun transisi ekonomi Indonesia yang sudah terseok-seok akibat berbagi kebijakan politik yang hedonistik.
 
Utang luar negeri menggunung, defisit melebar tidak terkendali dan inflasi mencapai ratusan persen serta kemiskinan di mana-mana hingga keamanan yang tidak kondusif menjadi permasalahan utama yang harus diselesaikan oleh Soeharto yang baru saja menjabat sebagai Presiden. Dalam bidang ekonomi, Presiden Soeharto mengajukan RUU penanaman modal yang kemudian disahkan oleh DPR RI menjadi UU no 1 Tahun 1967 yang bertujuan untuk mempercepat pengentasan kemiskinan yang ada di Indonesia berupa investasi di berbagai sektor usaha industri dan jasa, sekaligus sebagai upaya mengembalikan kepercayaan internasional terhadap stabilitas dan kondusivitas ekonomi, politik dan sosial serta keamanan Indonesia di mata dunia. Tercatat, sejak undang-undang ini disahkan, jumlah modal yang telah ditanamkan di Indonesia telah mencapai lebih dari US$ 9 Miliar dari 30 negara.<ref>Uqbah Iqbal, Sejarah Ringkas Hubungan Ekonomi Indonesia-Jepun, Munich: BookRix GmbH & Co. KG., 2015.</ref>
 
Setelah pemerintahan diampu oleh Soeharto, beberapa keadaan ekonomi mulai membaik. Angka inflasi berhasil diturunkan dalam waktu satu tahun menjadi 112 persen% pada tahun 1967 dan terus berlanjut menjadi 85 persen% pada tahun 1968. Akhirnya turun drastis menjadi 10 persen% pada 1969 sebelum di mulainya program [[Rencana Pembangunan Lima Tahun|Repelita]].<ref>{{Cite web|last=Perwitasari|first=Puspa|date=14 September 2015|title=Kisah Inflasi 650 Persen dan Cerutu Ali Wardhana|url=https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20150914191532-78-78703/kisah-inflasi-650-persen-dan-cerutu-ali-wardhana|website=ekonomi|language=id-ID|access-date=16 November 2021}}</ref> Pemerintahan orde baru juga berhasil memperbaiki kondisi ekonomi Indonesia dengan menaikkan pertumbuhan ekonomi yang sebelumnya hanya dua persen2% menjadi rata-rata lima persen5%. Perkembangan ekonomi ini makin membaik setelah pengenalan program [[Rencana Pembangunan Lima Tahun|Repelita 1]] yang dimulai pada tanggal 1 April 1969. Berkat program ini, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada masa itu mencapai rata-rata enam persen6% pada periode 1969-1973, yaitu saat Repelita I berlangsung.<ref>{{Cite book|last=Badan Pusat Statistik|date=2015|url=https://www.bappenas.go.id/files/data/Pengembangan_Regional_dan_Otonomi_Daerah/Statistik%2070%20Tahun%20Indonesia%20Merdeka.pdf|title=Statistik 70 th. Indonesia merdeka.|location=Jakarta, Indonesia|publisher=Badan Pusat Statistik|isbn=978-979-064-858-6|pages=110|oclc=971018639|url-status=live|access-date=2021-11-15|archive-date=2021-11-15|archive-url=https://web.archive.org/web/20211115183814/https://www.bappenas.go.id/files/data/Pengembangan_Regional_dan_Otonomi_Daerah/Statistik%2070%20Tahun%20Indonesia%20Merdeka.pdf|dead-url=yes}}</ref>
 
Pada akhir Repelita 1, laju inflasi kembali mengalami kenaikan setelah turun ke angka terendahnya, yaitu 4,6% pada tahun 1971. Kenaikan ini diakibatkan membaiknya harga pasar [[Bursa komoditas|komoditi internasional]] serta peningkatan [[Kredit (keuangan)|kredit]] perbankan mencapai 60 % pada perioude 1973/1974. Akibat kondisi ini, inflasi mencapai 41% pada tahun 1974. Sebagai langkah penanggulangan inflasi yang mungkin akan terus meningkat, pemerintah pun mengeluarkan kebijakan Paket Anti Inflasi pada tanggal 9 April 1974.<ref>{{Cite journal|last=Sukendar|first=Anang|date=2000|title=Pengujian dan pemilihan model inflasi dengan non nested test studi kasus perekonomian indonesia periode 1969-1997|url=https://core.ac.uk/download/pdf/297708815.pdf|journal=Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia|volume=15|issue=2|pages=, 164 - 178}}</ref>
 
