Politik Etis: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Tangguh Arya (bicara | kontrib)
top: Perbaikan kesalahan ketik, Perbaikan tata bahasa
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan aplikasi seluler Suntingan aplikasi Android
Jonoo27 (bicara | kontrib)
Perumusan: penambahan konten
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
Baris 31:
Jurnalis [[Pieter Brooshooft]] (1845-1921),<ref name="VickersP17">{{Cite book |last=Vickers |first=Adrian |title=A History of Modern Indonesia |publisher=Cambridge University Press |year=2005 |page=[https://archive.org/details/historyofmoderni00adri/page/17 17] |isbn=0-521-54262-6 |url=https://archive.org/details/historyofmoderni00adri/page/17 }}</ref> menulis tentang kewajiban moral Belanda untuk memberi lebih banyak kepada rakyat Hindia Belanda. Dengan dukungan kaum sosialis dan kelas menengah Belanda yang peduli, ia berkampanye melawan apa yang ia lihat sebagai ketidakadilan surplus kolonial. Dia menggambarkan masyarakat adat Hindia sebagai "kekanak-kanakan" dan membutuhkan bantuan, bukan penindasan. Surat kabar adalah salah satu dari sedikit media komunikasi Hindia Belanda dengan parlemen Belanda, dan sebagai editor ''[[De Locomotief]]'', surat kabar berbahasa Belanda terbesar di Hindia, ia menerbitkan tulisan [[Snouck Hurgronje]] tentang pemahaman orang Indonesia. Brooshooft mengirim reporter ke seluruh nusantara untuk melaporkan perkembangan lokal; mereka melaporkan tentang kemiskinan, gagal panen, kelaparan dan epidemi pada tahun 1900. Pengacara dan politikus yang mendukung kampanye Brooshooft bertemu dengan Ratu Wilhelmina dan berargumen bahwa Belanda berhutang kepada rakyat Hindia Belanda sebuah 'hutang kehormatan'.<ref name="VickersP17"/>
 
Pada tahun 1901, Ratu, di bawah nasihat dari perdana menterinya dari Partai Kristen Anti-Revolusi, [[Abraham Kuyper]], secara resmi mendeklarasikan "Kebijakan Etis" yang baik yang bertujuan membawa kemajuan dan kemakmuran bagi rakyat Hindia. Penaklukan Belanda atas Hindia menyatukan mereka sebagai satu kesatuan kolonial pada awal abad ke-20, yang merupakan dasar implementasi Kebijakan.<ref>{{Cite book |last=Vickers |first=Adrian |title=A History of Modern Indonesia |publisher=Cambridge University Press |year=2005 |page=[https://archive.org/details/historyofmoderni00adri/page/18 18] |isbn=0-521-54262-6 |url=https://archive.org/details/historyofmoderni00adri/page/18 }}</ref>
 
Para pendukung Kebijakan berpendapat bahwa transfer keuangan tidak boleh dilakukan ke Belanda sementara kondisi masyarakat pribumi nusantara buruk.