Lebih lanjut, Sayuti berpendapat jika suatu perjalanan ''“''kepulangan''”'' pasti memiliki awal dan akhir, ada terminal atau pelabuhan pemberangkatan dan kepulangan. Ada masa lalu yang ditinggalkan, masa kini yang dirambah, dan masa depan yang dituju atau dibayangkan. Jadi, penyair tidak lain adalah seorang pejalan, yakni pejalan yang menjejakan kakinya ''“dari Veteran sampai Juanda”'' (puisi: ''Fragmen Jakarta, Dari Veteran Sampai Juanda''), yang ''“selalu banyak kemungkinan dalam pilihan”,'' dan tetap yakin bahwa ''“hidup dan kematian sama-sama gaibnya/tetapi Tuhan memberkati kita/untuk meminjamkan tanggannya/merumuskan dan menentukan jalan/di buku kita masing-masing.'' Itulah sebabnya, penyair memandang bahwa ''“perjalanan ini tidak biasa/bagi laki-laki yang biasa-biasa saja”.'' Hal ini dikarenakan ''“kau-aku sama-sama tak berdaya dan tak percaya/bahwa takdir punya rencana lain untuk kita/kita dipertemukan oleh ketidakmungkinan/sebab kewajaran hanya ada dalam pikiran”.{{sfnp|Romansha|2018||p=xiv–xv|ps=}}''
Akhirnya, jika benar hakikat puisi adalah menyairkan kehidupan, bagi Kedung agaknya:sepertinya kehidupan yang telah, sedang, dan akan dirambah memang beresensikan “sebuah perjalanan”, betapapunmeskipun judul antologi yang dipilih mengesankan suasana romantis: ''Masa Lalu Terjatuh ke Dalamdalam Senyumanmu.'' Tak masalah. YangHal penting,terpenting adalah makna “perjalanan” yang bertolak dari dimensi waktu dalam puisi-puisi yang dihimpun dalam antologi ini, mampu diisyaratkan oleh [[diksi]] dan [[kolokasi]] yang tidak jatuh padakepada kekenesan estetik semata.,<ref name=":3">{{Cite web|title=Masa Lalu Melulu|url=https://basabasi.co/masa-lalu-melulu/|website=Basabasi|access-date=16 April 2022}}</ref> Atauatau sebaliknya, tidak jatuh menjadi [[khotbah]] yang menggurui. {{sfnp|Romansha|2018||p=xv|ps=}}
Kemampuan Kedung melepaskan diri dari jeratan semacam itu, menjadikan proyeksi dan dialektika[[dialektik]] makna perjalanan terkomunikasikan dalam dan melalui puisi-puisi yang berstruktur sederhana. Puisi-puisi dalam antologi ini mampu berbicara bahwa “perjalanan” itu pasti ada awal dan ada akhir, ada terminal atau pelabuhan pemberangkatan, dan ada pula terminal atau pelabuhan akhir. Ada masa lalu yang ditinggalkan, masa kini yang dirambah, dan masa depan yang dituju atau dibayangkan. Jadi, Kedung, seperti halnya penyair-penyair lain, tidak lain adalah seorang “perjalanan“pejalan budaya,” yakni perjalananpejalan yang sedang berupaya membangun lintasan kreatifnya sendiri yang idiosinkratik melalui puisi. Apakah lintasanLintasan yang kini dibangundibangunnya Kedungberpulang menjadikepada lintasandirinya yang kokohsendiri, atau sebaliknya. Semuanya berpulang kepada Kedung:yaitu menulis lagi, atau hanya puas sampai di sini.{{sfnp|Romansha|2018||p=xv–xvi|ps=}}
== Daftar puisi ==
|