Selama lebih dari 30 tahun pemerintahan [[Orde Baru]], ekonomi Indonesia tumbuh dari GDP per kapita [[Dolar Amerika Serikat|$]]70 menjadi lebih dari $1.100 pada 1997.<ref>{{Cite web|last=Ardanareswari|first=Indira|date=1 April 2020|title=Repelita ala Orba: Pembangunanisme yang Mengandalkan Modal Asing|url=https://tirto.id/repelita-ala-orba-pembangunanisme-yang-mengandalkan-modal-asing-eJY6|website=tirto.id|language=id|access-date=16 November 2021}}</ref> Peningkatan ini menjadikan Indonesia dikategorikan sebagai negara pendapatan menengah ke bawah yang sebelumnya berada dalam kategori [[Negara berkembang|negara pendapatan rendah]].<ref>{{Cite web|title=Produk Domestik Bruto Indonesia|url=https://www.indonesia-investments.com/id/keuangan/angka-ekonomi-makro/produk-domestik-bruto-indonesia/item253|website=www.indonesia-investments.com|access-date=16 November 2021}}</ref>. Melalui kebijakan moneter dan keuangan yang ketat, inflasi ditahan sekitar 5%-10%, [[rupiah]] stabil dan dapat diterka, dan pemerintah menerapkan sistem anggaran berimbang. Banyak dari anggaran pembangunan dibiayai melalui [[bantuan asing]]. Pada pertengahan [[1980-an]] pemerintah mulai menghilangkan hambatan kepada aktivitas ekonomi.
Baris 563:
Saat ini, satu dekade kemudian, Indonesia telah keluar dari krisis dan berada dalam situasi di mana sekali lagi negara ini mempunyai sumber daya keuangan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan pembangunan. Perubahan ini terjadi karena kebijakan makroekonomi yang berhati-hati, dan yang paling penting defisit anggaran yang sangat rendah. Juga cara pemerintah membelanjakan dana telah mengalami transformasi melalui "perubahan besar" desentralisasi tahun 2001 yang menyebabkan lebih dari sepertiga dari keseluruhan anggaran belanja pemerintah beralih ke pemerintah daerah pada tahun 2006. Hal lain yang sama pentingnya, pada tahun 2005, harga minyak internasional yang terus meningkat menyebabkan subsidi minyak domestik Indonesia tidak bisa dikontrol, mengancam stabilitas makroekonomi yang telah susah payah dicapai. Walaupun terdapat risiko politik bahwa kenaikan harga minyak yang tinggi akan mendorong tingkat inflasi menjadi lebih besar, pemerintah mengambil keputusan yang berani untuk memotong subsidi minyak.
 
Keputusan tersebut memberikan US$10 miliar <ref>[http://siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/280016-1168483675167/PEReport.pdf]</ref> tambahan untuk pengeluaran bagi program pembangunan. Sementara itu, pada tahun 2006 tambahan US$5 miliar <ref>[http://siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/280016-1168483675167/PEReport.pdf]</ref> telah tersedia berkat kombinasi dari peningkatan pendapatan yang didorong oleh pertumbuhan ekonomi yang stabil secara keseluruhan dan penurunan pembayaran utang, sisa dari krisis ekonomi. Ini berarti pada tahun 2006 pemerintah mempunyai US$15 miliar <ref>[http://siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/280016-1168483675167/PEReport.pdf]</ref> ekstra untuk dibelanjakan pada program pembangunan. Negara ini belum mengalami 'ruang fiskal' yang demikian besar sejak peningkatan pendapatan yang dialami ketika terjadi lonjakan minyak pada pertengahan tahun 1970-an. Akan tetapi, perbedaan yang utama adalah peningkatan pendapatan yang besar dari minyak tahun 1970-an semata-mata hanya merupakan keberuntungan keuangan yang tak terduga. Sebaliknya, ruang fiskal saat ini tercapai sebagai hasil langsung dari keputusan kebijakan pemerintah yang hati hati dan tepat.
 
Walaupun demikian, sementara Indonesia telah mendapatkan kemajuan yang luar biasa dalam menyediakan sumber keuangan dalam memenuhi kebutuhan pembangunan, dan situasi ini dipersiapkan untuk terus berlanjut dalam beberapa tahun mendatang, subsidi tetap merupakan beban besar pada anggaran pemerintah. Walaupun terdapat pengurangan subsidi pada tahun 2005, total subsidi masih sekitar US$ 10 miliar <ref>[http://siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/280016-1168483675167/PEReport.pdf]</ref> dari belanja pemerintah tahun 2006 atau sebesar 15 persen% dari anggaran total.
 
