Masa Lalu Terjatuh ke dalam Senyumanmu: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Baris 48:
“Masa lalu” adalah kenangan yang tak mungkin kembali: “kenangan” yang hanya “berjejalan di gerbong ingatanmu” (puisi: ''Kereta Terakhir''), dan hanya “meranggas dalam hatiku” (puisi: ''September Gugur''). Inilah yang membuatnya sering menyakitkan, apalagi setelah menjadi sesuatu yang ''“''terjatuh ke dalam senyumanmu''”,'' bukan “kepadaku”. Memang ada upaya antara “kau/aku” untuk “mencipta masa lalu” (puisi: ''Dan Sunyi Berceracau Lewat Burung-Burung''), lalu “menyimpan… di saku celana” (puisi: ''Demi Waktu yang Berjatuhan di dalam Tubuhku''), “seperti empat tahun lalu/kita pun basah mengingatnya” (puisi: ''Mei yang Basah''). Namun, “kenangan itu bocor” (puisi: ''Kenangan yang Bocor''), atau malah “tenggelam di jalan” (puisi: ''Sehabis Hujan'') sia-sia! Ketika “gerimis/kenangan menetes dari matamu”, yang tersisa dan menyergap adalah “sepi usia dalam senja” (puisi: ''Seketika Gerimis'').''{{sfnp|Romansha|2018||p=xi|ps=}}''
Nukilan-nukilan puisi tersebut menunjukkan bahwa Kedung sejatinya hendak mengekspresikan dan memaknai secara reflektif pengalaman personalnya, tetapi dengan tetap menyisakan ruang bagi siapa saja yang membacanya untuk melakukan transpersonalisasi diri ke dalam pengalaman personal kreator.<ref name=":3" /> Berdasarkan nukilan-nukilan tersebut tampak pula bahwa “masa lalu” telah dimaknai sebagai terminal keberangkatan oleh dirinya.''{{sfnp|Romansha|2018||p=xi|ps=}}''
Pemberdayaan alusi, seperti tampak pada penggunaan bahsa, nyanyian, parikan, dan atau cerita yang berakar pada budaya lokal dan ''sangkan-asal'' Kedung yang sebenarnya, yakni Indramayu, menandai dan menegaskan hal itu: ''“angin barat ngajar kitiran/angin kumbang ngajar layangan/wong mlarat dadi pikiran/kegembang dadi bayangan…/aih mak.../ana pribasane gabah wutah ning leleran/lakonono sabar lan nerima/wong sabar langka alane/malah dadi ning becike”'' (puisi: “Ke Kotamu”—untuk kawan-kawanku yang merantau ke Jakarta), ''“telembuk”'' (puisi: “Telembuk”), atau rujukan terhadap nama ''“Windardi”'' (puisi: ''“Ngundhuh Wohing Karma”'').
Baris 120:
Yang namanya perjalanan ''“kepulangan”'' pasti ada awal dan akhir, ada terminal atau pelabuhan pemberangkatan da nada pula terminal atau pelabuhan akhir. Ada masa lalu yang ditinggalkan, masa kini yang dirambah, dan masa depan yang dituju atau dibayangkan. Jadi, penyair tidak lain adalah seorang pejalan, yakni pejalan yang menjejakan kakinya ''“dari Veteran sampai Juanda”'' (puisi: “Fragmen Jakarta, Dari Veteran Sampai Juanda”), yang ''“selalu banyak kemungkinan dalam pilihan”,'' dan tetap yakin bahwa ''“hidup dan kematian sama-sama gaibnya/tapi Tuhan memberkati kita/untuk meminjamkan tanggannya/merumuskan dan menentukan jalan/di buku kita masing-masing.'' Itulah sebabnya penyair memandang bahwa ''“perjalanan ini tidak biasa/bagi laki-laki yang biasa-biasa saja”.'' Mengapa tak bisa? Karena, ''“kau-aku sama-sama tak berdaya dan tak percaya/bahwa takdir punya rencana lain untuk kita/kita dipertemukan oleh ketidakmungkinan/sebab kewajaran hanya ada dalam pikiran”.''
Akhirnya, jika benar hakikat puisi adalah menyairkan kehidupan, bagi Kedung agaknya: kehidupan yang telah, sedang, dan akan dirambah memang beresensikan “sebuah perjalanan”, betapapun judul antologi yang dipilih mengesankan suasana romantis: ''Masa Lalu Terjatuh ke Dalam Senyumanmu.'' Tak masalah. Yang penting, makna “perjalanan” yang bertolak dari dimensi waktu dalam puisi-puisi yang dihimpun dalam antologi ini, mampu diisyaratkan oleh diksi dan kolokasi yang tidak jatuh pada kekenesan estetik semata.<ref name=":3">{{Cite web|title=Masa Lalu Melulu|url=https://basabasi.co/masa-lalu-melulu/|website=Basabasi|access-date=16 April 2022}}</ref> Atau sebaliknya, tidak jatuh menjadi khotbah yang menggurui. Kemampuan Kedung melepaskan diri dari jeratan semacam itu, menjadikan proyeksi dan dialektika makna perjalanan terkomunikasikan dalam dan melalui puisi-puisi yang berstruktur sederhana. Puisi-puisi dalam antologi ini mampu berbicara bahwa “perjalanan” itu pasti ada awal dan ada akhir, ada terminal atau pelabuhan pemberangkatan dan ada pula terminal atau pelabuhan akhir. Ada masa lalu yang ditinggalkan, masa kini yang dirambah, dan masa depan yang dituju atau dibayangkan. Jadi, Kedung, seperti halnya penyair-penyair lain, tidak lain adalah seorang “perjalanan budaya,” yakni perjalanan yang sedang berupaya membangun lintasan kreatifnya sendiri yang idiosinkratik melalui puisi. Apakah lintasan yang kini dibangun Kedung menjadi lintasan yang kokoh, atau sebaliknya. Semuanya berpulang kepada Kedung: menulis lagi, atau hanya puas sampai di sini.
== Daftar puisi ==
|