Kapitayan: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
InternetArchiveBot (bicara | kontrib)
Rescuing 1 sources and tagging 0 as dead.) #IABot (v2.0.8.6
k Perubahan kecil
Baris 1:
'''Kapitayan''' adalah sebuah keyakinan yang dianut oleh masyarakat kuno di bumi [[Nusantara]], yakni mereka yang termasuk ras kulit hitam (''Proto Melanesia'') semenjak era [[paleolitikum]]'','' [[mesolitikum]]'','' neolithikum dan [[Megalit|megalitikum]].<ref>{{Cite web|last=Dharmapala|first=Rangga Wisesa|date=2014-02-22|title=Sejarah Agama dan Kepercayaan Kapitayan|url=https://www.keajaibandunia.web.id/3311/sejarah-agama-dan-kepercayaan-kapitayan.html|website=Keajaiban Dunia|language=id-ID|access-date=2021-06-05|archive-date=2021-06-05|archive-url=https://web.archive.org/web/20210605091040/https://www.keajaibandunia.web.id/3311/sejarah-agama-dan-kepercayaan-kapitayan.html|dead-url=yes}}</ref> Dengan datangnya orang [[Rumpun bahasa Austronesia|Austronesia]], agama kapitayan dianut dan dijalankan turun temurun oleh ras [[Proto-Melayu|Proto Melayu]] dan [[Deutero melayu|Deutro Melayu]].<ref>Sunyoto (2017). ph. 13.</ref> Agama ini umumnya ditemui di Jawa dan disebut agama Jawa kuno, agama leluhur, atau agama Jawi. Agama kapitayan bersifat [[monoteistik]].<ref>{{Cite web|last=Firdaus|first=Akhol|date=2019-09-26|title=Melacak Keberadaan Agama (Asli) Jawa|url=https://ijir.iain-tulungagung.ac.id/melacak-keberadaan-agama-asli-jawa/|website=Institute for Javanese Islam Research|language=id|access-date=2021-06-05}}</ref>
 
== Etimologi dan terminologi ==
Secara sederhana,  Kapitayan dapat digambarkan sebagai suatu ajaran keyakinan yang memuja sembahan utama yang disebut Sanghyang Taya, yang bermakna hampa, kosong, ''suwung'', atau ''awang''-''uwung''. Kata ''awang''-''uwung'' bermakna ada tapi tidak ada, tidak ada tapi ada, untuk itu, supaya bisa dikenal dan disembah manusia, Sanghyang Taya digambarkan mempribadi dalam nama dan sifat Ilahiah yang disebut Tu atau To yang bermakna "daya gaib" bersifat adikodrati. ''Taya'' bermakna Yang Absolut, yang tidak bisa dipikir dan dibayang-bayangkan. Tidak bisa didekati dengan pancaindra.<ref name=":2">Sunyoto (2017). ph. 14.</ref>
 
== Prinsip keagamaan ==
Baris 9:
Tuhan dalam agama kapitayan disebut Sang Hyang Taya. ''Taya'' berarti "''suwung''" (kosong). Tuhan Kapitayan bersifat abstrak, tidak bisa digambarkan. Sang Hyang Taya diartikan sebagai "''tan keno kinaya ngapa''", tidak dapat dilihat, dipikirkan, atau dibayangkan, alias tidak bisa diapa-apakan keberadaan-Nya. Untuk itu, supaya bisa disembah Sanghyang Taya mempribadi dalam nama dan sifat yang disebut Tu atau To, yang bermakna "daya gaib" yang bersifat adikodrati. Tu atau To adalah tunggal dalam Dzat. Satu Pribadi. Tu lazim disebut dengan nama Sanghyang Tunggal. Dia memiliki dua sifat, yaitu Kebaikan dan Kejahatan. Tu yang bersifat Kebaikan disebut Tu-han disebut dengan nama Sanghyang Wenang. Tu yang bersifat Kejahatan disebut dengan nama Sang Manikmaya. Demikianlah, Sanghyang Wenang dan Sang Manikmaya pada hakikatnya adalah sifat saja dari Sanghyang Tunggal. Karena itu baik Sanghyang Tunggal, Sanghyang Wenang dan Sang Manikmaya bersifat gaib tidak dapat didekati dengan pancaindera dan akal pikiran. Hanya diketahui sifat-Nya saja.<ref name=":3">{{Cite journal|last=Sunyoto|first=Agus|date=2017|title=NU dan Faham Keislaman Nusantara|journal=Mozaic : Islam Nusantara|volume=3|issue=1|pages=15-30}}</ref>{{rp|17}}
 
Kekuatan Sang Hyang Taya yang kemudian mewakili di berbagai tempat, seperti di batu, monumen, pohon, dan di banyak tempat lain.<ref>Galbinst (2019). ph. 13.</ref> Oleh karena itu, mereka memberikan persembahan atas tempat itu, bukan karena mereka menyembah batu, pohon, monumen, atau apa pun, tetapi mereka melakukannya sebagai pengabdian mereka kepada Sang Hyang Taya yang kekuatannya diwakili di semua tempat itu.<ref name=":0">Galbinst (2019). ph. 14.</ref> Agama kapitayan tidak mengenal dewa-dewa seperti dalam agama Hindu.<ref>Samantho, Ahmad Yanuana (Oktober 2016). ''Kapitayan Agama Pertama di Nusantara, Bukti bahwa Para Nabi Pernah diutus di Nusantara''. Dalam ''Agama Pertama di Tanah Jawa, Kapitayan, Agama Universal''. Halaman 4.</ref>
 