Berkat keputusan pemerintahan Habibie (Mei 1998 - Agustus 2001) untuk mendesentralisasikan wewenang pada pemerintah daerah pada tahun 2001, bagian besar dari belanja pemerintah yang meningkat disalurkan melalui pemerintah daerah. Hasilnya pemerintah provinsi dan kabupaten di Indonesia sekarang membelanjakan 37 persen <ref>[http://siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/280016-1168483675167/PEReport.pdf]</ref> dari total dana publik, yang mencerminkan tingkat desentralisasi fiskal yang bahkan lebih tinggi daripada rata-rata OECD.
 
Dengan tingkat desentralisasi di Indonesia saat ini dan ruang fiskal yang kini tersedia, pemerintah Indonesia mempunyai kesempatan unik untuk memperbaiki pelayanan publiknya yang terabaikan. Jika dikelola dengan hati-hati, hal tersebut memungkinkan daerah-daerah tertinggal di bagian timur Indonesia untuk mengejar daerah-daerah lain di Indonesia yang lebih maju dalam hal indikator sosial. Hal ini juga memungkinkan masyarakat Indonesia untuk fokus ke generasi berikutnya dalam melakukan perubahan, seperti meningkatkan kualitas layanan publik dan penyediaan infrastruktur seperti yang ditargetkan. Karena itu, alokasi dana publik yang tepat dan pengelolaan yang hati-hati dari dana tersebut pada saat mereka dialokasikan telah menjadi isu utama untuk belanja publik di Indonesia kedepannya.
 
Sebagai contoh, sementara anggaran pendidikan telah mencapai 17.,2 persen %<ref>[http://siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/280016-1168483675167/PEReport.pdf]</ref> dari total belanja publik- mendapatkan alokasi tertinggi dibandingkan sektor lain dan mengambil sekitar 3.,9 persen %<ref>[http://siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/280016-1168483675167/PEReport.pdf]</ref> dari PDB pada tahun 2006, dibandingkan dengan hanya 2.0 persen% dari PDB pada tahun 2001 <ref>[http://siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/280016-1168483675167/PEReport.pdf]</ref> - sebaliknya total belanja kesehatan publik masih di bawah 1.0 persen% dari PDB <ref>[http://siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/280016-1168483675167/PEReport.pdf]</ref>. Sementara itu, investasi infrastruktur publik masih belum sepenuhnya pulih dari titik terendah pasca krisis dan masih pada tingkat 3.,4 persen% dari PDB <ref>[http://siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/280016-1168483675167/PEReport.pdf]</ref>. Satu bidang lain yang menjadi perhatian saat ini adalah tingkat pengeluaran untuk administrasi yang luar biasa tinggi. Mencapai sebesar 15 persen% pada tahun 2006 <ref>[http://siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/280016-1168483675167/PEReport.pdf]</ref>, menunjukkan suatu penghamburan yang signifikan atas sumber daya publik.
 
Pada 2012, Indonesia menggantikan [[India]] sebagai negara anggota G20 dengan ekonomi tercepat kedua setelah China. Sejak saat itu, pertumbuhan ekonomi Indonesia melambat di kisaran angka 5%.<ref>{{Cite web|url=http://data.worldbank.org/indicator/NY.GDP.MKTP.KD.ZG?end=2016&locations=ID&start=2006|title=GDP growth (annual %)|website=data.worldbank.org|access-date=2017-08-05}}</ref><ref>{{Cite web|title=Why Indonesia’s Apparent Stability Under Jokowi Is a Sign of Its Stagnation|url=https://www.worldpoliticsreview.com/articles/20248/why-indonesia-s-apparent-stability-under-jokowi-is-a-sign-of-its-stagnation|website=worldpoliticsreview.com|access-date=2020-05-06}}</ref> Pada 1 Juli 2020, [[Bank Dunia]] memutuskan Indonesia untuk dikelompokkan sebagai [[negara berpenghasilan menengah tinggikeatas]] dengan [[pendapatan nasional bruto]] Indonesia pada tahun 2019 sebesar 4050 [[Dolar Amerika Serikat|US$]]4.050, sedikit di atas klasifikasi Bank Dunia bahwa negara berpendapatan menengah tinggikeatas per-kapitanya berkisar US$4.046-US$12.535 Dolar Amerika Serikat. Hal lain menurut Bank Dunia, adalah bahwa populasi [[kelas menengah]] di Indonesia saat ini sekitar 52 juta orang dengan pengeluaran Rp 1,2-6 juta perorang perbulan.<ref name=kompas4juli>"Pekerjaan Rumah Pacu Kelas Menengah". ''[[Kompas (surat kabar)|Kompas]]''. 4 Juli 2020. Hlm. 1 & 15.</ref>
 
== Referensi ==