=== Teologi ===
Baris 22:
Nilai-nilai keagamaan Kapitayan inilah yang kemudian diadopsi oleh para Walisongo dalam menyebarkan agama Islam ke daerah-daerah. Karena konsep tauhid dalam Kapitayan pada dasarnya sama dengan konsep tauhid dalam Islam: istilah “''Tan keno kinaya ngapa''” dalam Kapitayan (“tidak dapat dilihat, tidak dapat dipikirkan, tidak dapat dibayangkan, Ia berada di luar segalanya"), memiliki arti yang sama dengan "laisa kamitslihi syai'un" dalam Islam ("Tidak ada yang seperti Dia"; Qur'an Surah Ash-Syura bab 42 ayat 11).<ref name=":0" />
 
Walisongo juga menggunakan istilah “Sembahyang” (menyembah Sang Hyang Taya di Kapitayan) dalam memperkenalkan istilah “Shalat” dalam Islam. Dalam hal tempat pemujaan atau persembahyangan, Walisongo juga menggunakan istilah Sanggar di Kapitayan, yang merupakan bangunan empat persegi dengan lubang kosong di dindingnya sebagai simbol Sang Hyang Taya di Kapitayan, bukan arca seperti dalam agama Hindu. Istilah tempat untuk berdoa atau beribadah di Kapitayan ini juga digunakan oleh Walisongo dengan nama "Langgar" mewakili istilah Masjid dalam Islam.<ref>Sunyoto (2017). ph. 17.</ref><ref name=":0" />
 
Ada juga ritual tidak makan dari pagi hingga malam di Kapitayan, yang disebut dengan Upawasa (Puasa atau Poso). Kebetulan, ritual puasa dalam agama Hindu disebut juga dengan Upawasa atau Upavasa.<ref>{{Cite web|title=Upavasa - Banglapedia|url=http://en.banglapedia.org/index.php?title=Upavasa|website=en.banglapedia.org|access-date=2019-11-20}}</ref> Alih-alih menggunakan istilah puasa atau Siyam dalam Islam, Walisongo menggunakan istilah Puasa atau Upawasa dari Kapitayan dalam menggambarkan ritual tersebut. Sebutan Poso Dino Pitu dalam Kapitayan yang artinya puasa pada hari kedua dan kelima yang sama dengan puasa tujuh hari, sangat mirip dengan bentuk puasa Senin dan Kamis dalam Islam. Tradisi "Tumpengan" Kapitayan juga dilestarikan oleh para Walisongo dalam perspektif Islam yang dikenal sebagai "Sedekah". Inilah makna istilah yang disebut-sebut oleh Gus Dur (presiden keempat Indonesia) sebagai "mempribumikan Islam".<ref name=":0" />
 
=== Praktik ibadah ===
Dalam rangka melakukan puja bakti kepada Sanghyang Tunggal, penganut Kapitayan menyediakan sajen berupa tu-mpeng, tu-mpi (kue dari tepung), tumbu (keranjang persegi dari anyaman bambu untuk tempat bunga), tu-ak (arak), tu-kung (sejenis ayam) untuk dipersembahkan kepada Sanghyang Tu-nggal yang daya gaib-Nya tersembunyi pada segala sesuatu yang diyakini memiliki kekuatan gaib seperti tu-ngkub, tu-nda, wa-tu, tu-gu, tu-nggak, tu-k, tu-ban, tu-rumbukan, tu-tuk. Para penganut Kapitayan yang punya maksud melakukan tu-ju (tenung) atau keperluan lain yang mendesak, akan memuja Sanghyang tu-nggal dengan persembahan khusus yang disebut tu-mbal.<ref name=":1">Sunyoto (2017). ph. 16-17.</ref>
 
Berbeda dengan pemujaan terhadap Sanghyang Tunggal yang dilakukan masyarakat awam dengan persembahan sajen-sajen di tempat-tempat keramat, untuk beribadah menyembah Sanghyang Taya langsung, amaliah yang lazim dijalankan para ruhaniwan Kapitayan, berlangsung di suatu tempat bernama sanggar, yaitu bangunan persegi empat beratap tumpang dengan tutu-k (lubang ceruk) di dinding sebagai lambang kehampaan Sanghyang Taya.<ref name=":1" />
Baris 36:
Dalam konteks “agama angin muson”, agama kuno yang disebut  Kapitayan merupakan agama yang dianut penghuni Nusantara, yang menurut cerita kuno adalah agama purbakala yang dianut oleh penghuni lama Pulau Jawa berkulit hitam. Dalam keyakinan penganut Kapitayan di Jawa, leluhur yang awal sekali dikenal sebagai penganjur Kapitayan adalah tokoh mitologis Danghyang Semar putera Sanghyang Wungkuham keturunan Sanghyang Ismaya. Menurut cerita, negeri asal Danghyang Semar adalah Swetadwipa, benua yang tenggelam akibat banjir besar yang menyebabkan Danghyang Semar dan kaumnya mengungsi ke Pulau Jawa. Sanghyang Semar memiliki saudara bernama Sang Hantaga (Togog) yang tinggal di negeri seberang (luar Jawa), yang juga mengajarkan Kapitayan tapi sedikit berbeda dengan yang diajarkan Danghyang Semar. Saudara Danghyang Semar yang lain lagi bernama Sang Manikmaya, menjadi penguasa di alam gaib kediaman para leluhur yang disebut Ka-hyang-an.<ref name=":2" />
 
Tokoh-tokoh idola dalam ajaran  Kapitayan seperti Danghyang Semar, Kyai Petruk, Nala Gareng, dan Bagong dimunculkan sebagai punakawan yang memiliki kekuatan adikodrati yang mampu mengalahkan dewa-dewa Hindu.<ref>Sunyoto (2017). ph. 178.</ref>
 
== Rujukan ==